Ramai-ramai meng(h)ajar Ganjar

Selamat datang di Kurusetra Pilpres 2024. Meski sekarang baru tahun 2022, namun panasnya juga gonjang ganjing yang terjadi, mulai terasa. Teranyar, sodokan pernyataan sejumlah pihak yang dialamatkan ke Ganjar Pranowo. Meski belakangan tensi mulai mereda, indikator yang dapat menjadi testemoni di sini adalah kehangatan saat berlangsung Rakernas PDI Perjuangan di Lenteng Agung 21-23 Juni.


Foto salam komando dan senyum yang diekspresikan Ketua Bapilu DPP PDI Perjuangan, Bambang Wuryanto, kemudian Sekjen Hasto Kristianto dan Ganjar Pranowo bagaimana pun memberi nuansa teduh. Sebelumnya, langkah atau banyak dinilai sebagai manuver politik dari Gubenur Jawa Tengah membuat sejumlah pihak gerah hingga muncul pro dan kontra di publik. 

Ganjar Pranowo dinilai sudah menerabas kelaziman, dalam hal ini rambu-rambu etik, meski secara hitam putih tidak tertulis boleh dan tidaknya. Sebagai wong Jowo,  laku yang dijalankan tak sesuai dengan adab atau tindak yang masih harus ditahan, karena belum saatnya. Dampak dari langkah itu membuat gaduh, karena ada yang gerah,  dan lain sebagainya.

Belum hilang dari ingatan, Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Tengah Bambang Wuryanto yang notabene adalah Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) DPP PDI Perjungan menyentil keras. Lewat analogi simbolik, Pacul mengungkap perilaku kader PDI Perjuangan yang tak sejalan dengan garis partai dengan sebutan khusus.

Menurut Bambang Wuryanto kader semestinya loyal, itu namanya banteng. Apalagi di Jawa Tengah yang sekaligus dilekatkan sebutan kandang banteng. Sekali lagi, kata Pacul, kalau banteng itu setia, loyal. Nah yang tidak taat alias membangkang itu namanya celeng.

Meski pedas, ucapan Pacul menyiratkan aspek edukasi atau hitam putihnya sebuah partai. Artinya pernyataan tersebut lebih dimaksudkan sebagai warning – mengajar - membina, bukan meng(h)ajar -membinasakan. 

Judul catatan ini  pun sesungguhnya merangkum nilai-nilai tersebut. Jadi bagaimana filosofi menjadi sandaran pesan yang langsung disampaikan lugas, tidak lagi tersirat, tetapi tersurat, bahkan diartikulasikan.

Nah, bagaimana Ganjar yang disorot lantaran Jateng prestasinya tak kinclong memaknainya? Hanya Ganjar sendiri yang tahu. Lalu, apakah suami dari Siti Atiqoh ini juga melakukan koreksi atas kritik atau teguran Pacul? Publik dapat menilai dan melihatnya sendiri.

Fakta empirik yang dapat dihadirkan di sini, dua periode Ganjar memimpin Provinsi Kepodang ini prestasinya tak kinclong-kinclong amat. Beberapa handycap yang seringkali disorot, seperti kemiskinan, olah raga, juga pariwisata Jateng masih belepotan. Borobudur misalnya, sebagai destinasi utama dan secara positioning geografis berada di Magelang Jawa Tengah, namun DIY lebih mengeksploitasi dengan beragam jualannya.

Menyandingkan capaian Bibit Waluyo, gubernur sebelumnya, Ganjar masih kalah. Kasus Wadas, proyek bendungan di Bener, Purworejo yang meledak, bahkan menjadi perhatian luas menjadi bagian dari rapor Ganjar. Begitu pun prestasi Jateng di PON XX Papua adalah yang terburuk sepanjang sejarah. 

Catatan lain yang masih sering disangkutkan adalah dugaan keterlibatan mantan anggota Komisi II ini, yakni soal e-KTP. Nyanyian Nazarudin menyebut Ganjar ada di pusaran ini, apalagi ketika itu posisinya adalah Wakil Ketua Komisi II. Nah, bagaimana konstruksi utuh dari kasus ini, tabir masih gelap, misteri, yang jelas seperti menyisir bubur panas,  KPK sampai sekarang juga masih bergerak menelisik kasus ini.

Membaca Sikap Mega

Nama Ganjar masuk pada pusaran kontroversi tak luput dari kiprahnya menjadi lurahnya Jawa Tengah. Sirene awal dilontarkan orang nomor satu di jajaran ‘kandang banteng’ Jateng, yang tak lain adalah Bambang Wuryanto. Ketika itu sebagai kepala daerah yang diusung PDI Perjuangan Ganjar Pranowo tidak diundang saat DPD PDI Perjuangan Jawa Tengah menggelar hajat. 

Aneh tapi nyata, tetapi hal ini secara faktual terjadi. Dua kali DPD (Jateng) menggelar acara  orang nomor satu di Jalan Pahlawan – sebutan kantor Gubernur Jateng- tidak diundang. Mencoba menelisik secara kultural, dan struktural,  peristiwa itu bagaimana pun merupakan sebuah keganjilan. Artinya jika tidak ada hal yang menjadi pertimbangan khusus, sebagai bentuk ‘sanksi’ langkah itu pasti tidak akan terjadi.

Berikutnya,  sentilan Ketua DPR Puan Maharani ketika meresmikan Sambungan Air Bersih di Gendayakan Wonogiri beberapa waktu silam. Dalam pengarahannya, putri Ketua Umum Partai Moncong Putih ini menyinggung tanggung jawab kepala daerah. Pernyataan ini publik menyimpulkan arah kritik Puan dialamatkan pada figur sang gubernur, yakni Ganjar.

Apalagi ada pesan tersirat agar jangan memiliki pemimpin yang pekerjaannya bermedsos-ria. Untuk menjadi catatan di sini, Ketua Kagama ini termasuk pemimpin yang rajin bersosial media. Cuitan dan interaksinya di media sosial terbilang aktif. Di kalangan penggiat media sosial, nama Ganjar Pranowo harus diakui cukup populer. 

Memang sah-sah saja, siapa pun rajin bermedsos ria, atau memanfaatkan dunia maya untuk menabalkan program programnya. Kecenderungan ini di era disrupsi secara positif sesungguhnya menjadi sebuah keniscayaan. Namun, ketika media sosial menjadi semacam ikhtiar mendapatkan legacy untuk pencitraan semata, hal ini perlu ada kritik yang meluruskan.

Masih seputar polemik terkait kiprah kader-kadernya masuk pada ranah kontrovesial disampaikan juga sang Ketua Umum. Megawati Soekarno Puteri menyampaikan pesan terang benderng, yakni akan memecat kader- kadernya, siapa pun itu, yang tidak loyal. Istilah Ibu Ketua Umum menggunakan terminologi, jangan main dua kaki, apalagi tiga kaki.

"Bagi kalian siapa yang berbuat manuver, keluar. Karena apa? Tidak ada dalam PDIP itu yang namanya main dua kaki, main tiga kaki, melakukan manuver," ujar Megawati.

Pernyataan itu dimaknai khusus sebagai warning pada kader-kader yang sudah tebar pesona, kebelet nyapres. Apakah sentilan keras tersebut khusus dialamatkan pada Ganjar Pranowo? Silakan masing- masing kita memberi jawaban sendiri.

Satu hal yang ingin saya sampaikan di sini, berbagai dinamika dengan segala ekstrapolasinya memberikan simpulan pada dua aspek. Pertama,  ketika Ganjar Pranowo mampu memetik hikmat terdalam dari seluruh pendulum yang ada, maka sebagai sebuah kristaliasi akan menjadi sebuah pembelajaran. Artinya ini bukan ramai ramai menghajar, tetapi menjadi pelajaran.

Sebaliknya,  jika berbagai sentilan yang muncul tidak disikapi secara bijak, maka yang akan terjadi adalah ini  merupakan penghajaran. Ya, pertanyaaan kemudian, apakah sebagai kepala daerah, yang notabene Ganjar Pranowo adalah seorong politisi juga, langkah-langkahnya merupakan sebentuk penyimpangan, atau semestinya perlu seperti itu.

Nah, di sinilah waktu yang akan menjadi pengadil bijak. Kita semua sebagai warga bangsa berharap proses yang berelasi dengan suksesi 2024 adalah ektase yang tidak boleh dibiarkan tumbuh liar. Namun edukasi publik, dengan mendasarkan pada aspek sosial, intelektual, spiritual, dan juga kultural dibiarkan hadir secara utuh juga lahir dari rahim suci. Sesuatu yang diniati baik harus ditunaikan baik. Pemimpin adalah payung agung untuk seluruh warga bangsa ini. Karenanya,  air yang mengalir ke muara peradaban jangan membawa serta sampah sampah amarah, apalagi syahwat- syahwat yang menghambakan keduniaan semata. 

Tetapi di sana ada trahing kusumo rembesing madu. Jalmo limpat seprapat tamat. Inilah sesanti yang sekaligus menjadi kunci, yakni untuk dapat memayu hayuning bawana,

maka laku itu menjadi sebuah ikhtiar, tidak saja dimaknakan langkah, namun di sini ada proses untuk menyatukan jagad gede dan jagad cilik termanifestasi dalam satu tujuan.

Jayanto Arus Adi, Pemimpin Umum RMOL Jateng, Ketua Bidang Kerjasama Antarlembaga JMSI (Jaringan Media Siber Indonesia), Penggiat Satu Pena Indonesia, Dosen dan Mahasiswa S3 Unnes. 

Tulisan merupakan pendapat dan opini pribadi, tidak mewakili Lembaga atau pun institusi tersebut.