Semarang - Pagi ini telepon berseliweran. Musababnya tidak lain adalah penetapan status TSK, alias tersangka terhadap tokoh fenomenal, yakni Sekretaris Jendral PDI Perjuangan (PDI-P), siapa lagi kalau bukan Hasto Kristianto.
- Wacana (Pemimpin) Presiden Naturalisasi, Why Not?!
- Kasus Hasto Menyandera PDI Perjuangan
- Duuuh, duuuuh... IDI, IDI...
Baca Juga
Penetapan ini seperti menjadi afirmasi atas pernyataan Mak Banteng, Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarno Putri. Belum lama, dan publik pasti masih lekat di ingatan, jika Sang Sekjen ditetapkan baca dijadikan tersangka beliau akan turun sendiri. Apa yang dimaksud turun sendiri, apakah akan pasang badan membelanya, atau bakal melabrak ke Markas KPK di Kawasan Kuningan?
Pepatah Jawa Ngono yo ngono, ning aja ngono rasanya pas merepresentasikan kondisi ini. Kasus Harun Masiku menjadi tabir yang telak atas dugaan keterlibatan sang Sekjen. Meski begitu pria yang menjadi kepercayaan Mak Banteng ini terus saja berdalih. Hasto barangkali lupa orang bisa berkilah pada banyak hal, tetapi tidak untuk semua hal. Kita bisa saja berbohong pada banyak orang, namun tidak pada semua orang.
Dialektika zaman adalah pelajaran klasik. Siapa menabur angin akan menuai badai. Dosa-dosa Hasto bisa jadi telah lama diidentifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, Hasto sendiri tidak menyadari. Sebaliknya dia nyaring bernyanyi melakukan perang terhadap KPK, dan juga Pemerintah Prabowo Subiyanto-Gibran Rakabuming. Dalam berbagai kesempatan sadar atau tidak, politisi senior Partai Banteng Mencereng ini mengorkestrasi gerakan-gerakan yang berseberangan dengan pemerintah.
Tensi kemarahan Hasto pada Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, terekspresikan penuh api. Rasanya api itu ingin melumat atau membakar hidup-hidup idola wong cilik yang baru saja dipecat dari Partai Banteng.
Saat mengumumkan pemecatan Joko Widodo dan anggota keluarga lain, yakni Gibran dan Bobby, siapa lagi yang mengartikulasikan penuh syahwat jika bukan Hasto Kristianto?
Andai Hasto mau belajar dan melakukan sikap bijak seperti sekondannya, Bambang Wuryanto ‘Patjul’ bisa saja umur kariernya akan mengalami rubber game.
Aneh, dan menjadi paradoks semakin ke sini, tarian dan nyanyiannya kian kebablasan. Kita bisa bercermin pada metamorfosa Puan Maharani. Diakui atau tidak putri mahkoti (karena beliau perempuan) Ketua Umum PDI Perjuangan ini bertambah matang dan bijak. Puan sepertinya merepresentasikan sosok ayahanda, Bung Taufik Kiemas.
Ketidaksukaan Ketua DPR-RI ini pada Ganjar Pranowo kala itu terbaca karena Puan tidak suka dengan tokoh yang terkesan kemlinti tersebut.
Pernyataan Puan yang menyebut buat apa kader jika tak rajin turun? Apalagi lebih banyak bermedsos. Kala itu tidak lain dialamatkan kepada Ganjar. Meski begitu sebagai kader partai ketika keputusan politik diambil, PDI Perjuangan mengusung Ganjar, tokh Puan tetap saja all out.
Sikap Puan seperti itu saya membaca ada dialog dan proses kristalisasi dalam mengejawantahkan sepak dan pengabdiannya. Puan barangkali mendapat insight dan referensi tentang filosofi-filosofi Jawa yang sering disampaikan Bambang Patjul. Narasi tentang Korea, dan bagaimana memilih galah yang tepat untuk dalam mengarungi dunia politik sangat dipahami Puan. Artinya relasi Puan-Patjul bagaimana pun memberi warna dan suasana yang lebih adem juga kondusif.
Ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan. Maaf, maaf beribu maaf fakta ini perlu saya sampaikan di sini. Setiap kali Sekjen Hasto ber-statement, yang terjadi seperti menabur hawa panas. Suasana menjadi gerah, dan ujung-ujungnya partai sendiri yang rugi. Hal yang sama setiap kali Megawati bicara. Perasaan deg-degan, khawatir ada selip ucapan atau pernyataan yang kontraproduktif terjadi. Hasto sebagai orang terdekat Ketua Umum mestinya dapat memberi asupan-asupan teduh kepada Megawati.
Kita perlu juga belajar atas sikap dan kenegarawanan Presiden Prabowo. Siapa yang tidak tahu tentang sosok Presiden RI ke-8 in? Dia adalah The Rising Star. Namun, turbulensi politik yang menggayuti menjadikan semua berubah.
Kisah Prabowo adalah gambaran bagaimana bumi dan langit menghimpit begitu rupa. Dilucuti bintangnya, terpaksa (dipaksa) meninggalkan keluarga (anak-istri) dan dicap sebagai pecundang, betapa perihnya.
Untuk ukuran (manusia) biasa, tamat sudah, atau ibarat tutup buku. Tetapi fase itu menjadi sebuah testimoni hidup seorang Prabowo Subiyanto. Trah kusuma rembesing madu, wijining sutapa, tedhaking andana warih menjadi afirmasi atas lakon, dan sekaligus unjuk pembuktian ikhwal yang sesungguhnya. Ksatria sejati tidak akan pernah mati, meski mau menghadang.
Prabowo ksatria yang benar-benar teruji oleh waktu.
Bagai Gatotkaca, Putra Bima palu godam yang telah mencabik, menghancurkan hidupnya memaksanya tapa brata. Dia (Gatotkaca) sebagaimana dikisahkan dalam Epos Mahabharata melakukan olah kanuragan di Kawah Candradimuka. Laku biasa sudah tak mempan lagi, seperti jalan buntu ikhtiar terakhir menjadi satu-satunya jalan, yakni to be or not to be.
Kembali pada Hasto, kurang apa dekatnya relasi dia dengan Jokowi? Tetapi Hasto tidak belajar pada Jokowi itu sendiri, atau pada Prabowo dan juga Bambang Patjul. Sayang kesempatan-kesempatan dan momentum itu terlewat begitu saja. Artinya kalau hari ini KPK mengumumkan sang Sekjen menjadi tersangkat, itulah pelajaran.
Ada ungkapan yang baik untuk menjadi menjadi pelajaran buat kita semua, yakni lamun siro galak, aja clutak. Artinya jika kita ini belum bersih, belum sempurna, maka jangan galak, apalagi clutak. Ungkapan ini berlaku untuk semua. Apakah Hasto termasuk yang demikian? Biarlah KPK yang akan membuktikan.
Menjadi catatan di sini, disebutkan KPK telah menetapkan Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kritianto sebagai tersangka dalam surat pemberitahuan dimulainya penyidikan. Dalam surat itu, disebutkan bahwa surat perintah penyidikan atau sprindik penetapan tersangka Hasto adalah Sprin.Dik/153/DIK.00/01/12/2024 tanggal 23 Desember 2024.
Penetapan Hasto sebagai tersangka dilakukan setelah ekspose perkara pada 20 Desember 2024 atau setelah para pimpinan baru KPK mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Presiden Prabowo Subianto.
Dalam surat itu disebutkan pula bahwa Hasto adalah pihak pemberi suap bersama Harun Masiku kepada mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Suap itu diduga berkaitan dengan pergantian antarwaktu atau PAW anggota DPR.
Kasus Haruan Masiku adalah pintu pembuka atas kiprah-kiprah lancung sang Sekjen pada dugaan-dugaan kasus yang lain. Apa saja dugaan-dugaan itu? Biarlah buku tentang Hasto Kristianto akan dibaca oleh semua untuk menjadi pembelajaran bersama.
Jayanto Arus Adi adalah wartawan senior, Ahli Pers Dewan Pers. Ketua Bidang Pendidikan JMSI (Konstituen Dewan Pers). Saat ini mengelola RMOL Jateng, media Online cukup berpengaruh di Jawa Tengah sebagai Pemimpim Umum dan Redaksi. Juga terlibat di Koran Pelita Baru, sebagai Direktur Bisnis dan Pengembangan Usaha. Dosen mata kuliah jurnalistik di beberapa Perguruan Tinggi. Konsultan Media dan Politik, serta aktif menulis. Sekarang lebih banyak bermukim di Kota Wali Demak.
- Indeks Integritas Sukoharjo Masuk Zona Hijau Dalam Survei KPK
- Widiyanti Menjadi Menteri Terkaya Karena Memang Terlahir Kaya
- Marwah Masyarakat Sipil