Memaksa Masuk Surga

Memaksa sebuah diksi yang tak elok. Kalau dimaknakan secara harfiah relasinya cenderung berkonotasi negatif, seperti menekan, menindas atau pun mengancam.


Lawan dari memaksa (baca dipaksa) adalah sukarela. Kata serapan dari dua kata, yakni suka yang dapat dimaknai senang, bahagia, ikhlas, atau cinta. Merangkum maknanya baik secara tersirat maupun tersurat keduanya positif. Kata rela pun setali tiga uang. Iklhlas, tidak berat hati, sadar melakukan suatu hal didasari ketulusan. Suka rela adalah tindak atau perbuatan yang bernilai dalam.   Saya mendapat pencerahan yang begitu menginspirasi atas dua kata ini. ‘Dipaksa’ versus ‘Sukarela’. Simak kalimat berikut, ‘Dipaksa masuk surga,’ dan ‘Sukarela masuk neraka’. Dua kalimat pendek itu menjadi tema dalam dialog pagi di ‘Majelis Ilmu Masjid AT Taqwa Jl Noorcahya Demak.  

KH Mashudi yang ‘ketiban sampur’ memberikan materi pagi itu. Majelis Ilmu adalah ruang sharing, seperti ‘Kultum’ yang dihelat usai Sholat Subuh berjamah. Mereka sukarela berbagi pengalaman sebagai agenda rutin sekalian menanti waktu dhuha.  Tema ‘Dipaksa masuk surga’ vs ‘Sukarela masuk neraka’ yang disampaikan KH Mashudi menarik. Secara tematis ada kontroversinya, terlebih cara penyampaian KH Mashudi yang juga Direktur Rumah Sakit Islam Sultan Agung, Semarang ini begitu apik sekaligus menarik.  

Materi itu berkisah tentang pengalamannya berkunjung ke Masjid Jogokariyan Yogyakarta. Masjid yang dibangun pada tahun 1966 dan mulai digunakan pada 1967 memang sempat viral di media sosial. Penyebabnya viralnya masjid tersebut tak lain karena ullah konvoi massa parpol kala itu dengan melempari baru. Itulah yang membuat heboh.

Meski masjidnya jadi ‘korban’, namun Takmir dan pengurus mengambil solusi bijak. Selesai, berdamai, tak berkepanjangan. Itu satu hal, namun di sisi lain meski di kampung masjid ini memiliki sejarah panjang. Pendeknya Jogokariyan adalah masih yang terkenal, meski lokasinya ada di kampung, persisnya Jalan Jogokariyan 36, Kelurahan Mantrijeron, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta.  

                                                                          ***

Biasanya Pak Mashudi rutin menjadi imam sholat, baik subuh juga sholat wajib lainnya. Namun karena ada pertemuan Kepala Rumah Sakit Islam se Indonesia di Jogjakarta beliau absen. Kebetulan juga beliau adalah ketuanya.  
Mengapa memagnet?  Secara arsitektur Masjid Jogokaryan sebenarnya biasa saja, apik ya, ikonik juga. Bersih rapi, nyaman, itulah barangkali yang menjadi magnet. Memang kalau disandingkan dengan Masjid Agung Demak, atau Masjid Kubah Emas, parameternya berbeda. 
Lantas apa yang menjadi daya tarik sekaligus comparative advantage dari masjid ini. Adalah visi tentang kemandirian dari pengurus Takmir Masjid ini. Selain mandiri hal yang menonjol adalah terobosan mereka dalam upaya memberdayakan jamaah, lebih luas lagi umat.  

Pengelolaan infaq masjid dilakukan sangat akuntabel. Dana yang masuk dipertanggungjawabkan secara mingguan, tepatnya setiap Jumat. Penggunaan berupa rupa, untuk kemaslahatan umat, keperluan masjid, termasuk bantuan modal usaha jamaah.  

Takmir concern dengan ikhtiar ini salah satu agendanya kemandirian ekonomi. Jamaah yang kurang mampu diberikan stimulus bantuan usaha. Mereka diberi fasilitasi juga untuk berjualan di sekitar masjid. Fasilitas itu merupakan reward, konsekuensinya mereka wajib menjaga implementasi atas stimulus yang diberikan.
Melekat di dalamnya adalah menjaga aktivitas ibadah. Artinya yang bandel, nakal otomatis kena punishment.  Salah satu punishment yang diberikan kepada mereka yang bandel, tidak diizinkan berjualan di lingkungan masjid.

Hukuman itu sempat menimbulkan pro dan kontra. PIhak yang kontra menyebut bertentangan dengan prinsip kemanusiaan. Namun pendapat lain berbeda, aturan harus ditegakkan. Dipaksa pun tidak masalah. Apalagi buah dari paksaan itu adalah demi kebaikan.  Ekstremnya ‘dipaksa’ masuk surga, apa yang salah. Justru ‘sukarela’ tapi masuk neraka yang perlu dicegah.

Kontroversi, dan polemik semacam itulah sempat mewarnai. Tetapi pengurus Masjid dan Takmir kukuh untuk tetap jalan terus sampai detik ini.
Nah, terlepas dari pro kontra yang terjadi, dari mana sumber dana untuk bantuan modal usaha?  Salah satu sumbernya adalah infaq dan sodaqoh jamaah, atau mereka yang datang ke masjid. Dana itu disalurkan dimanfaatkan untuk keperluan masjid, tetapi Tamir berkomitmen dana yang terkumpul dari infaq dan sodaqoh harus benar benar kembali ke umat atau jamaah.  
Zero saldo menjadi target mereka. Artinya berapa pun jumlah dana infaq dan sodaqoh yang disapat digunakan secara optimal dan maksimall sehingga kas di saldo adalah zero alias nol.

Prinsip ini menjadi SOP Takmir Masjid dan sejauh ini berjalan baik. Dana dari jamaah atau ummat harus kembali ke ummat pula.  Alhamdulillah, manajemen yang seperti ini membuat geliat dan denyut spiritual makin kukuh.

Ikhtiar memakmurkan masjid sekaligus syiar makin berkibar. Dengan manajemen seperti ini masjid punya usaha yang juga menjadi pundi pundi untuk menenuhi keputuhan operasional, seperti listrik, air, kebersihan dan membayar tenaga khusus lewat sumber lain.  

Ada 28 divisi yang bekerja. Di antaranya biro klinik, biro kaut, dan komite aksi untuk umat. Banyaknya kegiatan yang berjalan di Masjid Jogokariyan inilah yang membuat aktivitasnya tak pernah sepi. Meski di luar Bulan Ramadan, jamaah salatnya selalu ramai.
Hal ini menarik perhatian masyarakat muslim tak hanya di luar Yogyakarta tapi juga luar negeri. Masjid juga memiliki website sederhana. 
Ibarat ada gula ada semut, potensi itu menjadi sumber pendapatan masjid. Namun pihak Takmir memisahkan beaya rutin, seperti kebutuhan operasional dengan kegiatan jamaah, atau umat. Karena itu sodaqoh dan infak dan jariyah yang lain tidak dijadikan satu. Uang infaq jariyah sama sekali tidak sampai mengendap, apalagi berakumuasi menjadi kas masjid. Tidak!   Konsep itulah yang dilaksanakan Tamir Masjid Jogokariyan sampai saat ini.

Nah, bagaimana formulasi tersebut memberi  kontribusi uhuwah Islamiah yang baik, orang lain yang dapat memberikan legacy juga justifikasi untuk capain terbaik.  Spirit itu perlu disemai dalam upaya memberdayakan umat. Potensi umat Islam sesumgguhnya luar biasa, tapi di balik kebesaran bukan image positif, namun sebaliknya.

Inilah pekerjaan rumah generasi muda millenial, sebagai pemegang mandat masa depan. Spirit Jogokaryan perlu diseminasikan secara masif untuk sumbangsih peradaban.   Memaksa orang menjadi baik agar masuk surga adalah jihad yang nyata, dan harus terus digelorakan, tidak perlu nyinyir soal pelanggaran HAM. Sukarela masuk neraka adalah stigma yang harus disingkirkan.

 Jayanto Arus Adi, Pemimpin Umum RMOL Jateng, Ahli Pers Dewan Pers, Direktur JMSI Institute,  Penggiat Satu Pena Indonesia, Dosen dan Mahasiswa S3 Manajemen Kependidikan (MK) Unnes.  

Tulisan merupakan pendapat dan opini pribadi, tidak mewakili organisasi atau Lembaga di atas.