Selamat Datang Persatuan Wartawan Indonesia Perjuangan!

Konflik yang terjadi di tubuh organisasi wartawan terbesar dan tertua, yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) memasuki fase relatif mendaki. Eskalasi yang berkembang bahkan semakin mendidih dengan polarisasi yang terus melebar.


Dewan Kehormatan yang dinahkodai Sasongko Tedjo membuat keputusan kontroversial, karena memberhentikan tetap Hendry Ch Bangun yang notabene adalah orang nomor satu di jajaran PWI.

Keputusan yang dinarasikan dengan terminologi memberhentikan tetap bukan sembarang keputusan. Apalagi yang menjadi obyeknya adalah Ketua Umum PWI Pusat. Gegara keputusan itulah wajar organisasi yang bermarkas di Jalan Kebon Sirih 32-34 Jakarta bergejolak. Tsunami terjadi dengan badai ikutan yang ikut melibas apa saja, tak luput PWI menjadi episentrum perhatian publik santero jagad.

MURI (Museum Rekor Indonesia) perlu mencatatan keputusan ini sebagai kontroversi paling mutakhir di era reformasi. Betapa tidak? Lokomotif yang menjadi penggerak, dan sekaligus simbol atau ikon organisasi bisa dilibas begitu saja. Di antara pertimbangan pertimbangan teknis, rasional dan tentu ada alibi secara hitam putih, yakni aspek yurisdiksi yang dijadikan sandaran. Namun, pernahkah terpikir bahwa hukuman itu terlalu naif, alias tidak rasional untuk ukuran orang awam.

Saya sebagai pemegang kartu biru, untuk menyebut Kartu PWI, yang tidak mendalami langsung pernak-pernik teknis, menilai keputusan itu tidak pantas. Karena hukum tidak dapat dipandang secara hitam putih semata, namun menyitir Begawan Hukum Prof Satjipto Rahardjo hukum harus mampu mencerna dan memijakkan pada realitas yang ada. Apalagi hal itu menyangkut organisasi wartawan, organisasinya entitas masyarakat madani (civil society).

Dua kutub argumentasi coba dibeber, diurai oleh kedua belah pihak, yakni Hendry Ch Bangun dari kacamatanya sebagai Ketua Umum PWI Pusat, dan Sasongko Tedjo notabene Ketua Dewan Kehormatan.

Menurut mantan Sekretaris Jendral PWI Pusat ini, tentu dengan mengacu PDPRT, Sasongko tidak dapat begitu saja membuat keputusan seperti itu. Karena yang tidak dapat diutak atik adalah posisi Ketua Dewan Kehormatan.

Sama dengan Ketua Umum PWI Pusat, Ketua Dewan Kehormatan (DK) dipilih melalui Konggres. Artinya hanya melalui forum yang diatur sesuai PDPRT posisinya dapat diganti atau digugurkan. Ketua Dewan Kehormatan pun demikian, Sasongko menjadi Ketua DK karena dpilih melalui Konggres. Yang membedakan adalah personel yang duduk dikepengurusan, baik PWI mau pun DK disusun kemudian oleh formatur.

Bagaimana jika pengurus tersebut tidak dapat melaksanakan tugas, atau faktor faktor lain PDPRT tidak mengatur secara khusus. Dengan begitu pergantian pengurus atau resafel dapat dilakukan melalui mekanisme internal sesuai dengan peraturan yang lazim disepakati secara organisatoris.

Memijakkan diri pada kondisi di atas, ini menjadi alibi Hendry Ch Bangun, dia melakukan perombakan Dewan Kehormatan dengan pertimbangan telah mengundang pihak terkait, yakni Dewan Penasehat dan Dewan Kehormatan itu sendiri.

Faktanya pada Rapat Diperluas, yang melibatkan Dewan Penasehat dan Dewan Kehormatan, resafel (reshuffle) yang dilakukan tidak ada yang menolak, atau mempersoalkan. Karena itu ketika kemudian dipersoalkan lagi, di sini menjadi aneh. Artinya ada perubahan sikap, namun dalam Rapat Diperluas hal itu tidak terjadi.

Kini kembali pada keputusan Dewan Kehormatan memberhentikan tetap Ketua Umum PWI jika diidentifikasi secara lebih mendalam sebenarnya biang persoalan telah selesai. Namun riak-riak yang justru tidak substansial karena ditumpangi kepentingan dan penumpang-penumpang gelap, komplikasi ikutan terjadi.

Dewan Kehormatan dan Pengurus Pusat PWI perlu melakukan kanalisasi agar masalah tidak melebar. Namun yang terjadi masing-masing gatal karena tergoda memanfaatkan ruang publik.

Di sinilah komplikasi muncul termasuk PWI babak belur menjadi bulan bulanan pihak luar.

Pihak di luar PWI yang ikut rebut dan membuat gaduh suasana mereka sesungguhnya tidak berpihak pada PWI. Ibarat api jauh dari panggang mereka sekadar memanfaatkan kemelut menjadi panggung untuk agenda dan kepentingannya sendiri.

Sadar atau tidak PWI sesungguhnya telah diadu, dipecah belah dan itu yang mereka inginkan. Faktor lain yang memperparah komplikasi adalah krisis idealisme, krisis kewibawaan kini sedang berkembang di PWI. PWI telah terjangkiti penyakit parpolisasi, atau melumernya idealisme pasca reformasi. Benteng demokrasi ini kini larut pada euforia materialisme dan hanyut oleh tarik menarik kepentingan praktis.

Sedikit memberi narasi: Hendry Ch Bangun dan Sasongko Tedjo adalah dua tokoh yang bahu membahu mengawal kepemimpinan Margiono. Meski sempat diterpa isu tak sedap, yakni terpilih lantaran praktik-praktik politik uang yakni di Kongres Banda Aceh, namun Margiono membuktikan menjadi nahkoda yang andal.

Di bawah kepemimpinan Margiono PWI mampu eksis di tengah cibiran banyak pihak kala itu.

Namun aneh dua sekondan itu. Bahkan mereka jualah yang habis habisan menumbangkan perjuangan Atal Depari, kini berseteru ria. Ada yang mengatakan keretakan itu terjadi karena idealisme tak lagi menjadi kiblat dan marwah yang menyangga organisasi wartawan terbesar dan tertua ini. Jika ideologi masih menjadi spirit kecil kemungkinan tragedi, maaf jika istilah ini berlebihan, tetapi saya menilai inilah tragedi di tubuh PWI.

Hendry Ch Bangun sudah mengultimatum jika dalam 3 X 24 jam tidak mencabut dan meminta maaf maka langkah hukum lanjut akan digulirkan. Sebelumnya Sekretaris Jenderal (Sekjen) PWI Pusat, Sayid Iskandar Syah telah melaporkan ke polisi terlebih dahulu. Dia beralasan telah melaksanakan putusan DK, mundur dari Sekjen, tetapi toh masih diberhentikan juga. Ikhwal itulah yang menjadi alasan Sayid mengadukan ke polisi.

Atas ultimatum Hendry Ch Bangun dan laporan Sayid Iskandar sejauh ini Dewan Kehormatan belum mengambil sikap. DK sendiri berkeyakinan kesalahan Ketua Umum masuk pada kategori berat, yakni merombak kepengurusan DK yang bukan menjadi wewenangnya. Alasan dimaksud telah dipatahkan Hendry karena perombakan itu adalah produk Rapat Pleno Diperluas, dihadiri Dewan Penasehat dan Dewan Kehormatan.

Masing masing mendalilkan kebenarnya sendiri sendiri. Mana benar, mana salah semuanya rugi. Masyarakat pers nasional prihatin atas tragedi ini. PWI telah tergelincir pada pragmatisme yang kemudian menghancurkan dirinya sendiri. Tuntut menuntut membawa kasus ke ranah hukum bukanlah langkah yang bijak, dan semua merugi. Menang jadi arang, kalah jadi abu barangkali itulah peribahasa yang tepat.

Sasongko dan Hendry tidakkah mereka ingat bersama sama dalam kurun waktu lama menjaga, mengawal dan membesarkan organisasi ini. Margiono mungkin menjadi orang yang pertama kali menangis menyaksikan ulah dua orang kader dan sekaligus kepercayaannya. Sesepuh sesepuh PWI juga ngelus dodo mengapa mereka terbawa, dan termakan oleh riak konflik yang sampai berlarut.

Simak saja betapa konflik PWI, telah menjadi bulan bulanan mereka yang selama ini acuh dan sama sekali tak peduli. Mereka menari, celometan dengan nyanyian sumbang PWI telah menjadi sarang koruptor.

Jika yang berteriak teriak itu adalah mereka yang selama ini berjuang, berjibaku untuk PWI, seperti almarhum Tarman Azzam, Wina Armada Sukardi, Dhimam Abror, kemudian Marah Sakti, tokoh sekaliber Ilham Bintang kami angkat topi!

Namun, mereka-mereka itu yang berteriak teriak sok moral bukan pejuang pejuang PWI di atas. Mereka sekadar memanfaatkan panggung untuk kepentingan sensasi yang sama sekali tidak pantas. Karena itu meski bukan tokoh, dan orang yang berdarah darah di PWI, tetapi kami pernah merasakan betapa mulia dan berwibawanya organisasi ini. Saya tercenung, saya sedih, tetapi kemudian mencoba berhikmat memetik pelajaran sendiri. Barangkali benar. Setiap masa ada pemimpinnya, setiap pemimpin ada masanya.

Boleh jadi PWI harus diruwat, dan harus kembali pada khitahnya. Semua harus bersepakat, tidak ada tempat bagi mereka yang bermain uang di PWI. Tragis, aneh, bahkan mungkin najis untuk menjadi Ketua PWI mesti dengan politik uang.

Apa jadinya jika benteng demokrasi, penjaga moral terlacur pada pragmatisme yang menghalalkan segala cara? Itulah catatan. Renungan dan pesan akhir untuk kita semua. Kecuali kita sepakat dan memberi karpet merah untuk PWI Perjuangan.

Jayanto Arus Adi, adalah wartawan senior, Ahli Pers Dewan Pers, pernah menjadi Sekretaris PWI Jateng dua periode. Sekarang aktif di JMSI (Jaringan Media Siber Indonesia), dan mengelola Media Online RMOL Jateng.id. Menjadi dosen jurnalistik di beberapa perguruan tinggi, dan sedang menempuh Program Doktoral Manajemen Kependidikan di Unnes Semarang.