Jalur Pantura adalah legenda, ikon, sekaligus mitos. Secara historis jalur ini hadir dengan dua mata pedang sebagai kontroversi dengan berupa rupa wajah. Adalah Herman Willem Daendels arsitek di balik gagasan visioner, monumental, juga sangit karena ambisi kekuasan begitu dominan. Menilik jejak yang pesannya terpahat hingga kini terelasi titah dan kisah Napoleon Bonaparte. Untuk diketahui Daendels menjadi Gubernur Jenderal VOC periode 1808 -1811 tidak lain atas legacy pemimpin revolusi negeri Menara Eifel ini.
- Satu Putaran Pilpres, Ya, Tidak, Ya?!!
- Mengapa Anda Jahat Pada Rakyat?
- Pagar Laut, Panggung Atau Penjara Untuk Siapa (1)
Baca Juga
Ketika itu Belanda secara politis masih di bawah hegemoni Perancis. Sementara Perancis sendiri masih berkonfrontasi dengan Inggris. Misi Daendels memperkuat pertahanan Belanda di daerah yang dikuasainya. Jawa menjadi basis dalam ikhtiarnya menghadapi Inggris yang berkuasa di India. Maka begitu datang tahun 1809, dia mengumpulkan seluruh bupati dan menugaskan untuk membangun jalan yang notabene menjadi jari jari pertahanan.
Pembuatan jalan sepanjang 1.000 KM membentang dari Anyer, sampai Panarukan, ujung Barat Pulau Jawa, hingga tembus ujung Timur. Jalan ini kelak dikenal dengan nama Jalan Raya Pos (Grote Postweg), Jalan Daendels, atau Jalan Anyer-Panarukan tidak lain untuk konsolidasi kekuatan. Tak mudah membangun zaman itu. Belantara lebat, dalam Bahasa Jawa masih berupa ‘alas gung liwang liwung’. Secara sukarela jelas mustahil. Karenanya Daendels menerapkan kerja paksa. Culture stelsel dijadikan budak dipaksa menjadi pekerja proyek ambisius ini. Jangan heran seberat, dan sesulit apa pun proyek ini rampung hanya dalam waktu satu tahun. Gila!
Sejarah mencatat ribuan nyawa melayang di sini. Para pekerja dari seluruh nusantara yang menjalani verpliche diensten, atau wajib kerja gugur. Mereka jadi tumbal kebijakan Daendels karena penyiksaan, kelaparan dan deraan sakit malaria. Wilayah Anyer-Penarukan adalah endemis Malaria paling horror di dunia kala itu. Legenda dan mitos tentang Jalur Pantura lahir dari sini. Banyaknya korban jiwa dengan angka fantastis bukan isapan jempol, tetapi sungguh tragedi yang mengerikan. Karenanya sebagai catatan sejarah kita perlu mengingat dan mengenang pengorbanan para pekerja yang luar biasa. Mereka itu adalah kusuma bangsa, mereka adalah pahlawan meski sejarah tidak mencatatnya.
Pramoedya Ananta Toer dalam buku ‘Jalan Raya Pos Jalan Raya Daendels’ menceritakan kondisi para pekerja yang tewas karena kelelahan dan diserang penyakit malaria. Medan berat, yakni hutan dan rawa rawa ganas menjadi penyebab para pekerja tak mampu bertahan. Apalagi tentara VOC terus mengawasi merupakan realitas keseharian yang tidak bisa dihindari. Inilah kerja paksa yang menjadi tragedi kemanusiaan di era kolonial.
Mengerikan dan tidak masuk akal, pembangunan yang melibatkan kekuasaan pemerintah daerah residen dan bupati di bawah tekanan VOC dilakukan dengan dana begitu cekak, hanya 30.000 ringgit. Dana sebesar itu hanya cukup untuk perapihan jalan dari Batavia (Jakarta) menuju Buitenzorg (Bogor). Artinya kalau dalam kurun satu tahun mampu menyelesaikan ruas Anyer – Penarukan sepanjang 1000 KM merupakan ekspoitasi mengerikan karena melampui kewajaran dan di luar batas kemanusiaan.
Menapis sejarah di atas, maka Jalan Pantura pantas begitu hegemonik baik menilik proses juga kemanfaatannya kemudian. Kerajaan Mataram misalnya menjadi penyangga utama dalam melakukan konsolidasi kekuasaan antara wilayah pedalaman dan pesisir. Jalan Raya Pantura ini juga sebagai media penghubung untuk diplomasi antara Mataram dengan dengan dunia luar, termasuk kongsi dagang Hindia Timur atau VOC.
Dinamika itu terus tumbuh dan menjadi kokoh, sentral dan vital. Meski jalan Tol Trans Jawa telah dibangun, pamor itu tidak berubah. Secara historis dan menjadi fakta sejarah Jalan Pantura tidak bisa dilepaskan dari cerita kelam pembangunana jalan Groote Postweg atau jalan raya pos. Jalan Pantura atau Pantai Utara menjadi salah satu jalur yang menghubungkan Cilegon, Jakarta, Semarang, Surabaya, hingga Banyuwangi.
Artinya menyandingkan keduanya, yakni tol trans Jawa dengan Jalan Daendels atau Anyer-Penarukan adalah sesuatu yang tidak relevan. Dimensi dimensi yang terangkum di dalamnya memiliki spektrun diametral dalam banyak aspek. Benang merah yang tersambung adalah keduanya merupakan infrasttuktur transporasi vital. Entah apa yang terjadi dengan mobilitas mansia, juga pergerakan barang dan jasa tanpa disangga oleh jalur Pantura.
Nah, merelasikan kondisi di atas, dan merefleksikan dalam konteks sekarang banyak hal yang dapat dipetik. Satu hal yang nyata tanpa jalan daendelles juga pantura pulau yang menjadi episentrum kekuasaan republic ini akan kehilangan daya. Pesona yang dimiliki pun menjadi tak berarti seperti pepatah jawa wayang ilang gapete. Apa yang terjadi wayang tanpa raga, dia akan limbung tak berdaya.
Sebuah pengalaman dapat dipetik di sini bertolak dari kisah tentang Jalan Daenderls, dan juga Trans Jawa. Bagi mereka yang pernah melintas jalur pantura sekitar bulan April – Oktober silam pertanyaan ini tak sulit dijawab. Adalah tragedi jembatan Wonokerto yang menjadi penyulut petaka ketika itu. Betapa tidak ketika Jembatan Wonokerto diperbaiki praktis arus lalu lintas Semarang – Demak, dan sebaliknya boleh dikatakan lumpuh.
Kemacetan di jalan nasional, persisnya pantura begitu rupa adalah fenemena tak masuk di akal di era sekarang. Betapa sembrononya pemangku kebijakan melakukan eksekusi atas proyek itu tanpa antisipasi yang memadai. Kemacetan begitu masif adalah potret negara ini tak peka terhadap kondisi masyarakat. Siapa mesti bertanggung jawab penderitaan secara moril, material dan juga pengorbanan lain dari kebijakan pembangan ini. Naif tidak masuk akal karena antisipasi secara rasional tak dipersiapkan secara memadai. Pemangku kebijakan pada otoritas yang memiliki ranah kebijakan atas proyek ini mestinya dapat berpikir out of the box.
Mengapa tidak dibuatkan jembatan baley terlebih dahulu, atau dikoordinasikan dengan proyek strategis nasional, yakni Tol Seksi II Sayung – Demak. Artinya pelaksanaanya menunggu ruas yang masuk trase Sayung – Demak dapat dioperasikan terlebih dahulu. Dengan begitu kemacetan yang begitu horror tidak terjadi.
Sengkarut koordinasi yang tak becus semacam ini menjadi catatan khusus saya. Sebagai representasi masyarakat keputusan yang dilaksanakan dengan memaksa seperti kasus jembatan Wonokerto sungguh sungguh tidak masuk akal dan keterlaluan. Macet dengan eskalasi masif seperti orang lumpuh memicu amarah begitu rupa.
Sekali lagi, ini kebijakan macam apa?! Perlu saya tegaskan di sini, catatan atau kolom ‘Jayanto’ sengaja tidak saya tulis ketika itu. Karena saya khawatir akan dimaknai sebagai memprovokasi, membuat suasana menjadi panas. Berbeda ketika koreksi itu hadir sekarang, maka publik dapat mencerna dengan hati dan pikiran lebih jernih atau bening. Menurut saya, komunitas atau stakeholder yang menjadi korban atas proyek jembatan Wonokerto dapat meminta penjelasan pihak terkait sebaga edukasi publik. Dengan begitu ‘mereka’ tidak lepas tanggung jawab terhadap kerugian yang diteimbulkan selama kemacetan berlangsung. Juga infrastruktur, termasuk sarana transportasi yang hancur semestinya ada kompensasi untuk perbaikan.
Kasus pembangunan Jembatan Wonokerto adalah tragedi pembangunan, meski secara psikologis kini sudah mereda. Namun demikian langkah langkah dalam bentuk dialog publik dalam forum yang dapat diagendakan untuk menuntaskan persoalan ini perlu dilakukan. Legislator atau wakil rakyat yang menjadi representasi rakyat di Parlemen tidak bisa tinggal diam menyikapi hal ini. Artinya keperpihakan kepada konstituen di satu sisi, dan sekaligus fungsi control atas unjuk kerja eksekutif perlu ditunaikan.
Terakhir, sebagai catatan penutup, di sini saya ingin menyodorkan rekomendasi yang ke depan perlu menjadi semacam konstruksi pembangunan yang menyangkut hajad hidup masyarakat, atau orang banyak. Sekarang adalah era disrupsi, komunikasi pemerintah dengan masyarakat di satu sisi, dengan mengkaitkan keberadaan legislative, dengan fungsi yang melekat, maka formula yang dirasik tidak dapat dilakukan tanpa melalui proses yang komprehensif.
Kasus Jembatan Wonokerto adalah pelajaran berharga. Era sekarang tidak bisa sekadar beralibti bahwa policy budgeting telah diputuskan melalui mekanisme yang telah ditetap sebelumnya. Bagaimana pun engineering dalam implementasi di lapangan tetap harus mengedepankan hajad masyarakat, tidak bisa lagi asal. Artinya toh, pembangunan tersebut adalah untuk kepentingan publik, kepentingan rakyat, dengan begitu pelaksanaannya dapat dilakukan dengan mengebiri hal hal yang semestinya dapat dieliminasi.
Fakta inilah, mengapa perlu ada dialog, evaluasi yang melibatkan para pihak terkait di sini. Sebab realitas di lapangan infrastruktur, termasuk di dalamnya milik private rusak karena pembangunan yang dilakukan tanpa koordinasi secara komprehensif, melalui simulasi simulasi sebelumnya dan para pihak bersepakat untuk go or no atas proyek tersebut. Sekali lagi ini bukan gagasan yang mengada ada, namun sebagai edukasi publik agar semua pihak belajar dan tidak sembrono.
Jadi tidak ada istilah nasi telah menjadi bubur. Karenanya saya mendorong entitas dan komunitas yang memandang pelajaran ini perlu dilakukan sekarang adalah momentum yang tepat. Akhir tahun adalah saat yang tepat untuk melakukan refleksi dan instrospeksi. Jembatan Wonokerto bukan proyek ala Jalan Daendels yang hanya mengedepankan tangan besi dalam pelaksanaan di lapangan. Karena sekarang adalah era milenial, era disrupsi, dialog, koordinasi, sinergi, kolaborasi adalah kunci. Tanpa kesadaran komprehensif seperti di atas, maka pembangunan hanya hadir secara fisik yang arogan dan menghadirkan banyak korban korban. Tetapi mereka hanya diam karena seringkali aspirasi, suara, atau bahkan teriakannya seringkali tak didengar karena pembanguan tidak hadir dan lahir dari proses ideal, sehingga menempatkan masyarakat sebagai muara mewujudkan kesejahteraan.
Jayanto Arus Adi adalah Pemimpin Umum RMOL Jateng, Direktur JMSI Institue, Penggiat Satu Pena Indonesia, Ahli Pers Dewan Pers, dan Mahasiswa S3 Manajemen Kependidikan Unnes Tulisan ini adalah pendapat dan opini pribadi tidak merepresentasikan sikap, atau pandangan Lembaga, dan institusi di atas.
- Suksesi NU, All Gus Durian Final
- Matematika Pilgub Jateng 2024, Lutfi, Daryono, atau Hendy
- Musuh Paling Berbahaya Adalah Kawan Sendiri