Musuh Paling Berbahaya Adalah Kawan Sendiri

(Mengintip Masa Depan Indonesia Raya)

Perang terdahsyat itu sudah di depan mata. Perang itu bukan perang dunia ketiga yang akhirnya tak tertahankan, gegara Rusia nekat menggempur Ukraina. Meski didesak negara negara Barat dikomandani Amerika dan Eropa, Vladimir Putin tak menggubrisnya.


Sejak ekspansi pertama 22 Februari 2022, kini dua tahun sudah, tanda tanda berakhirnya masih jauh api dari panggang. Perang itu menjadi semacam legacy seberapa kuat pengaruh Amerika Serikat saat ini.

Putin, pemimpin tertinggi Rusia seperti sengaja menggoda sang seteru, atau lebih ekstrem mencibir polisi dunia yang sudah tak sakti lagi itu. Amerika tak lebih seperti macan ompong. Manuver dan provokasi Amerika tak begitu bertaji seperti ketika Irak mengivasi Kuwati atau nekad melabrak Afghanistan tatkala memburu Osama bin Laden.

Menyitir pepatah kuno, boleh jadi Amerika tak lebih merupakan ‘bebek lumpuh’ alias lame duck. Istilah serupa pernah disematkan ke President Joko Widodo oleh Pak Sepuh Amien Rais, dan Andi Arief politisi kontroversial Partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono. Sematan yang ternyata keliru, atau salah alamat karena Amien Rais dan Andi Arief belakangan ‘memercik air didulang’.

Kisah PAN dan PKB

PAN yang partai yang awalnya diarsiteki mantan tokoh reformasi ini, kemudian tergusur olah ‘mantan’ besan, yakni Zulkifli Hasan. PAN di tangan Zulhas, panggilan Ketua PAN, ternyata lebih eksis. Sebaliknya Pak Sepuh Amien Rais yang mencoba mengibarkan partai baru, yakni Partai Ummat tak selamat.

Pemilu 2024 silam partai itu tak mampu menembus ‘electoral threshold atau ambang batas parlemen. Kini ‘Mbah’ Amien entah menyepi ke mana, karena panggung politik sepertinya makin jarang memberinya peran.

Prahara PAN dalam konteks di sini adalah analogi seiring fenomena yang kerap marak di jagad politik. Gus Dur akhirnya harus meninggalkan istana ketika itu karena sengkarut sikap sekutu sekutu yang mengusungnya, dalam hal ini salah satunya Amien Rais. Artinya bukan orang lain menjadi penyebab cucu pendiri ormas terbesar Nahdlatul Ulama itu jatuh, tersingkir dari partai yang didirikannya sendiri.

Teman atau orang-orang dekat adalah mereka yang paling berbahaya ketika terjadi selip sikap atau pendirian. Sejarah Indonesia tak luput banyak diwarnai sengkarut-sengkarut serupa. Mataram pecah dan hancur karena ada pihak yang bersikap lancung bersekutu dengan Belanda. Perjanjian Gianti tidak akan mungkin terjadi jika Trah Mataram guyub rukun meski diadu domba sedemikian rupa.

Indonesia sekarang ini tengah mengalami ujian serupa. Segregasi yang berbiak pasca Pilpres lalu jika tidak diredakan kembali dalam bingkai kebangsaan yang utuh rawan bereskalasi dan melahirkan komplikasi komplikasi komplikasi. Elit partai, elit negeri ini perlu mengedepankan sikap kenegarawanan demi menyelamatkan masa depan bangsa. Musuh paling berbahaya adalah musuh dari dalam.

President Club

Kita perlu menyadari dan mendorong dialog-dialog yang memberi spirit rekonsiliasi. Wacana President Club yang digagas terpilih Prabowo Subianto merupakan ikhtiar bagus memecah kebekuan.

Megawati Sukarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono adalah putra putra terbaik bangsa perlu memparipurnakan keteladanan bagi generasi penerus. Demokrasi selalu menghadirkan hitam putih hasil, menang kalah dan tidak mungkin ada draw, seri,atau imbang.

Artinya kenegarawan sejati adalah memberi ruang dan teladan bagaimana menerima kekalahan secara legawa. Itu artinya tokoh tokoh partai dapat mengedepan pelita yang mampu menerangi rakyat. Kekalahan pil pahit yang akan menyempurnakan kita menjadi manusia unggul. Dengan segala maaf, saya ingin memberikan apresisasi atas kebesaran hati dan sikap kenegarawanan Prabowo Subiyanto.

Dua kali kalah dalam Pilpres dengan lawan yang sama, namun mampu tegak berdiri menjadi ksatria. Sematan yang sama layak diberikan pada Joko Widodo. Sebagai manusia Jokowi telah dapat memetik pelajaran tertinggi dalam perjalanan hidupnya. Memberi ruang pada sang seteru, notabene musuh dalam berkontestasi adalah pelajaran luar biasa.

Sekali lagi lewat Catatan ini izinkan saya mengetuk pintu hati elit-elit politik nasional, termasuk Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristianto. Sebagai orang timur, Hasto perlu berguru pada sejawatnya Bambang Wuryanto ‘Patjul’.

Presiden para ‘Korea’ perjuangan untuk menyebut kader partai moncong putih mampu memberi pencerah ketika mereka didera kebingungan. Dua pesan Bambang Wuryanto ‘Patjul’ jangan melawan orang baik, dan jangan melawan orang cantik. Itu hukum alam. Mampuslah kita kalau sesanti itu diterak, ditabrak atau tak diindahkan.

Kontroversi Ganjar dan Hasto

Ganjar dan Hasto sebagai orang timur, atau orang Jawa mengapa tak paham atau mengikuti nasehat sejawatnya sendiri. Mendidihnya suasana politik pasca Pilpres tak lepas karena instropeksi dan juga koreksi yang keblinger dari Pak Sekjen partai yang dinahkodai putri sang Proklamator.

Simak bagaimana Hasto membully Gibran. Ia tak lebih dari seorang sopir truk penyebab kecelakaan beruntun di Cileungsi.

Hasto lupa bagaimana pun Gibran adalah putra mahkota Presiden yang sedang berkuasa di bumi Nusantara. Jokowi adalah faktor dan merupakan episentrum kekuasan sekaligus memegang hegemoni yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Blunder seblundernya cara Hasto memberi narasi pada Gibran. Mestinya Pak Sekjen paham jangan menyiram bensin di kobaran api.

Hasto lupa kekalahan dalam kontestasi Pilpres lalu bukan semata mata faktor Gibran, tetapi figur sang Capres sendiri yang tak bermutu. Kegagalan Ganjar Pranowo memimpin Jawa Tengah nyaris tanpa monumen prestasi yang menjadi ikon adalah portofolio yang tidak bisa ditutupi.

Jawa Tengah makin kalah pamor dengan Jawa Barat dan Jawa Timur di bawah kepemimpinan Ganjar. Bukti telak adalah prestasi Jawa Tengah di PON 2020 di Papua. Itulah prestasi terburuk Jawa Tengah sepanjang sejarah.

Blunder lagi, Ganjar memilih galah yang keliru untuk menghajar pemerintah yang telah berjibaku menyiapkan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Perhelatan yang salah satunya digelar di Solo Jawa Tengah, notabene wilayah Ganjar, dan diproses awal ikut menyokong tetiba putar haluan. Sikap lancung yang tak patut bagi seorang pemimpin apalagi seorang capres.

Ganjar dan Hasto menjadi pelantun gendang yang meniupkan kontroversi buruk bagi PDI Perjuangan. Pengorbanan sang Ketum, putri proklamator menjadi eligi pilu. Atas kesalahan dan sesuai pernyataan yang diucap sendiri oleh Hasto, PDI Perjuangan khilaf mencalonkan Gibran tatkala Pilwakto Kota Solo. Atas kehilafan itu sebagai Sekretaris Jendral jika ksatria Hasto harus mundur.

Dengan segala corak, plus minus, Pilpres adalah pelajaran pahit bagi kita berdemokrasi. Segala manuver, strategi, dan apa pun cara upaya untuk menjadi pemenang itu sah sah saja. Ibarat perang inilah kurusetra dan kawah candradimuka yang harus diarungi. Sistem politik ini, yakni demokrasi memuarakan dua kutub, menang dan kalah.

Sebaiknya Mundur

Kini kontestasi sudah usai, maka semua elemen harus bersatu kembali. Hasto Kristianto sudah bukan waktunya lagi bernyanyi dengan judul tiada lagi pintu untuk Jokowi. Sangat menyinggung dan tak elok mengatakan Jokowi tidak bisa bertemu dengan Megawati. Menyitir kata kata Pak Sekjen, Jokowi harus bertemu dengan anak ranting lebih dulu sebelum bertemu Ketua DPP.

Hasto lupa sebagai Wong Jowo, ngono yo ngono ning aja ngono. Roda itu berputar, setiap waktu ada pemimpinnya, setiap pemimpin ada waktunya. PDI Perjuangan tidak bisa dibiarkan tersandera karena ulah dan sikap kekanak-kanakan seorang Sekretaris Jendral. Ibarat ruangan udara kotor yang membuat suasana pengap, dan tidak sehat harus disegarkan. Inilah momentum PDI Perjungan melakukan konsolidasi total.

Megawati Dijaga

Sebagai simbol Megawati harus dijaga dan didampingi pemikir-pemikir partai yang orisinal, tidak sekadar mengandalkan loyalitas. Saatnya Puan Maharani, Prananda Prabowo, Bambang Wuryanto, Hendrawan Supratikno, Djarot Syaiful Hidayat, dan Ollo Dondokambey lebih intens mencurahkan pikiran untuk partai.

Ibu Mega sebagai ‘The Soul’ dari PDI Perjuangan, sekaligus menjadi legacy trah Soekarno kita dihindarkan dari distorsi-distorsi yang tidak semestinya. Transisi PDI Perjuangan menjadi partai modern tidak bisa tidak harus dituntaskan. Karenanya dialog-dialog yang dalam rangka mendorong lahirnya kristalisasi visi dan misi yang lebih kukuh harus diselamatkan.

Membumikan ide-ide besar partai sebagai rumahnya wong cilik, dan konsiten menjaga idealisme dalam menghela perjuangan adalah nafas yang tidak boleh luntur.

Kebesaran Megawati sebagai lokomotif PDI Perjuangan perlu meng-upgrade gerbong-gerbongnya yang sudah tidak layak. Wacana-wacana yang ditawarkan Hasto justru menjadi blunder di mana spirit serta platform kerakyatannya menjadi terkisis. PDI Perjuangan yang terlahir dari fusi sejumlah partai adalah rumah yang majemuk, mengedepan toleransi dan gorong royong bukan sebaliknya.

Megawati adalah ibu rakyat, beliau adalah Pertiwi bagi nurani demokrasi dan ikhtiar merawat semangat kebangsaan. Memahami Megawati tidak dapat dilakukan seperti pemahat sedang menggores monumen. Seperti ritual berkomunikasi pada sang khalik, di sini menguar dimensi relasi absurd yang tidak dapat diceritakan, tetapi sangat dapat dirasakan.

Memahami Megawati tidak dapat dilihat atau dibaca secara berjarak. Cara Hasto Kristiyanto yang secara ideal menjadi figur terdekat karena sebagai Sekretaris Jendral ternyata justru offside. Sebaliknya pada ‘Korea’ Bambang ‘Patjul’ Wuryanto saya menangkap aspek-aspek sublim yang mengakar kuat, sehingga narasinya menyentuh dan dipahami seksama oleh wong cilik. Bambang Patjul mengekspresikan pesan substantif entitas wong cilik yang ditafsir menjadi Korea, tidak dipahami sebagai sesuatu yang rendah.

 Seperti analogi antara sikap Ndeso dan Madesan adalah persis memaknai konteks wong cilik warga PDI Perjuangan. Ndeso adalah stigma, yang tidak mampu bersikap out of the box, atau jump of the box. Sedang Madesan adalah attitude, yakni menjadi pribadi yang memijakkan pada sikap rendah hati, gotong royong, tepo seliro. Act locally think globally. Wong cilik jangan ditafsir sebagai orang pinggir, apalagi kelompok marginal.

Aspek-aspek inilah yang dinarasikan Bambang Patjul tentang terminology Korea. Terhadap pemahaman ini Harto Kristiyanto gagal paham menjadi penyambung lidah partai moncong putih. Hasto terlalu priyayi yang implikasinya membuat jarak sang Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dengan konstituennya, rakyat, dalam hal ini wong cilik. Masih untung suasana riuh, disorientasi yang terjadi pasca Pilpres lalu teredakan oleh komunikasi ala rakyat yang dilakukan Bambang Patjul.

Karenanya mencermati dinamika yang telah bereskalasi pada tsunami psikologis di tubuh partai moncong putih reformasi perlu dilakukan PDI Perjuangan harus dikembalikan pada khitah. Cara Hasto menghadap-hadapkan Megawai di satu sisi dengan Jokowi di pihak lain, atau pun kini ada Prabowo tidak tepat. Wacana President Club misalnya, biarlah waktu yang menyelesaikannya sendiri. Sejarah tidak luput dari dialektika.

Mengakhiri Catatan Jayanto di sini, saya ingin mengajak kita bersama sama menundukkan hati, menebar kasih, begandeng tangan kembali. Musuh paling berbahaya adalah kawan sendiri, sebagai bentuk takzim dan hormat pada pemimpin-pemimpin bangsa ini mari kita jaga Ibu Mega, Pak Jokowi, dan Pak Prabowo. Jaya Indonesia Raya.

Jayanto Arus Adi

Wartawan Senior, Ahli Pers Dewan Pers, Pemimpin Umum dan Redaksi RMOL Jawa Tengah. Aktif di Satu Pena Indonesia, organisasi yang dibidani Denny JA, Direktur JMSI (Jaringan Media Siber Indonesia) Institute, Ketua MOJO (Mobil Journalis Indonesia), Dosen Mata Kuliah Jurnalistik dan Manajemen Pers di Unnes, Udinus Semarang, dan STIE Bank Jawa Tengah. Saat ini sedang mengambil program doktor Manajemen Kependidikan di Program Pasca Sarjana Unnes.

Tulisan merupakan opini pribadi, tidak merepresentasikan atau mewakili organisasi/institusi/lembaga di atas.