- Pertemuan Tanpa Orgasme (Antiklimaks) Mega-Prabowo (1)
- Assalamu’alaikum Kang Dedi Mulyadi
- Mengapa Anda Jahat Pada Rakyat?
Baca Juga
Hari ini jadi penantian seperti menunggu Godot bagi warga Banteng Mencereng, atau keluarga besar PDI Perjuangan.
Tidak lama, bisa sore atau nanti malam, nasib Hasto sampai pada titik atau kulminasi puncak yang sangat menentukan. Apakah dia selamat, yakni lolos dari sangkaan KPK kasus Harun Masiku? Atau apakah praperadilannya dikabulkan? Atau justru sebaliknya, yakni saat dia diperiksa KPK tidak kembali ditahan.
Andai dia lolos itu jadi simpulan indikatif, sang patron Megawati masih bertaji menyelamatkannya. Setali tiga uang jika itu terjadi (artinya tidak ditahan), tahta Putri Sang Fajar sebagai Ketum Moncong Putih bisa jadi akan tetap aman.
Determinasi lanjutannya faksi Hasto yang ditopang Prananda Prabowo, putra mahkota Megawati, bakal di atas angin. Sebaliknya klan sang putri mahkoti (Puan Maharani) dengan Bambang Wuryanto ‘Pacul’ sebagai Senopati Lapangan bisa jadi kalah angin.
Jika hipotesis ini yang terjadi, identik juga PDI Perjuangan lima tahun ke depan akan menjadi pihak yang berjarak dengan Pemerintahan Prabowo, dan berkelindan konstruksi relasi dengan Presiden Republik Indonesia ke-7 Joko Widodo.
Menjadi catatan di sini, kini PDI Perjuangan memuai dengan beberapa faksi. Pertama adalah Faksi Hasto, yang tampak kukuh disokong Mak Banteng secara langsung menilik afirmasi beliau tatkala KPK menerungkunya. “KPK itu kayak kurang kerjaan. Ngapain ngurusin Hasto?” begitulah pernyataan Mega.
Faksi berikut adalah Puan Maharani yang notabene sang putri mahkoti, dengan Senopati Lapangannya, Bambang ‘Pacul’ Wuryanto. Ini fenomena unik, meski anak biologis Megawati, namun DNA politik Puan lebih menuruni sang ayahanda, yakni Taufik Kiemas. Jadi Puan-Pacul adalah pihak yang berbeda dengan Hasto. Sang Sekjen yang kini tengah dibidik KPK menjadi TSK (tersangka) berseberang haluan dengan Puan. Sebaliknya ia lebih intim untuk menafsir kedekatannya dengan Prananda Prabowo.
Kakak tiri Puan, putra Mega, buah pernikahannya dengan sang pilot angkatan udara yang hilang dalam misi pembebasan Irian Jaya, kini mulai sering tampil. Sebelumnya Prananda adalah orang di belakang layar. Berbeda dengan sang adik, yakni Puan yang go public, khususnya warga Banteng sudah cukup mengenalnya. Sejak ayahanda Taufik Kiemas masih hidup Puan sering tampil mendampingi duet orang tuanya. Jadi wajar Puan, diakui atau tidak, lebih siap menjadi macan panggung ketimbang sang abang tirinya.
Tampilnya Prananda mendapatkan momentum emas, sejak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 lalu. Ketika itu tubuh Partai Banteng seperti terbelah. Ada faksi yang mendukung Ganjar, ada juga yang terpaksa mendukung. Puan dan Bambang Pacul terkesan tidak begitu sreg dengan Ganjar. Namun, turbulensi yang berkembang, apalagi setelah Mega selaku Ketum memutuskan mendukung Ganjar, membuat seluruh kader tidak bisa tidak mengikuti titah Mega.
Sudah Bertemu Prabowo
Apakah Mega sudah jadi bertemu Prabowo? Pertanyaan ini berelasi erat dengan dinamika yang berkembang sekarang. Apa pun, kini penentu bandul politik di negeri ini adalah putra begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo, Ketua Umum Partai Gerindra, sekaligus Presiden RI ke-8.
Artinya apa pun, Prabowo menjadi episentrum yang memegang kartu AS atas muara dari perjalanan bangsa ini. Karenanya meski telah bertemu dan otomatis berkomunikasi tak serta merta memuarakan deal-deal politik.
Namun, bagaimana pun secara kultural membuat suasana tak terlalu mendidih. Karena perlu dicatat dan diingat relasi Prabowo-Joko Widodo adalah fakta empirik yang lain. Dalam konteks ini Prabowo pasti tidak akan pernah memilih salah satu, tapi dua duanya akan dirangkul. Sikap atau pilihan Prabowo tidak sulit ditebak, atau setidaknya kita bisa membaca.
Prabowo sekarang adalah tokoh yang telah mampu mereduksi pemimpin dengan segala khasanah termasuk visi besar yang menyalakan api atas eksistensinya. Jadi visi dan mimpi besanya tentang Indonesia akan menjadi energi dan lokomotif yang tak gampang dihadang. Karenanya mencoba membaca narasi-narasi dan sikap politik Prabowo tidak bisa dibaca dari apa yang tersurat saja. Catatan-catatan lain yang tersirat perlu juga dijadikan referensi sandingan secara psikopolitis.
Satu hal dalam konstruksi hukum, tidak bermaksud memberikan judgement dalam kasus Harun Masiku, tangan Hasto terang benderang terbaca. Memijakkan diri dengan Undang-Undang Pemilu, aturan siapa yang legal menggantikan Nazarudin Kiemas bukanlah Harun Masiku. Lalu pertanyaan kemudian, apa urgensi Hasto? Apakah Hasto betindak sendiri atau atas daulat Sang Bos, atau setidaknya langkah Hasto dilaporkan kepada Mak Banteng?
Orang awam pasti akan berfikir semacam itu, namun politik adalah politik. Kalkulasi politik sering kali disandarkan tidak semata pada logika dan kebenaran awam. Karena merangkum dimensi yang bersifat kompromi, juga dimuarakan pada kepentingan universal yang lebih luas. Sejumlah kasus hukum akhir atau endingnya bukan hukum itu sendiri yang menyelesaikan, namun Killing by Time.
Terkait dengan kasus Hasto Kristiyanto sang Sekjen dari Partai yang merepresentasikan diri sebagai rumahnya Wong Cilik, apakah akan mengalami ending serupa? Akankah KPK sebagai lembaga superbody akan berubah rupa dan fungsi menjadi antibody.
Silakan ditafsir sendiri apa makna antibody? Dalam dunia kedokteran ketika sakit kita perlu minum antibiotik (antibiotics). Nah, antibody dapat dianalogikan serupa, jadi yang sakit akan menjadi sehat kembali dan menjadi kuat.
Ya, itu sekadar kekhawatiran orang awam. Bagaimana ending yang sesungguhnya, sejauh ini jujur saja saya mengkhawatirkan terjadinya barter politik. Sejak kasus ini muncul KPK tampak tidak bernyali, kalau tokh tidak, karena hal tersebut aroma transaksi menjadi semakin kencang baunya. Biasa kalau orang kenthut sulit melacak sumbernya, tapi kali ini sudah terang benderang.
Satu hal lagi semakin membiarkan kasus ini tak tuntas, sebenarnya PDI Perjuangan sendiri yang akan rugi. Kasus Hasto sesungguhnya telah menyandera partai yang selama ini menjadi harapan wong cilik telah berubah jatidiri.
Kemarin ketika PDI Perjuangan merayakan hari ulang tahunnya (HUT), gurat suasana tidak sedang baik-baik saja begitu terasa. Sejumlah tokoh penting, dan punggawa andalannya pun tak hadir pada puncak acara yang diselenggarakan di Sekolah Partai.
Pidato Mega yang ditunggu-tunggu dan diharapkan menghadirkan kejutan, ternyata jauh api dari panggang. PDI Perjuangan adalah partai besar, apa pun dan bagaimana pun api semangat harus dikobarkan, jangan takut untuk membuat terobosan.
Jika PDI Perjuangan gamang melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan yang mesti diperbaiki, bisa jadi akan ketinggalan zaman. Fanatisme dan loyalitas adalah kunci. Namun, modernisasi, regenerasi adalah tuntutan zaman. Dinosaurus pun akhirnya punah karena tidak mampu beradaptasi dengan zaman yang sudah berubah. Survival of the fittest adalah pelajaran peradaban.
Ketika saya memungkasi Catatan Jayanto, kolom saya di RMOL Jateng, tiba tiba ada pesan masuk dari sahabat dari Surabaya. Pesan yang masuk di WhatsApp adalah tautan berita tentang Andika-Hendy mencabut gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK). Saya memaknai langkah ini adalah sebuah pengorbanan untuk kemaslahatan yang lebih besar. Namun, di balik itu saya khawatir langkah ini adalah bagian dari barter politik juga. Mari kita tunggu dengan penuh kesabaran dan kearifan. Tabik.
Jayanto Arus Adi adalah wartawan senior, Ahli Pers Dewan Pers. Ketua Bidang Pendidikan JMSI (Konstituen Dewan Pers). Saat ini mengelola RMOL Jateng, media online cukup berpengaruh di Jawa Tengah sebagai Pemimpin Umum dan Redaksi. Juga terlibat di Koran Pelita Baru, sebagai Direktur Bisnis dan Pengembangan Usaha. Dosen mata kuliah jurnalistik di beberapa Perguruan Tinggi. Konsultan Media dan Politik, serta aktif menulis. Sekarang lebih banyak bermukim di Kota Wali Demak.
- Evakuasi Korban Pendaki Hilang Di Gunung Merbabu Dilakukan Pagi Ini
- Dindagkop UKM Rembang Mulai Lakukan Sosialisasi Pembentukan Koperasi Merah Putih
- Warga Resah Atas Aksi Kera Berekor Panjang Yang Masuk Rumah