Selamat Datang Partainya Wong Cilik

Joko Widodo adalah simbol dan sekaligus representasi wong cilik. Spirit itu adalah menjadi jiwa dari PDI Perjuangan. Menepikan, menciderai apalagi menyingkirkan Joko Widodo akan menjadi bumerang bagi PDI Perjuangan itu sendiri.


Keputusan FIFA mencoret Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 melahirkan tsunami baru. Efek bukan sekadar menjadi persoalan olah raga, namun melebar di aspek aspek yang lain. Kasus ini tak ubahnya tragedi Covid-19 silam, pagebluk itu menyulut krisis multidimensi, baik ekonomi, politik dan sektor yang lain. Artinya kita perlu bijak, tidak sembrono karena dicoretnya Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia dapat menjadi Ibu dari krisis baru di Indonesia.

Kini yang sudah tampak dan dirasakan, Indonesia sesungguhnya sedang mempertaruhkan harga diri bangsa di mata dunia internasional, dalam hal ini komunitas sepak bola, lebih spesifik FIFA (Federation Internationale de Football Association). Argumentasi (tentu politik) dapat dirangkai menjadi justifikasi, testemoni bahkan alibi, seperti keberpihakan atas Palestina, sebagaimana amanat UUD 1945. 

Pertanyaannya kemudian, apakah sikap politik itu terlahir melalui analisis, pertimbangan dan sikap yang bijak? Di sini, mata hati kita dapat menilai narasi narasi yang disampaikan atau dibangun para elite di ruang publik. Sebab layak menjadi kajian, telaah dan pendalaman utuh semua pihak adalah protes, keberatan dengan segala aspek yang menggayuti dilakukan pada momentum yang salah.

Pertama proses biding bukan tahapan yang datang tiba tiba. 2019 -2023 adalah rentang waktu yang nyata, dan itu tidak pendek. Lalu ke mana Ganjar Pranowo, Wayan Koster, (FPI) Front Pembela Islam, lembaga yang sudah dibubarkan pemerintah. Kemudian Aliansi Solo Raya (Ansor), Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Majelis Ulama Indonesia, dan Muhammadiyah Jawa Timur. 

Masih ada tokoh lain, mereka lebih mewakili pribadi, seperti Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dan Wagub Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum yang risalah historis juga filosofi adalah mendasarkan pada spirit Bung Karono. Atas nama demokrasi sah sah saja, meski pertanyaan ikutannyat, mengapa protes dilakukan justru di titik akhir, alias saat injury time.

Gonjang ganjing itulah yang memantik tsunami politik, di sisi yang lain PSSI yang dinahkodai Erick Thohir atas legacy Joko Widodo sedang berjuang untuk meredam sanksi FIFA. Sanksi itu adalah sebuah keniscayaan karena Indonesia (PSSI) telah bertindak wanprestasi atas kesepakatan dan komitmen yang telah dipahat secara sadar bersama sama. Ibarat menunggu, bukan Godot, momentum itu pasti datang, jelas menjadi kecamuk campur aduk yang sangat tidak mengenakkan.

PDI Perjuangan

PDI Perjuangan menjadi episentrum eskalasi pergerakan politik karena fakta empirik mendidihnya konstelasi politik itu terjadi pasca “serudukan’ dua kader moncong putih. Fenomena ini menjadi bola salju atau serupa euforia lahar dingin meluncur dari kepundan gunung menjerjang ke mana mana. Tentu Erick Thohir dan Joko Widodo menjadi pihak yang ikut terlibas awan panas, namun imbas kemarahan publik justru melahirkan empati lain yang bergulir, mengalir pada muara yang secara substantif sedang berjalan. 

Mencermati pencoretan dalam konteks yang lebih universal bagi pecinta bola, dan ‘kegilaan’ atas olah raga yang begitu digandrungi masyarakat dunia, tak luput di Indonesia telah menjelma menjadi serupa ideologi adalah sebuah epilog kegetiran. Inilah ‘The Lost World’ sebuah asa dan harapan yang hilang karena orkestrasi jaruh dari harmoni. Betapa tidak sebuah ikhtiar menjadi Host World Cup U-20 - 2023 bukanlah hal yang mudah. Kita harus bersaing dengan negara lain yang juga punya minat sama dengan ‘effort’ yang tidak sederhana. Tapi apa daya, ketika harapan itu sudah di tangan, ibarat punai sudah dalam genggaman, lepas dan terbang,  atau seperti pepatah nasi tinggal dikunya, tiba tiba tumpah. 

Turbulensi ini yang secara filosofi menghadirkan dua keping mata pedang. Pertama konsolidasi secara politik akan berproses dengan kalkulasi yang lebih panjang. Langkah Joko Widodo yang dapat dibaca dari pernyataan politiknya ketika hadir di silaturahmi yang diinisiasi PAN di Kantor DPP PAN, Jalan Warung Buncit Raya, Pancoran, Jakarta Selatan, Minggu (2/4/2023). Ada tengara, kini bandul politik secara simbolik tampak (terbaca) mulai berayun, dan terbuka besar kemungkinan bergesr atau berubah. Salah satu yang terdampak adalah Ganjar Pranowo.

Ganjar Pranowo, Ketua Umum Kagama (Keluarga Alumni Gajah Mada) adalah tokoh yang terlahir dari rahim Jokowi. Joko Widodo dalam berbagai kesempatan menyiratkan legacy itu untuk sang gubernur Jawa Tengah ini. Untuk diketahui sikap itu bukan pilihan tanpa risiko, karena PDI Perjuangan yang notabne menjadi kawah candradimuka mantan walikota Solo ini menjadi tidak satu genderang dengan Megawati Sukarnoputri.

Meski belum ada konfirmasi final Megawati ditafsirkan belum sreg dengan Ganjar Pranowo. Isyarat telak disampaikan oleh Puan Maharini, sang putri mahkota dan Bambang Pacul, Ketua Bapilu, Ketua Komisi III dan juga Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Tengah. Tokoh sentral di partai banteng mencereng Jawa Tengah bahkan tegas mengatakan Ganjar tidak loyal dengan partai. Ingat petikan Pacul ketika itu, melalui statmen simbolik, kalau banteng itu loyal,  yang tidak loyal itu celeng.

Pernyataan menyorot kiprah lurahnya Jawa Tengah yang sudah ‘kebelet’ nyapres juga disampaikan Puan Maharani. Ketika meresmikan program air bersih di di Desa Gendayakan, Kecamatan Paranggupito, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Selasa (26/4/2022) kritik tajam ke Ganjar juga kembali diungkapkan. Pesan lain Puan meminta jangan mudah terpesona pemimpin yang hanya pandai bermedsos.

Elus Prabowo

Sikap Puan dan Bambang Pacul di atas dapat dibaca menjadi representasi ‘policy’ Teuku Umar-kediaman Megati yang tidak berpihak atas gerilya politik Ganjar terkait pencapresan. Artinya ketika Joko Widodo masih mengelus elusnya, maka bukan tanpa resiko dan mantan DKI Satu itu pasti menyadari juga. Memang perilaku flamboyan tokoh yang dimanifestasikan sebagai ‘wong cilik’ ini, yakni Jokowi pada kesempatan berbeda juga menebar ‘pujian’ kepada tokoh lain.

Seperti kepada sekondannya di Kabinet Gotong Royong Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan, Ketua Umum Partai Gerinda isyarat restu menjadi cawapres beberapa kali disampaikan Jokowi ke publik. Bukan hanya isyarat kepada mantan menantu penguasa Orde Baru Jendral Soeharto Presiden Joko Widodo dapat dikategorikan telah memberi legacy.

 Karenanya Prabowo dengan lugas memberikan testimoni atas kepemimpinan Joko Widodo sebagai pemimpin yang inspiratif dan bekerja sangat keras di forum terbuka.

Terakhir yang membuat kubu Teuku Umar bereaksi adalah pamer kemesraan Joko Widodo-Prabowo dan Ganjar saat panen raya di Kebumen. Video yang begitu apik, menampilkan kemesraan bersama viral di jagad maya. Pasca ‘prosesi’ panen raya di Kebumen itu duet Prabowo – Ganjar sempat hangat dan menjadi trending topik. 

Dinamika ini kembali mengusik elite PDI Perjuangan. Selang tak begitu lama ‘serangan balik’ terjadi, yakni bombardemen protes atas rencana kehadiran Timnas Israel. Pernyataan Koster dan Ganjar dua tokoh dari teritori ‘kandang banteng’ menyeruduk telak. Agregasi yang meledak, pemerintah terhuyung huyung karena FIFA kemudian membatallkan drawing dan finalnya mencoret Indonesia sebagai tuan rumah adalah sengatan cobra. 

Presiden Joko Widodo sang petugas partai luput mengantisipasi. Mantan pengusaha mebel, dan Ketua Asmindo Solo ini bisa jadi tak menyangka ‘bom’ itu datang dari partainya sendiri, lebih tepat elite PDI Perjuangan. Kalau benar alibi Ganjar saat diwawancara Najwa Sihab bahwa ‘direction’ itu atas titah sang Ketum langsung, yakni Megawati Sukarnoputri, maka etape ini menjadi palagan anyar bagi kelindan Joko Widodo dan Megawati.

Kalkulasinya ke depan babak akhir pemerintahan ini akan mengalami determinasi yang lebih rancak sekaligus menggigit. Namun jangan memandang sebelah mata dengan Jokowi. Apa pun secara portofolio suami Iriani telah menunjukkan rekam jejak dengan percaya diri yang tangguh. Jejak digital secara politik telah melahirkan hegemoni kultural yang telah teruji. Ketika Mega berkehendak Budi Gunawan menjadi Tri Brata Satu (TB 1), exit skenario elok yang dipilih adalah menempatkannya menjadi Kepala BIN. Jamak diketahui Mega tak suka dengan kebijakan Rini Soemarno ketika itu Menteri BUMN. Isyart agar Rini Soemarno diganti pun sudah sampai ke Presiden Jokowi, namun tokh tidak juga serta merta dieksekusi.

Pelagan Baru 

Sekarang palagannya berbeda. Kali ini Jokowi gagal mengantisipai. Serudukan banteng tak pelak membuat Jokowi mendadar strategi alternatif. Gagasan Koalisi besar yang mengemuka pasca silaturahmi pada acara PAN melibatkan Prabowo – Ketum Gerindra, Muhaimin Iskandar-Ketum PKB, Muhammad Mardiono -Plt Ketum PPP, Airlangga Hartarto – Ketum Golkar dan Zulfilfi Hasan – Ketum PAN menjadi tesis baru arah politik ke depan.

Meski bisa jadi opsi lain mengemuka, namun Koalisi Besar menjadi Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya dengan sentimen baru yang tidak dapat dipandang sebelah mata. PDI Perjuangan patut waspada karena manuvernya menolak kehadiran Israel di ajang Piala Dunia U-20 telah menjadi tengara khusus bagi Joko Widodo. Sikap yang tak elok dan menciderai marwah Indonesia di mata dunia.

Pihak yang kecewa atas tragedi ini cenderung tak lagi mendukung atau surut loyalitasnya ke PDI Perjuangan, termasuk Ganjar Pranowo di dalamnya. Pemilih pemula, kaum mileneal, dan pecinta bola, meski tak seluruhnya akan berpikir ulang. Semestinya PDI Perjuangan dapat melakukan dialog atau diplomasi yang lebih elegan, ketimbang manuver penolakan seperti itu.

Joko Widodo sekarang adalah entitas simbolik yang menjadi perwujudan wong cilik. Mengusik Jokowi bisa jadi akan seperti membangunkan ‘macam tidur’. Koalisi Kebangkiran Indonesia Raya jelas menjadi pintu pembuka yang implikasinya akan merugikan PDI Perjuangan ke depan. 

Yang patut dicermati lagi adalah ketika eskalasi memanas dan Jokowi lantas mengambil sikap yang lebih nyata, atau berseberangan dengan Megawati, dan juga PDI Perjuangan. Kecenderungan ini bisa jadi melahirkan zero sum game.

Sejumlah analis dan pengamat politik menilai Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya akan menjadi Poros Baru yang sangat diperhitungkan. Apalagi jika Jokowi secara moril spiritnya juga disemai di sana (KKIB). Ancaman inilah yang perlu disadari dan diantisipasi. Andai manuver Ganjar Pranowo terkait Piala Dunia U-20 adalah titah sang patron, demi  mendapat tiket untuk dapat melakoni Pilpres mendatang, itu pun belum menjadi jaminan.

PDI Perjuangan perlu memeras ikhtiar yang ekstra hati hati, salah salah Pilpres mendatang akan menjadi titik balik. Tiga catatan penting yang mana publik mencatat sendiri dan menjadi dasar meneguhkan loyalitas, atau sebaliknya, yakni bahwa Jokowi representasi petugas partai, kemudian statmen soal pengajian, dan terakhir kasus Piala Dunia U-20 perlu diurai agar tidak menjadi ‘bottle neck’ yang terus menstigma. 

Joko Widodo adalah asset PDI Perjuangan dan dia menjadi simbolisme dari wong cilik. Megawati sebagai guru, srikandi bangsa harus dapat membaca pertanda zaman ini, dan lebih tepat menjadi ibu dari wong cilik. Memisahkan Jokowi dari wong cilik, apalagi PDI Perjuangan keliru menempatkannya pada ruang dan positioning yang pas dengan segala nafas juga jiwanya akan menjadi boomerang tersendiri.  

Jayanto Arus Adi

Wartawan Senior, Ahli Pers Dewan Pers, Pemimpin Umum RMOL Jateng, Direktur JMSI Institute, Ketua Bidang IT JMSI Pusat,  Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Manajemen Kependidikan (MK) pada Universitas yang sama. 

Artiket dan Opini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili sikap atau pandangan Lembaga Lembaga di atas.