Benarkah Jawa Tengah Provinsi termiskin di Jawa? Pertanyaan ini sesungguhnya biasa saja. Karena Provinsi Kepodang, sebutan untuk Jateng untuk berbagai parameter posisinya tak begitu kinclong.
- Real Battle Ground Pemilihan Gubernur Jawa Tengah
- Siapa Membunuh Siswa SMK?
- Banteng-banteng Mbedal dari Kandangnya
Baca Juga
Diibanding DKI Jaya, Jawa Barat, dan Jawa Timur kalau kita jujur memang masih kalah kelas. Tapi kalau disandingkan Banten dan Daerah Istimewa Yogyakarta skor atau indeksnya bisa jadi lebih ungul. Hanya saja tidak semua sektor, karena ketika sektor pariwisata kita head to head dengan DIY bagaimana pun masih kalah pamor, untuk tidak mengatakan kalah kelas.
Lantas di manakah posisi Jawa Tengah sebenarnya? Adakah narasi pelipur lara menakar diri terkait posisi ini. Kita perlu bijak bersikap begitu lantaran dengan Banten dan DIY untuk disandingkan secara individual variabelnya berbeda. Dari aspek luas wilayah saja DI Yogyakarta kalah, begitu pun Banten. Khusus Banten provinsi ini tergolong baru. Dia merupakan pemekaran dari Jawa Barat. Artinya kalau dibandingkan dengan Jawa Tengah menjadi tidak proporsional.
Untuk diketahui DIY, provinsi yang dipimpin Raja Jogja HB X ini, luas wilayahnya hanya terdiri atas lima Kabupaten. Jadi kalau dibandingkan dengan Jawa Tengah yang punya 35 Kabupaten/Kota agaknya bukan sandingan yang tepat juga. Makanya aneh bin Ajaib juga ketika, tiba tiba muncul penilaian bermula dari release BPS, Jateng adalah provinsi termiskin di Jawa.
Meski label itu belum tentu sahih, apalagi final ketika penilaian yang ada mendasarkan survei PDRB BPS ‘dunia persilatan’ tak luput menjadi gaduh. Betapa tidak, gubernurnya saja calon presiden favourite. Jika demikian bahwa calon presiden harus didasarkan pada prestasi prestasi luar biasa yang sudah teruji, maka soal hasil survei Ganjar Pranowo layak dikritisi secara ekstra ordinary.
Memimpin Jateng minim prestasi, dan andai benar, provinsi yang dipimpinnya menyandang predikat termiskin maka logika publik harus dicerahkan lebih mendasar. Terhadap detail release BPS Jawa Tengah saya jadi bersemangat untuk melihat lebih komprehensif. Kalau sebagai potret hasil survei angka atau nilai apakah angka itu benar benar dapat dipertanggungjawabkan. Nah ini sangat penting agar masyarakat mendapatkan asupan untuk menghela langkah lebih lanjut.
Jadi pepatah, buruk muka cermin dibelah tidak bakalan terjadi. Karena memang tidak ada yang salah dengan cermin itu sendiri, mengapa BPS seperti kebingungan pasca merelease data terkait Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita di Indonesia dan simpulan lanjutnya adalah Jawa Tengah menjadi provinsi termiskin di Pulau Jawa.
Artinya apa, maaf tidak ada maksud apalagi tendensi menjadi kontroversi politik, apalagi agenda agenda tertentu. Catatan ini tak lebih sekadar membeber data dan fakta siapa kita, dan sebaiknya kita dapat melakukan terobosan, langkah apa untuk mengejar capaian capaian elok yang diraih provinsi tetangga, tak jauh jauh di Pulau Jawa ini saja.
Sedikit mengurai portofolio prestasi Jateng yang dapat menjadi jejak prestasi Ganjar menurut saya menilik berbagai indikator yang ada tak begitu gemerlap juga. Catatan yang selalu menjadi gegap gempita karena seluruh mata tertuju, adalah prestasi PON misalnya. Untuk diketahui prestasi olah raga Jawa Tengah di era Ganjar justru mengalami sandyakala. PON XX Papua lalu menjadi yang terburuk setidaknya untuk lima periode yang ada.
Masih ingatkah publik warga Provinsi Kanthil, sebutan Provinsi Jateng untuk khasanah floranya, ketika itu sang Gubernur-Ganjar Pranowo bertandang juga ke Papua. Nah, apa makna kehadiran lurahnya wong Jawa Tengah ini, ketika kemudian secara hasil tetap saja jeblok.
Raihan prestasi kontingan PON Jateng di Papua bagaimana pun bagian menjadi jejak prestasi yang tidak bisa dipandang sebelah mata, apalagi dinafikkan sekenanya. Sebelumnya di Riau, kemudian Jabar posisi lima besar masih bisa diraih. Memprihatinkan, untuk tidak mengatakan memalukan di Papua, Jawa Tengah yang dipimpin gubernur yang notabene calon presiden prestasinya justru jeblok.
Berada di posisi enam, di bawah Provinsi Bali kontingen Jawa Tengah berhasil menyumbang 138 medali yakni 27 medali emas, 47 perak, dan 64 perunggu. Di atas Bali adalah Papua, sedangkan posisi satu, dua dan tiga besar tetap didominasi Jabar, DKI Jakarta, dan Jawa Timur. Memaknai hasil tersebut kalau PON menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan sektor olah raga, maka Ganjar gagal membangun olah raga Jawa Tengah.
Dalam konteks psikologis, juga strategis itu artinya kehadiran Ganjar Pranowo tak membawa pengaruh apa pun. Kita dapat melihat potret serupa, kunjungan Gubernur Jabar, Kang Emil sebutan untuk Ridwan Kamil, momentum itu tampak memberi kontribusi, yakni mengangkat moral kontingan Jabar. Hasilnya semangat mereka luar biasa, dan prestasi Jabar pun benar benar gemerlap, bahkan DKI Jakarta yang selama ini menjadi kampiun tak luput keok.
Prestasi PON apa pun wujudnya tetaplah menjadi sebuah cermin untuk dua tokoh flamboyan, yakni Ganjar Pranowo dan juga Anies Baswedan. Dan, memotret portofolio kiprahnya, meski media sosial dikuasai baik, namun tak membawa dampak ikutan positif di dunia olah raga. Tesa ini mudah dipahami, bukan hanya soal PON kedua tokoh itu, Anies dan Ganjar bukan tipe yang gila olah raga.
Dapat menjadi renungan serupa era Bang Yos atau Jokowi-Ahok misalnya, greget prestasi olah raga provinsi paling tajir di Indonesia ini masih sangat bertaji. Waktunya relative beriringan, Gubernur Mardiyanto dan Bibit Waluyo menorehkan catatan penting untuk prestasi olah raga. Cabang olah raga paling populer, yakni sepak bola gregestnya lebih terasa.
PSIS ketika itu, kebetulan spirit kedaerahannya juga masih kental, prestasinya lumayan menjanjikan. Kini, nasib bond kebanggaan wong Semarang nasibnya seperti kurang beruntung, lihat saja GOR Jatidiri selama ini menjadi home base, karena alasan renovasi harus ditinggalkan PSIS bahkan sempat ngungsi setiap kali laga kandang di Magelang.
PSIS dan Persija nasibnya nyaris serupa. Cermin kecil ini dapat menjadi representasi untuk melihat potret pembinaan olah raga, dengan PON sebagai muaranya. Apa pun dan bagaimana pun sikap juga concern pemimpin sangat mewarnai dinamika yang lebih konkret di lapangan. Suasana kebathinan terasa sekali memberi kontribusi bagi atlet juga insan olah raga secara nyata.
Kembali ke topik kontroversi PDRB Jateng yang marak menjadi polemik di berbagai medium, juga menilik cakupan eskalasi isunya ada dua aspek penting yang perlu dijadikan pegangan. Pertama untuk Gubernur Ganjar semestinya hasil tersebut menjadi momentum untuk dialog yang dewasa dan lebih komprehensif. Tidak perlu dibantah, apalagi membangun narasi pembelaan demi sebuah pencitraan yang tidak berpijak atas data dan fakta di lapangan.
Penjelasan Kepala Badan Pusat Statistik Jateng Adhi Wiriana seperti kebakaran jenggot rasanya kurang pas. BPS merupakan lembaga yang kredibel dan kompeten dengan rekam jejaknya terkait independesi data yang sudah teruji. Terkait indeks PDRB Jateng yang menjadi kontroversi BPS idealnya dapat memanggil stakeholder terkait untuk sharing season, sekaligus edukasi publik. Langkah itu lebih strategis dan bermartabat karena dengan begitu menjadikan panggung untuk semua pihak dan mereka dapat memetik pelajaran berharga bersama.
Pijakan substantifnya tetap pada penjelasan Adhi Wiriana, sebagai Kepala BPS Jateng bahwa PDRB per kapita atau pendapatan rata-rata penduduk Jateng tahun 2021 sebesar 38,67 juta per tahun adalah informasi yang benar. Jika dirata-rata jumlah tersebut melebihi dari upah minimum yang telah ditentukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Bahwa tingkat pendapatan suatu daerah tidak linier dengan tingkat kemiskinan itu persoalan yang lain. Risalah PDRB disebut juga sebagai pendekatan kesejahteraan semu tak perlu diperpanjang, apalagi diperdebatkan.
Menjadi pihak yang netral menarik untuk dijadikan opini sandingan adalah pernyataan Ekonom senior, Rizal Ramli. Mantan Kabulog era Presiden Gus Dur itu menyindir Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang dinilai terlalu ambisius untuk berlaga di Kurusetra 2024, yakni Pemilihan Presiden. Ganjar menurut Rizal Ramli selalu andalkan polling dan survei bayaran untuk mengangkat elektabilitasnya.
“Ada yang kebelet nyopras-nyopres, ancang-ngancang jadi boneka baru oligarki modal polling dan media berbayar,” sindir Rizal Ramli di Twitter-nya dikutip Rabu 30 Maret 2022. Yang memprihatinkan dalam penilaian ekonom senior ini di Jawa Tengah, Ganjar tidak bisa berbuat banyak. Terlihat dari data statistik, Jawa Tengah adalah provinsi termiskin di Pulau Jawa.
Untuk itu saran untuk Ganjar dari Rizal Ramli adalah fokus dan meningkatkan performa kinerjanya sebagai lurahnya Jawa Tengah. Meninggalkan jejak emas dengan lebih berkosentrasi dalam mengurus Jawa Tengah jauh lebih bermakna. Sejauh ini dalam penilaian Rizal dengan melihat kiprahnya kentara sekali selingkuh agenda yang ditunaikan tokoh berambut perak ini. “Bikin malu Jateng dan ngurus desa Wadas aja ndak becus. Ganjar justru keluyuran ke mana mana, ini yang membuat catatan saya,” celetuk Rizal Ramli.
Aspek lain yang menjadi pertimbangan juga sorotan ekonom yang pandangannya dikenal kritis ini adalah rekam jejak Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah tidak ada istimewanya. Pertumbuhan ekonomi Jateng biasa biasa saja, kemiskinan juga terobosan menonjol yang dilakukan juga tak tampak. Pertimbangan inilah yang menjadi alasan Rizal Ramli tidak melihat kapasitas yang dimiliki alumni Ganjar Pranowo.
Kemudian secara politis, peluang untuk bersaing di PDI Perjuangan nyaris tidak ada, kalau tidak dikatakan tertutup. Terminologi yang tepat ibarat buah Ganjar saat ini salah musim. Peluangnya saat Jokowi naik ke tampuk terganjal oleh manuvernya sendiri, yakni mengambil wakil dari Partai lain. Tidak masuk akal ketika Jateng ditinggalkan lantas Taj Yassin yang menggantikan. Begitu pun kans saat ini, nyaris buntu bagi Ganjar untuk mendapatkan rekomendasi, entah menjadi RI 1 atau pun RI 2 karena momentum sekarang mandat partai lebih berat jatuh ke Puan Maharani. Apalagi kiprah Ganjar sendiri sekali lagi prestasinya tak cukup cemerlang . Berbeda ketika Jokowi menjadi Walikota Solo, kemudian Gubernur DKI dan publik merindukannya naik ke tampuk paripurna, yakni menjadi Presiden.
Jayanto Arus Adi
Pemimpin Umum RMOL Jateng, Ketua Bidang Kerjasama antar-Lembaga Jaringan Media Siber Indonesia. Tenaga Ahli DPR RI Komisi II, Pokja Hukum Dewan Pers, anggota Dewan Pertimbangan, Dosen, dan Mahasiswa Program Doktoral Manajemen Kependidikan Universitas Negeri Semarang.
* Tulisan merupakan opini pribadi tidak mewakili lembaga atau organisasi
- Mengapa Anda Jahat Pada Rakyat?
- Duuuh, duuuuh... IDI, IDI...
- Menyalakan Kembali Asa Grebeg Besar Demak --- Menjemput Wasilah Kanjeng Sunan Kalijaga