Selamat Datang Penjabat Penjabat Kepala Daerah (2)

Jejak Digital dan Portofolio Menjadi Ruang Publik Untuk Menilai
Jayanto Arus Adi
Jayanto Arus Adi

Assalamualaikum Wr Wb pembaca dan semua khalayak di mana pun berada, khususnya pembaca RMOL Jateng, dan Catatan Jayanto Arus Adi ini. Mohon maaf, catatan yang kami maksudkan sebagai serial ini sempat terjeda beberapa waktu. Ada dua pertimbangan, sekaligus alasan mengapa catatan seri lanjut, kedua (2) dan akan tersaji dalam tiga seri ini sampai tertunda. Pertama, jujur perlu saya sampaikan di sini, untuk serial kedua, dan ketiga perlu pengendapan khusus.


Saya khawatir catatan ini menjadi sampah, penuh sensasi sementara substansinya kering. Nah, saya tidak ingin menumpahkan keluh kesah serupa. Yang saya inginkan catatan ini menjadi ruang dialog, dan meski kecil tapi mampu menjadi  ikhtiar untuk membedah persoalan yang ada di seputar kita. Urusan penjabat meski mekanisme yang memutus ada di tangan pemangku kebijakan, tetapi rakyat idealnya, dan semestinya diberi akses untuk berpartisipasi. Rakyat bukan semata obyek, alangkah bijak dan menyejukan juga menjadi subyek.

Itulah yang menjadi harapan, dan pertimbangan saya perlu waktu untuk menulis kolom ini. Ya meski itu kecil juga, ibarat debu semoga dapat menjadi pencerah peradaban. Jadi niat yang tumbuh dari benak kami adalah untuk sebuah keberadaban yang elok. Kedua, secara teknis idealisme yang mengiringi proses kreatif lahirnya catatan ini saya memerlukan bahan yang tidak semata mata mentah. Materi, referensi yang ada saya coba pilah dan olah agar menjadi sajian atau pun tulisan, lebih tepat Catatan ini, bukan semata mata buah syakwasangka atau kecurigaan, tetapi terlahir dari sebuah permenungan.

Ya, kredo yang mendasari adalah daulat rakyat adalah daulat Allah, daulat Tuhan. Vox Populei, vox Dei. Nah, terhadap kredo ini semoga tuan gubernur mendengar, atau berkesempatan membaca Catatan ini. Meski pesimis, karena pernah ada pengalaman gegara Catatan di sini yang mungkin saja tidak memenuhi selerasa sang gubernur, Kerjasama iklan di sebuah bank kebanggaan Jawa Tengah haru didrop. Alakadabra!!!

                                                               ****

Pemilu serentak ibarat pedang bermata.  Satu mata pedang adalah ruang yang dimandati konstitusi rakyat mendapatkan legacy secara utuh menentukan nasib dan arah peradaban. Kembali kredonya adalah Vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Artinya rakyat menjadi tangan panjang Tuhan di sini. Kedua, inilah yang menjadi paradoks, sekaligus ironi, pemilu serentak (baca-demokrasi) menjadi hajat yang begitu mahal.

Pemilu adalah proyek kapitalisme paling mahal di dunia. Merujuk pemahaman di atas, tanpa memahami aspek aspek terkait di dalamnya kita bisa ‘kinthir’ (baca terseret) banjir atau bah yang menghantam. Kata kata bijak dari nenek moyang, menghadapi perubahan kita perlu mawas dan bijak. Menghadapi banjir kita cermat meniti jejek di pinggir agar dapat menyeberang dengan selamat. Salah melangkah kita akan ‘kinthir’ atau terseret banjir entah terdampar di belahan mana.

Proses demokrasi yang kita jalani melahirkan wajah serupa. Analogi lain hajatan ini tak ubahnya madu dan racun. Madu dalam konteks seperti apa, juga racun ketika dalam situasi seperti apa?? Terminologi ini berlaku tidak hanya bagi kepala daerah sebagai subyek, pun juga rakyat sebagai pemegang daulat.

Sedikit membuka kotak pandora atas selaput yang menjadi semacam sekat bagi publik untuk melihat secara utuh fenomena ini adalah terkait dengan limitasi waktu. Pemilu serentak merupakan diskresi dari kebijakan politik yang mesti ditempuh dalam upaya meringkas perhelatan agar tak ‘ngedabyah’.

Pernyelenggaraan pesta demokrasi yang digelar terpisah pisah tidak saja menghabiskan waktu, namun juga beaya secara kapital dalam jumlah spektakuler. Belum lagi tenaga dan pikirian terkuras secara signifikan.

Tragedi Pemilu silam yang memakan begitu banyak korban menjadi sisi gelap demokrasi secara inatura. Berapa ratus, atau bahkan berapa ribu jiwa melayang akibat beratnya beban, secara fisik dan psikis. Evaluasi yang kemudian menjadi evaluasi dan direkomendasikan Pemilu dalam konteks di atas digelar secara serentak.

Distorsi Atas Mekanisme Demokrasi

Hadirnya penjabat kepala daerah secara konkret menjadi manifesasi atas diskresi kondisi politik yang ada. Artinya agar lebih efektif tidak terlalu banyak pemilu Pilkada serentak menjadi sebuah terobosan. Secara kalkulatif policy ini merupakan buah simalakama yang harus diambil. Penentuan penjabat penjabat publik seperti yang sudah terjadi menghadirkan sinyalemen adanya maladminstrasi . Tidak itu saja yang lebih substantif adalah adanya distorsi atas daulat rakyat dalam artian yang sesungguhnya.

Tampilnya sejumlah elit biroktasi pada berbagai layer, baik itu untuk penjabat gubernur, kemudian bupati dan walikota ditengarai menjadi celah maraknya produk yang tidak bening. Vested interest, abuse of power, juga transaksi atau pun politik dagang sapi rawan bertumbuh di sini.

Lewat tulisan ini saya ingin membedah dan mengidentifikasi praktik yang terjadi di Jawa Tengah. Tampilnya empat tokoh, seperti Drs. Sinoeng Noegroho Rachmadi, MM sebagai Penjabat Walikota Salatiga, kemudian Kepala Dispermasdesdukcapil Provinsi Jawa Tengah Tri Harso Widirahmanto, SH sebagai Penjabat Bupati Banjarnegara.

Masih ada lagi, yakni Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah Edy Supriyanta, ATD, SH, MM sebagai Penjabat Bupati Jepara., dan terakhir adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Batang Dra. Lani Dewi Rejeki, MM sebagai Penjabat Bupati Batang. 

Mencermati rekam jejak, karier, dan portofolio masing masing saya ingin mendalami catatan prestasi yang telah mereka ukir. Di era digital seperti saat ini tidak sulit merunutnya di jagad maya. Meski merupakan evident virtual bukan berarti rekam jejak itu lantas dapat dipoles, dimake up seperti operasi plastic saja. Tidak, justru sebaliknya.

Artinya penunjukan mereka itu melalui mekanisme yang benar benar menyandarkan pada merit system birokrasi, sehingga publik dapat juga memberikan testemoni atau sebaliknya. Alangkah naif jika mereka yang secara prestasi nihil, namun mendapat hadiah dengan jabatan itu. Gubernur sebagai stakeholder utama mestinya menempat proses ini dengan memberi kesempatan publik untuk ikut menyumbang aspirasi.

Nah, untuk itu apa dan siapa, serta bagaimana kiprah para penjabat itu, inilah ruang terbuka dan siapa pun bebas memberikan testemoni dan pengadil yang jujur memijakkan karya nyata dalam aktivitas keseharian. Apa pun penjabat yang dimandati posisi tersebut di era demokrasi seperti sekarang tetap harus memijakkan pada akuntabilitas sebagai rohnya.

Catatan pertama saya ingin berikan kepada Penjabat Bupati Batang, Dra.Lani Dewi Rejeki, MM. Mengacu kiprah yang telah dijalani, yakni selaku Sekda Batang di era Bupati Wihaji  penunjukannya sejalan dengan merit system seperti yang sudah saya urai di atas. Lani pantas dan layak menduduki jabatan itu dengan mendasarkan logika struktural serta kultural.

Sekretaris daerah adalah posisi kunci yang menjadi penyangga sekaligus motor pergerakan birokrasi pemerintahan. Karenanya kebijakan menempatkan Lani Dwi Rejeki pada posisi sekarang langkah tepat yang perlu diapresiasi. Karenanya penempatannya menjadi penjabat Bupati Batang diharapkan tidak mendown grade capaian yang sudah diraih Bupati Wihaji.

Drajat, pangkat semat titipan Tuhan

Percaya atau tidak, pengisian Penjabat Kepala Daerah tidak luput diwarnai dinamimika dan juga turbulensi ekstrem. Untuk diketaui pos Batang informasi yang kami dapat cukup valid alias A1 sudah diplot untuk calon lain. Artinya gubernur sudah menggodog personel lain, dan itu bukan Lani Dewi Rejeki. Saya mendapatkan informs kuat dari Jakarta di lingkaran Istana terkait hal ini.

Namun akhirnya Sekda Batang era Wihaji yang mendapat amanah. Naiknya Lani membuat calon yang sudah diplot untuk jadi penjabat di Batang akhirnya tersisih. Gubernur akhirnya tunduk dengan pilihan Jakarta, meski figur yang dipersiapkan bahkan sudah  dipanggil ke Jakarta juga untuk menghadap Mendagri telah mempersiapkan diri, termasuk pesan baju untuk pelantikan.

Nah, siapa figur dan penjabat dimaksud. Informasi yang sampai ke saya beliau adalah Kepala OPD di lingkungan Provinsi Jawa Tengah juga seorang perempuan. Lepas dari siapa dan mengapa akhirnya Lani yang terpilih menarik penjelasan dari Bahlil Lahadalia, S.E yang tak lain adalah Menteri Investasi Indonesia sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Kabinet Indonesia Maju II.

Kementerian memerlukan tokoh seperti Lani untuk mengawal dan menjaga keberlanjutan investasi di Batang. Artinya Lani memiliki track record dan kompetensi serta portofolio yang pas. Lalu bagaimana dengan penjabat penjabat yang lain, layakkah Drs. Sinoeng Noegroho Rachmadi, MM sebagai Penjabat Walikota Salatiga, kemudian Kepala Dispermasdesdukcapil Provinsi Jawa Tengah Tri Harso Widirahmanto, SH sebagai Penjabat Bupati Banjarnegara dan Edy Surpiyanto ATD, SH, MM sebagai penjabat Bupati Jepara.

Catatan ini tidak memijakan pandangan yang mendasarkan pada subyektivitas, namun rekam jejak juga portofoliio prestasi yang telah dicapai. Sebagai Kepala Dinporapar bagaimana sepak terjang dan prestasi Sinoeng. Juga bagaimana kiprah Edy Supriyanto, maupun Trih Harso Widirahmanto. (Bersambung)

Drs Jayanto Arus Adi, MM adalah Pemimpin Umum RMOL Jateng, Direktur JMSI Institut dan JMSI News, Ahli Pers Dewan Pers, Mahasiswa Program S3 Manajemen Kependidikan Unnes, dan Dosen Luar Biasa di Fakultas Bahasa dan Seni Unnes. Saat ini juga aktif di Satu Pena Indonesia organisasi sosial yang dipimpin Deny JA.

Tulisan ini adalah pendapat pribadi, tidak merepresentasikan lembaga ataupun institusi institusi yang tersebut.