Duuuh, duuuuh... IDI, IDI...

Jayanto Arus Adi, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi RMOLJawaTengah
Jayanto Arus Adi, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi RMOLJawaTengah

Catatan saya kali ini sengaja saya beri judul seperti itu. Ihwal yang menjadi musabab adalah sikap Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Semarang terkait kasus meninggalnya mahasiswi program spesialis anestesi.

Mahasiswi cantik, seorang wanita muda, yang sedang mengambil program spesialis anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK-Undip) meregang nyawa lantaran depresi. Jelita sebut saja begitu namanya memilih menenangkan diri, dengan menyuntik obat bius, biasa digunakan untuk keperluan medis. Jelita pasti paham berapa dosis digunakan agar aman. Tapi depresi berat akibat deraan pressure dari senior, juga dari lembaga tempatnya menuntut ilmu, membuat dia memilih jalan pintas, jalan maut, BUNUH DIRI!

Kasus ini sempat coba ditutup-tutupi alias dikaburkan karena bakal jadi aib lembaga, dalam hal ini progran dokter spesialis FK Undip. Pantaslah mereka bertindak lancung menutupi tragedi kematian sang mahasiswi itu karena khawatir nama baiknya tercoreng.  Rupa-rupa narasi dibiarkan menjadi liar. Publik jadi berassumi senada ikhwal kasus ini.

Tapi syukurlah, seperti adagium Gusti Allah Mboten Sare, malaikat turun tangan. Polda Jateng mengambil langkah out of the box.

Pegungkapan kasus ini menjadi afirmasi dan sekaligus apresiasi langkah Polda Jawa Tengah. Dalam ekspose beberapa waktu lalu Polda telah menetapkan tiga tersangka terkait kematian Jelita. Mereka didakwa melakukan pemerasan dan perbuatan melawan hukum, yakni dengan mengeksploitasi Jelita.

Sikap ganjil buntut dari kasus ini datang dari IDI. Apa pasal sikap lembaga yang menjadi wadah tunggal dokter ini? Sikap IDI dengan membela, setidaknya menyediakan pendampingan hukum pada para terdakwa, adalah salah kaprah. Wajarlah publik meradang atas sikap IDI Itu.

Kasus ini jadi menguarkan aroma tak sedap aib-aib IDI yang lain. Sederet kontroversi terkait kebijakan wadah tunggal para dokter ini menjadi testimoni atas narasi-narasi ganjil yang terjadi.

Saya jadi tergiang kembali keputusan IDI memecat mantan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Menkes RI) dr. Terawan Adi Putranto. Saya tidak dalam kapasitas ingin membela sosok dokter yang juga seorang Jenderal ini. Hanya logika di benak belum mememukan reason yang pas. Saya hanya heran, andai dr. Terawan salah dan mengkhianati sumpah profesi dan juga etik lembaga, mengapa dia dibela oleh paling tidak tiga presiden.

Meski tidak terang-terangan, Joko Widodo, Prabowo Subiyanto dan Presiden Republik Indonesia Ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, membelanya. Betapa tidak. Mereka adalah klien dr. Terawan.

Semasa SBY menjabat Presiden, Terawan adalah Direktur Rumah Sakit Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto. Kemudian Jokowi mendapuknya jadi Menkes, bahkan sekarang Prabowo memberi tugas khusus juga.

Inilah paradoks, inilah anomali dan memunculkan pertanyaan besar yang belum tuntas terjawab.

Di tengah gelisah yang belum berujung, tetiba saya membaca berita IDI Semarang akan memberikan pendampingan hukum pada terdaksa kasus meninggalnya Jelita.

Saya mencoba positive thinking saja. Pantas dan sah-sah saja IDI membela mereka para tersangka kasus meninggalnya Jelita. Tapi hati kecil dan nurani saya belum bisa legowo menerima. Mengganjal, ganjil dan menggoreskan pedih. Saya mencoba berdamai saja, tapi sedih masih membayangi. Duuuh, duuuh... IDI, IDI...

Saya masih mencoba penasaran mencari jawab, sembari menelan ludah sendiri. Kecut rasanya. Tabik.

 Jayanto Arus Adi adalah wartawan senior, Ahli Pers Dewan Pers. Ketua Bidang Pendidikan JMSI (Konstituen Dewan Pers). Saat ini mengelola RMOL Jateng, media online cukup berpengaruh di Jawa Tengah sebagai Pemimpin Umum dan Redaksi. Juga terlibat di Koran Pelita Baru, sebagai Direktur Bisnis dan Pengembangan Usaha. Dosen mata kuliah jurnalistik di beberapa Perguruan Tinggi. Konsultan Media dan Politik, serta aktif menulis. Sekarang lebih banyak bermukim di Kota Wali Demak.