Pelantikan Kepala Daerah, Gubernur, Bupati dan Wali Kota se-Indonesia yang dilakukan Presiden Prabowo di Istana Merdeka menjadi terobosan inspiratif.
- Pertemuan Tanpa Orgasme (Antiklimaks) Mega-Prabowo (1)
- Assalamu’alaikum Kang Dedi Mulyadi
- Mengapa Anda Jahat Pada Rakyat?
Baca Juga
Secara politis pelantikan massal di Istana memiliki magnet dan menyisipkan pesan mendalam. Banyak dimensi terangkum dan melahirkan gigantisme kejutan. Pelantikan itu seperti sebuah ritus, seperti orang melaksanakan ibadah umroh, atau haji, tidak ada lagi siapa lebih tinggi, siapa lebih waah, karena mereka semua sama.
Kejutan tidak lantas berhenti, pascapelantikan para kepala daerah dari seluruh penjuru negeri ini dikumpulkan di Akmil Magelang untuk mendapatkan pembekalan. Selain materi teknis membangun sinergi pemerintah pusat dan daerah, aspek-aspek kolaboratif disemai dalam ajang retret ini. Gelaran ini sebagai sebuah ritus dapat dimaknai deklarasi untuk bersama-sama menjadikan Indonesia ke depan lebih baik.
Sayang seribu sayang, gerbang emas yang telah diracik apik, sedikit terkoyak kegaduhan politik, yakni berelasi langkah KPK memborgol (menahan) Hasto Kristiyanto. Kasus Sekjen PDI Perjuangan itu sendiri sebenarnya persoalan lama, yakni terkait sengkarut Penggantian Antar Waktu (PAW) Anggota DPR RI atas nama Nazarudin Kiemas. Adik kandung suami Mbak Banteng, Nazarudin Kiemas meninggal dunia di saat tahapan Pemilu tinggal selangkah, yakni pencoblosan.
Nazarudin Kiemas Didgdaya
Aneh bin ajaib, dia (Nazarudin Kiemas) benar-benar digdaya. Meski sudah meninggal pun konstituen loyalnya tetap mencoblos, dan luar biasa perolehan suaranya tetap nomor satu. Tapi apa boleh buat kursi harus tetap diisi, sesuai Undang-Undang Pemilu yang berhak menggantikan adalah peraih suara terbanyak di bawahnya, yakni Riezky Aprilia. Dara manis putri mantan Bupati Lubuklinggau, Riduan Effendi menjadi pihak yang secara legal, secara formal punyak hak konstitusi untuk menggantikannya duduk di Senayan.
Tetapi apa hendak dikata, ada langkah lancung, otoritas penguasa partai punya kalkulasi lain. Ada nama caleg yang raihan suaranya berada di nomor enam, Harun Masiku justru yang diberi mandat. Artinya partai harus melakukan ikhtiar khusus, seperti meminta fatwa Mahkamah Agung agar skenario itu dapat berlanjut. Sekali lancung, tetap lancung, ibarat pepatah kita dapat menipu banyak orang, tetapi tidak pada semua orang.
Kebijakan partai moncong putih untuk memperjuangkan Harun Masiku tak sepenuhnya mulus. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menolak karena usulan itu mengingkari Undang-Undang Pemilu itu sendiri. Lagi-lagi lembaga penyelenggara Pemilu itu pun terbelah, buktinya ada pihak (oknum) yang membuka peluang, siapa lagi kalau bukan Wahyu Setiawan. Skenario lanjutan berproses dan terjadilah praktik-praktik lancung yang lain.
Wahyu Setiawan terkena OTT dan mau tidak mau, Harun Masiku terseret. Nasib baik masih berpihak pada Harun Masiku (konon dia masih kerabat petinggi di Mahkamah Agung) karena diduga Sekjen terlibat dalam kongkalikong ini. Saat hendak ditangkap, Hasto diduga merintangi, seperti kisah yang hari-hari ini mengemuka kembali. Sebuah operasi di sebuah Sekolah Tinggi Kepolisian dan personel KPK yang menunggu, gagal.
Harun Masiku menjadi buron, bahkan sampai detik ini belum juga tertangkap. Aneh bin ajaib memburu pesakitan yang tak istimewa-istimewa amat, tetapi aparat gagal total. Publik bertanya-tanya ada apa dengan Harun Masiku, rumor yang bertiup dia memang sengaja dibiarkan, atau bahkan sengaja disembunyikan karena keberadaannya membahayakan tokoh (penguasa) PDI Perjuangan.
Benarkah demikian, bisa ya, bisa tidak fakta yang publik dapat melihat Harun Masiku menjadi pembuka tabir bagaimana sesungguhnya operasi PAW itu terjadi. Lima tahun lewat, Harun tetap misterius, bahkan periode keanggotan DPR 2019-22024 telah lewat.
Riezky Apreilia sang pengganti telah menghabiskan periode pengabdiannya, di sisi lain Harun Masiku masih tak jelas rimbanya. Pun juga mereka-mereka yang terseret kasus ini, seperti Wahyu Setiawan, Saiful Bahri, Agustiani Tio Fridelina yang divonis penjara kini telah menghirup udara bebas.
Hasto Jadi Tersangka
Babak baru KPK menetapkan Hasto Kristiyanto menjadi tersangka. Penetapan Hasto yang berujung penahanan membuat PDI Perjuangan meradang. Sang Ketua Umum langsung bereaksi mengeluarkan Instruksi Nomor 7294/IN/DPP/II 2025 20 Februari 2025 isinya menunda (melarang) kader-kader mengikuti retret.
Keluarnya instruksi tersebut bagai panah salah bidik, reaksi publik menghardik kubu Partai Banteng. Benar, mereka-mereka (Kepala Daerah) adalah kader partai, diusung, didukung PDI Perjuangan. Tetapi tak bisa diingkari mereka dapat menjadi, dapat duduk, dapat menang karena didukung (dipilih) rakyat, yang bukan hanya konstituen banteng. Reaksi bersahutan, dan menjadi bola liar ke mana-mana.
Pakar hukum, seperti Prof Mahfud MD menyatakan, retret bukan wajib mendasarkan undang-undang yang berelevansi dengannya. Tetapi, nah ini ada tapinya, ketika itu menjadi kebijakan presiden, selaku kepala pemerintahan untuk mengkoordinasi sekaligus mengkonsolidasi punya kekuatan mengikat.
Dilema membubung, sejumlah kader akhirnya tak segera landing, seperti pesawat yang hendak mendarat, tetapi ada kendala di darat, akhirnya berputar-putar di udara.
Pramono Anung, Gubernur DKJ (Daerah Khusus Jakarta) bersama sejumlah koleganya transit di sebuah tempat (kafe) di Kota Magelang.
Maju kena, mundur kena, Pram dan kawan-kawan melakukan buying time, Menunggu Godot saja. Ikhtiar ini menjadi bentuk kesetiaan, loyalitas pada Mak Banteng (Megawati Sukarno Putri), sembari menunggu perkembangan dan petunjuk baik.
Memang tidak semua kader mematuhi instruksi sang Ketum. Beberapa, yang jelas jumlahnya lebih banyak, sejak awal mengikuti retret di Akmil di kawasan Lembah Tidar. Mereka (yang hadir) mendasarkan argumen kehadiran dan keikutsertaan di acara retrat adalah bagian dari menunaikan tugas negara. Narasi kenegarawanan menjadi aspek filosofis mereka.
Seorang ketika maju menjadi kepala daerah dari mana pun dia berangkat akhirnya duduk sebagai bapak rakyat. Jadi dia bukan semata menjadi pemimpin (petugas) partai, tetapi rakyat secara jamak. Ikhwal ini yang bergolak, boleh jadi menyrimpung pilihan Pramono Anung dkk yang sudah berada di Magelang.
Kontroversi Instruksi Mega
Apa yang terjadi dengan dinamika dalam konteks serupa adalah pelajaran demokrasi bagi negeri ini? Partai adalah lembaga kader yang melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa, namun ketika amanah itu diemban, maka loyalitas pada partai bermetamorfosa menjadi kesetiaan ideologi menjadi tangan panjang partai untuk menyejahterakan rakyat. Dengan segala kekurangan dan kritik yang mendera retret menjadi sebuah oase pembekalan yang mendapat approval publik.
Di sini instruksi Ketua Umum PDI Perjuangan menjadi kontroversi untuk tidak dikatakan blunder. Pertimbangan PDI Perjuangan (Megawati) sikap itu sebagai reaksi atas langkah KPK memborgol Sang Sekjen menurut publik merupakan persoalan yang konteksnya berbeda. Akan lebih bermartabat menyikapi langkah KPK itu dengan PDI Perjuangan tegas dan jelas memilih tidak bergabung dengan partai-partai pendukung pemerintah, serta dengan kepala tegak memilih berada di luar pemerintahan (oposisi).
Dinamika itu yang sempat mendaki pada titik didih krusial akhirnya mereda. Sikap Megawati melunak (mengoreksi) bukan melarang, tetapi menunda keikutsertaan kader-kadernya bergabung di retret. Fakta yang terjadi hari ke tiga Pramono Anung diikuti belasan kepala daerah (kader PDI Perjuangan) akhirnya bergabung di kawah candradimuka Akademi Militer Magelang.
Kegiatan retret bukan baru pertama, Prabowo Subianto juga memboyong Kabinet Merah Putih ke Lembah Tidar ini. Ketika itu publik memberi respon positif tercermin dari narasi yang menguar di publik. Media hadir dengan liputan eksklusif menyajikan pernik-pernik yang terjadi di sana. Mereka (kepala daerah) digembleng baris berbaris, tidur di tenda menjadi sebuah repertoir elok.
Karenanya instruksi yang dimaknai sebagai larangan, menunda karena argumentasi-argumentasi politik justru publik menilai sebagai sabotase. Tokh tanpa kehadiran mereka (kepala daerah) yang belum bergabung retret berjalan baik-baik saja. Andai mereka tidak datang pun retret akan tetap bisa berlangsung dan sepertinya baik-baik saja. Sebaliknya jika tidak bergabung mereka akan rugi sendiri.
Bersyukur perhelatan akrobatik sebagai pembekalan di Akmil Lembah Tidar akhirnya berlangsung paripurna (semua hadir). Sesi Penutupan menghadirkan suguhan damai yakni ada kekompakan, kebersamaan yang luar biasa.
Puan Maharani mengikuti defile di atas mobil Maung yang jadi kebanggaan Presiden Prabowo. Selain Puan Maharani (Ketua DPR-RI) tampak Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden ke-7 Joko Widodo
Defile itu memberikan pesan mendalam, “Saya (Puan) hadir bukan semata sebagai representasi Ketua DPR RI, tetapi juga mewakili keluarga besar PDI Perjuangan dan juga Ibu Megawati,” kurang lebih seperti itu.
Mengakhiri catatan saya ini, semua stakeholder bangsa perlu belajar dan mengedepankan kearifan bukan amarah. Apa pun narasi yang disampaikan (ditutupi) rakyat punya mata bathin, punya hati. Vox populli vox dei, suara rakyat adalah suara tuhan, jangan sekali-sekali mengkhianatinya. Tabik. Merdeka!!
Jayanto Arus Adi adalah Wartawan Senior, Ahli Pers Dewan Pers. Aktif di Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) - Konstituen Dewan Pers dan duduk sebagai Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan. Memimpin MOJO (Mobile Jurnalis Indonesia), organisasi yang menaungi penggiat media berbasis Android. Mengelola RMOL Jateng, Media Online yang sangat berpengaruh di Jawa Tengah sebagai Pemimpin Umum dan Redaksi. Aktif juga di Satu Pena, Organisasi Penulis yang didirikan Deny JA. Mengajar Jurnalistik di beberapa Perguruan Tinggi. Di antara aktivitas tersebut aktif menjadi konsultan politik dan media. (***)
- Evakuasi Korban Pendaki Hilang Di Gunung Merbabu Dilakukan Pagi Ini
- Dindagkop UKM Rembang Mulai Lakukan Sosialisasi Pembentukan Koperasi Merah Putih
- Warga Resah Atas Aksi Kera Berekor Panjang Yang Masuk Rumah