Drama politik KH Makruf Amin menjadi Capres mendampingi Jokowi menjadi sebuah tsunami perbincangan di negeri ini. Heboh, dahsyat, mengejutkan, tak disangka-sangka, dan lain sebagainya. Apalagi sebelumnya nama Mahfud MD yang sempat mencuat. Maka wajar publik terbelah, ada pro dan kontra.
- Pagar Laut, Panggung atau Penjara Untuk Siapa (2)
- Mengapa Anda Jahat Pada Rakyat?
- Banteng-banteng Mbedal dari Kandangnya
Baca Juga
Kontroversial menurut satu pihak, kontrodiktif di pihak lain, dan yang jelas menimbulkan polemik itu menggelindik terus seperti bola salju. Puncaknya buka-bukaan Mahfud MD di sebuah dialog salah satu stasiun televisi nasional, seperti adegan rekonstruksi. Salahkah Prof Mahfud menyampaikan testemoni seperti itu? Begitu pun salahkah Jokowi akhirnya lebih memilih KH Makruf Amin.
Sebelum menjawab, fenomena tersebut menarik untuk kita bedah di sini. Menurut hemat saya, semua itu ada asbabun nuzulnya. Negeri ini sendiri sedang belajar. Pelajaran paling berharga adalah memetik pelajaran masa lalu. Ketika Orde Baru tumbang digantikan Orde Reformasi perubahan paling ekstrem adalah sistem demokrasi yang kita anut.
Demokratisasi dengan multipartai menjadi anak sah reformasi. Lahir kemudian sebagai karya reformasi adalah amandemen UUD 45, mencabut dwifungsi ABRI, kebebasan Pers dan otonomi daerah.
Pilkada DKI yang mengantarkan Anis Baswedan dan Sandiaga Uno adalah buah lain reformasi. Kekalahan Ahok pun saya memaknakan buah reformasi. Sebab era Orba nyaris tidak mungkin demo spektakuler terjadi untuk menggerakan opini publik dapat dilakukan sedemikian rupa. Bahwa Ahok akhirnya dihukum, artinya terbukti salah, vonis ini pun tak luput dari sikap hakim yang bisa saja merasa tak merdeka mengambil putusan, untuk mengetok palu lantaran sikap massa telah dimobilisasi sedemikian rupa.
Dalam konteks tersebut, kembali pada keputusan Jokowi memilih KH Makruf Amin tak luput dari kalkulasi itu juga (baca pilkada DKI). Segendang sepenarian langkah Partai Gerindra menyanding Prabowo berduet dengan Sandi kita bisa melihat dalam kalkulasi yang sama. Koalisasi partai partai oposisi akhirnya menyerah, maaf saya istilah demikian karena PKS sempat tegas akan keluar jika usulnya tak diakomodasi. Faktanya PKS tetap di koalisi Prabowo, namun calon wakil presiden yang dipilih adalah Sandiaga Uno yang notabene dari Partai Gerinda.
Karenanya wajar keputusan itu sempat melahirkan pernyataan-pernyataan keras, ngeri-ngeri sedap memimjam istilah Sutan Batugana, politisi Partai Demokrat ketika itu. Ya itulah dinamika, turbulensi, pasang surut, atau mungkin lebih tepat otak-atik gathuk, alias pintar-pintar memformulasikan konfigurasi yang pas, tepat, tidak lonjong dari rancang bangun duet pimpinan nasional.
Apa yang mesti dibahas, dianalisa, dikomentari ketika realitas yang terjadi seperti itu? Ini politik bung. Dalam politik tidak ada lawan dan kawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan bersama yang ada. Ketika kalkulasi politik tidak bisa berdampingan, maka apa boleh buat yang terjadi adalah berseberangan.
Jagad politik Indonesia akhir-akhir ini seperti sedang jungkir balik tak menentu. Sang penjaga moral tiba tiba berganti peran. Apakah ini bagian dari tengara telah terjadi perubahan paradigman. Ketika uang dan kuasa menjadi penentu menuju kursi kekuasaan. Kita sedih dan berduka menyaksikan tragedi yang terjadi di Sumut dan Malang. Korupsi berjamah menyeret para legislator yang terhormat ke hotel prodeo. Ini sungguh bukan sebuah sinetron, tetapi reality show yang sesungguhnya.
Perjalanan negeri ini seperti metamorfosa yang tak selesai. Betapa tidak, ibarat sebuah pertandingan sebuah kompetisi berakhir, tiba tiba regulasinya berganti. Lapangan, wasit dan pemainnya juga berganti, lalu ketika menentukan sang pemenangnya menggunakan aturan yang baru, apa itu tidak lucu. Susah menelaah, melaiukan analisa dengan pikiran bening dan kejernihan akal.
Seperti sebuah laga sepakbola, kira kira apa yang terjadi jika pengawas pertandingan kemudian turun ke lapangan menjadi pemain itu sendiri. Kisruh, ganjil dan gaduh tentunya¸betapa tidak karena aturan mainnya sudah pasti jadi berantakan.
Demokrasi menilik etimoliginya adalah paduan dari Demos dan Kratos, yang merupakan istilah Yunani. Kalau diartikan adalah kekuasaan rakyat. Legislatif itu adalah wakil rakyat. Tetapi jika pesta demokrasi adalah proses kapitaalisasi karena suara rakyat dimanifestasikan maju tak gentar siapa yang mbayar lantas mau dikemanakan wakil wakil rakyat yang terpilih ini.
Panggung politik kita pun, boleh jadi sekarang ini sedang dilanda demam seperti itu. Terinspirasi atau teracuni syndrome Mahatir Muhammad dari Negeri Jiran begawan begawan yang mestinya madeg mandhito terjun lagi padhang kuru setro.
Apa yang kau cari para eyang �" istilah bagi kasepuhan kasepuhan yang kembali terjun ke politik praktis. Tak usah disebut, tak perlu dirinci, publik pasti paham dengan para eyang yang sekarang rajin melihat kamera setiap kali disorot wartawan tivi.
Sudah barang tentu wajahnya tak segar lagi, karena wajah mulai keribut dan pipinya tampak kempot �" karena giginya sudah banyak yang copot. Meski keriput dan kempot, tapi soal semangat jangan ditanya. Setengah bergurau mantan kepala lembaga tinggi negara yang sekarang gethol menjadi penyeru gerakan ganti presiden berseloroh, kita kita udah tua. Tetapi tua alias purnawiran atawa pepabri itu perut ke bawah, kalau soal pikiran masih Akabri. Ahh ada ada aja.
Kata-kata bijak setiap zaman ada pemimpinnya, dan setiap pemimpin ada zamanya seperti tak menjadi sesanti yang patut direnungkan. Bapak bangsa ini tujuh dasa warsa silam juga telah meningatkan, jangan halangi laju anak muda.
Biarlah mereka menentukan kembaranya, karena kelak dialah yang akan menahkodai negeri ini. Lalu mengapa, ketika anak anak muda itu sudah matang, mereka bahkan dihormati dan diakui di negeri orang, tetapi di negeri sendiri disia-siakan.
Mungkin Bung Karno akan menangis menyaksikan penerusnya tak menjaga amanat dan ajaran ajarannya. Demokrasi mascam apa yang harus diterjemahkan dalam bahasa yang paling nyata kepada rakyat. Koalisi seperti apakah yang dapat dipahami akal sehat ketika sesungguhnya Pilres ini nyata nyata tak lebih ajang berebut kekuasaan.
Kiranya publik belum lupa ketika pintu zaman membuka rahimnya untuk kelahiran Susilo Bambang Yudhoyono dulu. Dengan penuh kesantunan SBY membawa bangsa ini dengan penuh percaya diri membangun diplomasi yang memiliki profile apik. Tapi sayang akselerasi kepemimpinan SBY akhirnya terkoyak oleh tsunami karena korupsi yang melibatkan pilar pilar penyangganya. Tak usah disebut, tetapi skandal Bank Century, Hambalang, Petral, Freeport, sampai detik ini masih menyisakan bau tak sendap.
Entah apa yang ada di benak anak kampung, tukang mebel Jokowi yang membuatnya percaya diri dengan strategi pembangunan infrastruktur yang gila gilaan. Langkah ini adalah kebijakan gila. Secara politis jelas tak populer. Rakyat tentu lebih suka bantuan langsung tunai daripada pemerintahnya getol membangun jalan tol.
Inilah makanan empuk para politisi. Tak pelak SBY pun mengkritik tajam. Tapi dialektika memang senantiasa terjadi. Setiap kali ada otoriterianime pasti akan lahir people power. Setiap kali ada angkara murka datang Ratu adil. Setiap kali ada ketertindasan akan lahir civiel society.
Berupa rupa itulah Indonesia. Setiap kali menjelang pilpres selalu saja gaduh. Dan ini yang paling membahayakan, partai partai di Indonesia adalah partai yang belum matang. Partai partai itu tak lebih menjadi kendaraan dan tunggang saja dari para elit politik. Tak heran karena ingin prestasi instan cara mematangkan dengan membajak.
Karenanya kompetisi politik menjadi sebuah medan laga yang tak mendidik. Sebab bawan syahwat masa lalu dari seringkali terbawa. Mari kita simak kontestasi Pilpres sekarang ini pun tak luput dari lanjutan laga sebelumnya, Jokowi versus Prabowo. Bedanya kali ini ada tokoh tokoh baru yang turun gunung, seperti Amien Rais, Susilo Bambang Yudoyono. SBY dan Amien kali ini satu perahu, dan sama sama menjadi nahkoda.
Jayanto Arus Adi - Jurnalis senior