Dua Blunder PDI-P (Mega) di Jateng

Jayanto Arus Adi, Pemimpin Redaksi RMOLJawaTengah
Jayanto Arus Adi, Pemimpin Redaksi RMOLJawaTengah

Ikhtiar PDI Perjuangan merebut atau mengembalikan kejayaannya di Jateng menghadapi ujian berat. Secara internal PDI Perjuangan perlu melakukan konsolidasi secara extraordinary. Artinya kali ini tidak bisa dilakukan biasa-biasa saja, meski laga itu dilakukan di kandangnya sendiri.


Fenomena mbedalnya banteng-banteng pada Pilpres lalu mesti jadi pelajaran tersendiri. Diakui atau tidak Jawa Tengah yang selama ini dijuluki kandang banteng, kondisinya sedang luka dan tercabik- cabik. Kondisi itu dipicu faktor internal dan eksternal, pertama penarikan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi menjadi Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) adalah blunder pertama. Kedua, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan (Mega) kecolongan operasi senyap yang dilakukan KPK menyasar Hevearita G Rahayu atau Mbak Ita.

Semestinya Hendi yang punya reputasi gemerlap dan tokoh yang  punya aksesabilitas tinggi tidak perlu ditarik ke Jakarta (LKPP-red). Kecuali posisi yang dimandatkan  jabatan lebih prestisius, seperti Menteri. Sebagai Ketua LKPP tugas yang diberikan kepada Hendi justru mengurangi kelincahan dalam bergerak. Secara ekonomis juga take home pay yang didapat njomplang (Bahasa jawa-tidak sebanding) jika dibandingkan take home pay sebagai wali kota Semarang.

Dari sisi ini Hendrar Prihadi secara ekomomis berkurang, bukan untung tapi malah buntung. Apalagi kalkulasi itu kemudian dikaitkan dengan akselerasinya sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Perjuangan Kota Semarang. Untuk diketahui pada kontestasi Pilwakota tahun 2019, Hendi yang maju untuk periode kedua tanpa tanding alias calon tunggal dengan tingkat partisipasi di atas 70%. Hebatnya 93% memberikan suara untuk Hendi.

Itu artinya indeks kepuasan atas kinerja selama menjadi wali kota periode pertama dari warga Kota Semarang sangat tinggi. Simpulan ini sekaligus menjadi sintesa negatif, atas kebijakan DPP PDI Perjuangan (Mega) yang menariknya (Hendi) ke Pusat. Karena akselerasi untuk mengkonsolidasikan partai, yakni Moncong Putih di Kota Semarang menjadi tidak maksimal.

Kondisi itu mengalami eskalasi komplikatif karena penerus Hendi, yakni Mbak Ita tidak sepenuhnya baik-baik saja. Kebijakan Mbak Ita dalam beberapa hal cenderung berselip jalan dengan sang pendahulunya. Keterbelahan birokrasi, meski tidak mencuat ke publik sampai pada gesekan terbuka, namun ibarat kentut baunya sangat menyengat. Yang menyolok loyalis-loyalis Hendo tak masuk pada skuad inti Mbak Ita, untuk tidak mengatakan dibuang.

Heboh yang terletup dari medsos nasi goreng misalnya, membawa korban mantan ajudan Hendi, Ade Bakti digeser dari Camat Gajah Mungkur menjadi Sekretaris Dinas Pemadam Kebakaran. Kebijakan itu meski secara eselon tak ada yang salah, namun penempatan Ade di situ (Pemadam Kebakaran) menuai sejumlah spekulasi.

Ade sendiri mengartikulasikan gundah gulananya lewat media sosial, yang kemudian melahirkan durian runtuh  karena Mas Blanwir, begitu label vlognya, malah jadi viral. Popularitasnya melambung bahkan Gibran Rakabuming pun menyempatkan diri silaturahmi dengannya di Agus Kopi Tarik Ungaran. Pertemuan yang membuat heboh, karena maaf, seorang Ade yang bukan apa-apa, hanya Sekretaris Dinas Pemadam Kebakaran, namun menggerakkan Wapres terpilih (ketika itu) untuk menyambanginya.

 

Implikasi Luas

Kerugian kedua yang menurut saya fatal dengan penarikan Hendi dan  menjadi pil pahit bagi PDI Perjuangan adalah kegagalan Pemilihan Legislatif (Pileg) di Kota Semarang. Andai posisi Hendi masih tetap sebagai Wali kota Semarang, apalagi dia juga Ketua DPC PDI Perjuangan pasti punya dampak positif bagi raihan PDI Perjuangan di Kota Lunpia ini.

Sekarang meski masih menjadi Partai Pemenang, dan berhak atas posisi Ketua DPRD Kota Semarang, namun harus kehilangan aspek strategis ini yang rupanya luput dari kalkulasi petinggi Partai Banteng Mencereng di tingkat Provinsi (DPD PDI Perjuangan) dan juga di Pusat (DPP PDI Perjuangan). Sekali lagi analisis ini menjadi sebuah evaluasi atas kondisi yang sudah terjadi.

Dengan prestasi dan juga hegemoni secara personal, juga institusional saya yakin raihan kursi PDI Perjuangan di DPRD Kota Semarang tidak akan merosot. Indikator riil, istri Hendi, yakni Mbak Tia mampu melenggang duduk di DPRD Jateng menggeser senior-senior yang notabene punya nama besar.

Selain implikasi di atas yang menjadi konsekuensi politis atas penarikan Hendi, agenda berat yang menuntut langkah konkret untuk mengantisipasinya adalah laga Pemilihan Gubernur. Sebelum nama nama yang kini menjadi konstestan, seperti Ahmad Luthfi (Mantan Kapolda) dan Andika Perkasa (Mantan Panglima TNI) sejumlah survei selalu menempatkan mantan wali kota Semarang itu di posisi teratas.

Survei kemudian anjlok begitu dia (Hendi) dipindah ke Jakarta. Sejak menjadi Ketua LKPP sikap Hendi sendiri berubah menjadi gamang (ragu-ragu), akselerasi dan artikulasinya mengendur. Sebagai orang timur (Cah Semarang) dia paham filosofi Jawa, lamun siro banterojo nglancangi, lamun sirop pinter aja ngguroni dan lamun siro landhep aja natoni. Walhasil publik bisa menilai Hendi sengaja mengerem hasrat politiknya, apalagi hasrat kekuasaan.

Saya menilai Wali kota Semarang dua periode dengan rekam jejak excellent alias kinclong ini berusaha taat fatsun serta menjaga etika sebagai prajurit. Sebagai kader dia taat dan loyal titah sang Ketua Umum Partai Banteng - Megawati, apalagi PDI Perjuangan memberikan mandat penuh bahwa urusan rekomendasi pencalonan Kepala Daerah dan urusan urusan jabatan publik adalah hak prerogatif di tangan Ketua Umum.

Fatsun itu dalam konteks untuk membangun soliditas partai punya dimensi mengikat yang luar biasa. Meski dalam konteks suatu partai modern, kebijakan itu menjadi ketinggalan zaman. Bisa-bisa jika tidak mendasarkan pada aspirasi utuh dari amanat rakyat akan menjadi bumerang bagi PDI Perjuangan sendiri. Sejumlah tokoh senior Partai Banteng, seperti Laksamana Soekardi mengkritik tajam, hak prerogatif Ketua Umum yang tidak sejalan dengan nafas demokrasi harus direformasi.

Maaf, kalau kritik dari Laksamana Soekardi dinilai kebablasan, namun memijakkan sebagai partai yang menabalkan namanya, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, maka kebijakan-kebijakan partai idealnya selaras dengan nafas demokrasi itu sendiri. Menurut Laksamana Soekardi PDI Perjuangan mengalami kemunduran dari aspek demokrasi menjadi lemah, bahkan kalah demokratis dibanding partai partai yang lahir dan besar dari rahim otoritarianisme, yakni Golkar.

Tapi kini Golkar harus diakui menjadi partai modern terbuka dan matang menyikapi berupa-rupa konlik dan turbulensi yang menderanya. Fenomena Golkar perlu menjadi pelajaran khusus bagi PDI Perjuangan. Elit Partai Moncong Putih mendesak atau urgen melakukan konsolidasi agar partainya tidak terperosok seperti Golkar di akhir masa Orde Baru.

 

Pelajaran Partai Demokrat

Selain Partai Golongan Karya, mitigasi dan transisit elok juga berhasil dilakukan Partai Demokrat. Soesilo Bambang Yudhoyono punya visi ke depan yang patut diapresisasi. Estafet dan alih kekuasaan kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pantas menjadi portofolio cerdas dan layak menjadi model partai lain. Kini Sang Mayor telah bermetamorfosa dan tumbuh matang menjadi politisi nasional berkelas.

Meski masih panjang perjalanan AHY menjadi kandidat potensial pemimpin nasional mendatang. Dibanding pimpinan pimpinan atau Ketua Parpol lain, AYH menjadi figur yang memiliki approval rating sangat baik. Bisa jadi Gibran, sang wapres yang kini telah bertahta menjadi RI II, jika dia tidak melakukan kerja keras, kerja cerdas dia akan lewat atau kalah oleh AHY. Dinamika serupa menjadi sebuah akselerasi kompetisi yang sehat dan baik untuk bangsa.

Menarik benang di sini saya ingin menyampaikan satu catatan untuk menjadi endorsemen bagi PDI Perjuangan. Dengan segala hormat dan demi keutuhan secara transformasi Partai Moncong Putih itu sendiri estafet kepemimpinan di tubuh partai mendesak untuk segera dimulai. Maaf, jika masukan ini mungkin dirasa pahit, namun bagi PDI Perjungan realitas ini menjadi keniscayaan untuk membangun partai menjadi semakin dinamis, kuat dan kokoh.

 

Saatnya Puan Tampil

Puan Maharani atau Prananda Prabowo sudah matang dan siap menjadi nahkoda baru di partai ini. Megawati tetap sebagai figur pemersatu yakni Ketua Dewan Suro, atau Dewan Pembina mengawal putra putri terbaik, kader-kadernya menjadi panglima di lapangan. Alih generasi jangan sampai terjadi karena force majure atau peristiwa yang yang terjadi bukan bagian dari desain sistemik. Jika itu terjadi maka PDI Perjuangan akan rugi sendiri.

 

Pelajaran Khusus Pilwakot

Kembali pada substansi pada awal tulisan ini, jika tidak melalui ikhtiar yang benar benar luas biasa, extraordinary effort, pemilihan Wali Kota (Pilwakot) Semarang berat untuk Agustina Wiujeng Pramestuti dan Iswar Aminudin memenangi kontestasi. Tampilnya Agustin seperti pada Pilres lalu, yakni PDI Perjuangan tidak secara sistemik mempersiapkannnya. Agustin muncul pada waktu injury time, dan kondisi ini menjadi beban berat dalam membangun komunikasi politik dengan konstituennya.

Maaf beribu maaf, saya harus berhati hati menyampaikan catatan ini, karena meski pahit masukan ini adalah pembacaan atas fakta yang terjadi di lapangan, dan perlu disadari bagi keluarga besar moncong putih. Jika Hendi tidak ditugaskan untuk menjadi Wakil Gubenur, seperti yang saat ini terjadi, maka penarikannya menarik menjadi Ketua LKPP adalah blunder. Karena secara strategis konsolidasi akan lebih ideal, dan maksimal ketika dia tetap menjadi Wali kota Semarang.

Dua blunder yang saya ingin garisbawahi di sini, gara-gara penugasan Hendi PDIP kehilangan golden moment melakukan konsolidasi baik di ajang Pemilihan Gubernur (Pilgub) dan juga Pilwakot. Pilwakot sudah hampir pasti selesai jika tidak ada accident Hendi ditarik menjadi Ketua LKPP dan operasi senyap KPK kepada Hevearita Gunaryanti Rahayu.

Saya membaca operasi senyap KPK menjadi operasi titipan dan sangat berbau politis. Akibat operasi itu PDI Perjuangan kehilangan kandidat potensial, yakni Mbak Ita. Jika Mbak Ita yang maju, karena dia memiliki approval rating yang tinggi juga bisa jadi Yoyok Sukawi dan Joko 'Blek' Santoso tidak ngawu awu seperti sekarang. Kini tidak mudah, bukan berarti tidak mungkin, mengalahkan Yoyok untuk menjadi penguasa Balaikota Semarang.

Yoyok putra mantan Walkota Semarang dua periode, yakni Sukawi Sutarip punya obligasi besar. Dia tokoh muda, punya pendukung fanatik, supporter Persatuan Sepakbola Indonesia Semarang (PSIS). Yoyok punya kelebihan dia humble dan rendah hati. Pengalaman politiknya juga panjang, dua kali jadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Jawa Tengah, sekali menjadi legislator di Senayan. Pileg lalu Yoyok berhasil memperoleh tiket duduk kembali, meski kemudian mundur karena akan maju sebagai di kontestasi Kota Semarang.

Wakil Yoyok adalah putra Semarang asli, Joko ‘Blek’Santoso adalah Ketua DPD Gerindra Kota Semarang, dan juga Ketua Pemuda Pancasila Kota Semarang. Joko Blek begitu dia akrab disapa meniti karier politik dari nol. Aktif di dunia olah raga dan sosial dia punya jejaring signifikan sebagai politisi. Secara DNA Joko Blek adalah representasi wong Semarang asli.

Duet Yoyo-Joss punya chemistry begitu rupa. Ini menjadi tantangan berat duet Agustin-Iswar. Koalisi yang mengusung dan mendukung juga lebih berwarna. Artinya Agustin dan Iswar dituntut mampu mengkonsolidasikan konstituten, dalam hal ini Wong Marhen, lebih khusus banteng-banteng Kota Semarang loyal total. PDI Perjuangan pada Pileg lalu adalah partai pemenang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.  Saat ini mengantongi 9 (sembilan) kursi, dan menempatkan kadernya Kadar Lusman menjadi Ketua DPRD Kota Semarang. Tapi raihan itu turun lima kursi hilang akibat ontran-ontran atau residu selip relasi Pak Lurah (Jokowi) dan Mbak Banteng (Mega).

 

Pilgub Jateng

Tantangan berat, meski bukan berarti tertutup pintu bagi calon yang diusung PDI Perjuangan dihadapi pada laga Pilgub. Sebenarnya peluang lebih terbuka jika DPP PDIP (Mega) sedari awal terus menggodog Hendi, yang kini jadi Ketua Taruna Merah Putih Pusat. Portofilionya lebih dari cukup untuk menjadi Lurahnya Wong Jawa Tengah. Inilah yang saya sebut sebagai blunder, mengapa harus ada penugasan untuk menyebut sebagai mencabut Hendi dari Kota Semarang sebagi akarnya. Andai tidak ada ontran ontran atau selip sikap di atas persoalan Jawa Tengah adalah soal mudah. Hendi (PDI Perjuangan) dipasangkan dengan Gus Yusuf (PKB) misalnya, peluangnya terbuka lebar. Menghadapi Luthfi (Gerindra) dan Taj Yassin (DPD-PPP) duet Andika Perkasa-Hendi harus, harus, harus ekstra ekstra ekstra keras. Apa pun dan bagaimana pun koalisi yang mengusung juga mendukug Luthfi-Taj Yassin lebih sistemik.

Luthfi mempersiapkan untuk lebih soft mengatakan dipersiapkan lebih panjang dibanding Andika Perkasa. Artinya Andika dan Hendi tidak bisa setengah-setengah, harus all out, dan mati-matian. Gerindra sebagai The Ruling Partai karena menempatkan kadernya sebagai RI I adalah representasi hegemonik partai yang berkuasa. Indikator yang menjadi legacy bahwa restu Prabowo dan Jokowi adalah penarikan Sudaryono yang telah keras berjuang untuk konstestasi di Jateng.

Gerindra memberi penugasan baru yakni menarik Sudaryono, adalah pesan khusus yang perlu dibaca Andika dan Hendi. Pesan lain masing-masing dapat memaknai dari sudut pandang yang berbeda, tentu semua itu menjadi bagian dari ikhtiar akhir. Menutup catatan ini, saya ingin berpesan mari kita sama-sama memilih atas dasar hati nurani. Dan kepada para kandidat saya berharap ikhtiar yang dilakukan adalah dalam rangka menjemput amanah, dan demi Jawa Tengah. Salam hangat. Rahayu, rahayu.

Jayanto Arus Adi, Wartawan Senior, Ahli Pers Dewan Pers. Saat ini duduk sebagai Wakil Ketua Bidang Pendidikan JMSI Pusat. (Konstituten Dewan Pers). Aktif mengajar jurnalistik di beberapa Perguruan Tinggi. Selain JMSI juga menjadi Ketua Umum MOJO (Mobile Jurnlis Indonesia). Mengelola Media Online RMOL Jateng yang berbasis di Jawa Tengah, sebagai Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi.

Tulisan ini adalah pandangan dan opini pribadi tidak mewakili/merepresentasikan institusi atau lembaga di atas.