Membunuh Orang Tua

Perseteruan anak dengan orang tua atau juga mertua merapakan persoalan purba yang hingga kini masih terjadi. Relasi mereka terkadang menukik pada dikotomi yang ekstrem dan pada ujungnya membawa berupa rupa chaos yang tidak simple.


Perseteruan anak dengan orang tua atau juga mertua merupakan persoalan purba yang hingga kini masih terjadi. Relasi mereka terkadang menukik pada dikotomi yang ekstrem dan pada ujungnya membawa berupa rupa chaos yang tidak simple. Distorsi dengan destruksi sebagai ikutan melebar pada wilayah begitu jembar. Konflik pada tingkat kecil, seperti di keluarga lantaran konstaktasi di atas seringkali melebar ke mana mana.

Sejarah purba menjadi kaca  bengkala betapa melokisah klasik serupa sesungguhnya dapat menjadi pelajaran. Tetapi manusia menjadi representasi dua wajah yang saling bertubrukan. Dia adalah makhluk yang paling sempurna, bahkan dilegacykan di semua kitab suci, tetapi sekaligus paling kontroversial. Jika menukil pepatah, hanya keledai dungu yang bisa terperosok pada lubang yang sama untuk kedua kalinya. Manusia yang notabene makhluk paling sempurna bisa mengalaminya berkali kali.

Alkisah dalam sebuah keluarga-tulisan ini terinspirasi ‘Acara Motivasi Hari Ini’ di Radio Suara Kota Wali (RSKW), mereka ini bukan sembarang keluarga, tetapi dari kasta tinggi, atau jika digambarkan termasuk cluster kosmopolit sekaligus mileneal. Tetapi apa yang terjadi, sang istri sebut saja A dalam kisah ini menghadapi persoalan pelik terkait relasi dengan mertua, dalam hal ini ibu mertua. Derajad konfliknya pun tak main main lagi, ibarat telah sampai pada fase titik didih.

Berupa rupa ikhtiar agar keduanya reda dari terjalnya konflik telah dilakukan, namun semua itu buntu. Posisi dilematis tentu berada di pihak suami. Di makan ibu mati, tidak di makan istri mati, begitu analoginya. Dihadapkan pada kondisi dramatik yang menjepit itulah sikap terbijak yang dipilih adalah diam. No move, tidak bergerak sama sekali. Buying time, begitulah kira kira. Tentu sebagai orang beragama, doa menjadi pilihan terbaik.

Spirit yang dipijaknya untuk menghela kebuntuan adalah doa. Atau lebih tepat laku itu-baca doa dimaknakan ketika seluruh ikhtiar bumi tuntas ditunaikan, maka doa menjadi jembatan menjemput titah penguasa langit. Bukankah kejadian kejadian di bumi tak lepas dari titah sang penguasa langit.

Ibarat menunggu godot, bagaimana dengan sang istri. Melihat sikap suami yang tak jelas berpihaknya membuat sang istri menjadi kalap. Akal sehat seperti lepas dari pandora otak yang melahirkan pilihan pilihan destruktif. Langkah setan pun diracik untuk memungkasi perseteruan ini. 

Dia, sang istri ini lantas bertandang ke seorang dukun kondang guna melampiaskan kesumatnya. Pada dukun itu disampaikan ihwal tekad dan niatnya agar rencana menghabisi sang mertua dapat dibantu. Kecamuknya sudah memuncak sehingga akal sehat tak lagi mempan.

Permufakatan jahad pun dilakukan, sang dukun setuju memenuhi permintaan kliennya untuk membunuh sang mertua. Cara yang dipilih dengan diracun. Sang klien sebenarnya menghendaki cara yang lebih senyap dan cepat, seperti di santet atau sejenisnya. Namun permintaan itu ditolak sang dukun. 

Rupa rupa janji, seperti bayaran lebih mahal jika dapat segera menghabisi mertua tak direspon sang dukun. Seperti buntu, karena eskalasi konflik juga tak kunjung reda akhirnya prakarsa dukunlah yang tetap jadi keputusan. Ya, kesepakatan dibuat cara untuk menghabisi sang mertua adalah diracun. Dengan cara ini mau tidak mau sang istri tak luput harus ikut terlibat. Karena yang menyajikan racun ke sang mertua harus sang menantu itu sendiri.

Eksekusi pun dijalankan. Sang dukun memerintahkan si menantu untuk  mengambil ramuan yang telah disiapkan. Pada menantu tersebut dukun mewanti wanti eksekusi dilakukan secara hati hati, jangan sampai diketahui orang lain. Dan itu harus klir. Karena jika sampai bocor dampaknya bisa berisiko, tidak saja skenario berantakan, namun fatal akibatnya.

Tak butuh banyak waktu ramuan dari dukun diberikan pada sang mertua. Langkah itu dapat dijalankan dengan mudah karena memang mereka tinggal satu rumah. Jangan heran ramuan tidak hanya disajikan sekali, tetapi dua, tiga, bahkan beberapa kali. Begitu mertua minum, kecemasan muncul khawatir reaksi ramuan itu langsung terjadi.

Nah, namun apa yang terjadi, meski sudah beberapa kali ramuan itu diminum anehnya tidak terjadi apa apa. Malah sepertinya mertua yang kondisi awal kurang sehat, menjadi kelihatan makin bugar. Rupanya mertua sendiri juga diam diam tahu ihwal perbuatan yang dilakukan menantunya tersebut.

Yang terbetik dalam hati kemudian, dia timbul empati, artinya menyesal juga telah memperlakukan menantu tidak pada tempatnya. Perasaan itu berlanjut dan akhirnya membuka hati untuk lebih memperhatikan si menantu. Dari situlah rasa sayang muncul kehangatan dirasakan, keduanya makin akrab.

Menghadapi situasi itu si menantu menjadi bingung. Di benaknya berasa ada yang ganjil. Dia berfikir mertuanya sakti. Karena meski sudah diracun dengan ramuan dari dukun, bukan mati tetapi malah menjadi sehat dan bugar. Kejadian itu membuat si menantu ketakutan. Karenanya sikap mertua yang menjadi baik, dan hangat dia sambut dengan respon senada.

Harapannnya tidak ada kan kecurigaan, atas apa yang dilakukan dengan racun yang diberikan. Atau kalau tokh mertua tahu, kemudian memaafkan. Itulah yang sungguh sungguh terjadi. Sementara di pihak mertua dia merasa haru iba dengan perilaku menantunya. Karena tanpa sepentahuan menantu apa yang dilakukan, yakni menyuguhkan minuman, yang tak lain ramuan dari dukun dianggap sebagai bentuk bhakti padanya.

Suasana menjadi berubah, situasi yang semua panas karena hubungan antara menantu dan mertua yang berkonflik menjadi rukun penuh kehangatan. Keduanya bahkan menjadi sering bersama untuk banyak kegiatan dan yang lain. Mereka seperti tersadar akan kesalahan kesalahan masa lalu. 

Babak baru terjadi, meski masing masing menyimpan pertanyaan dan menjadi kecamuk misteri dalam hatinya. Si menantu heran, apa yang terjadi dengan mertua karena sudah diracun justru sehat dan berubah menjadi baik. Inilah yang menjadi titik balik. Kecamuk itu diam diam disimpan. 

Meski ramuan dari dukun sudah habis  agar mertua tak lantas curiga, setiap waktu  tetap saja dibuatkan minum atau memberi suguhan yang lain. Apalagi sikap mertua telah berubah, perhatiannya tak lupa berupa rupa pemberian juga diberikan. 

Nah, suatu waktu tanpa disengaja si menantu tadi bertemu dengan dukun. Pertemuan itu menjadi aneh, janggal dan ganjil, terutama bagi si menantu. Betapa tidak, amarah yang ketika itu muncul dengan segala kesumatnya untuk menghabisi mertua sudah berubah. Karenanya bertemu dengan dukun itu menjadi seperti mati angin.

Dia seperti ingin lari. Si dukun menangkap gelagat gelisah dari kliennya itu. Diampiri kliernya itu dan ditanyakan terkait kondisi mertuanya. Apakah dia baik baik, makin sehat maksudnya, begitu kata tersenyum, sambil mendekat, dan memeluk kliennya, serasa berbicik, ‘’Syukur kalau, kalau begitu. Alhamdulilah jika beliau sekarang sehat,’’ujar dukun.

Dia lantas melanjutkan pertanyaan, ‘’apakah jadi menghabisi dia, kemarin ramuan itu adalah vitamin, bukan racuan,’’urainya. Sang klien kaget, dan bangkit, tetapi sebelum sempat berucap apa apa, dukun tadi berkata,’’untuk membunuhnya, kita perlu membuat dia sehat, dan normal. Jangan menghukum orang sakit, dan tidak normal,’’ucapnya.

Mendengar kata kata itu, menantu tak bisa berucap apa apa, dia syukuri dan menangis. Dia berterima kasih bertemu dukun yang baik. Kata kata bijakanya menggelegar, jangan menghukum orang sakit, dan tidak normal. Karena sikap dan tindaknya yang tidak pas bisa jadi bukan lahir dari hatinya, tetapi setan yang menggerakan, maka mereka yang sakit dan tidak normal, harus disehatkan agar bening sikap jua tindakanya muncul.

Jayanto Arus Adi

Pemimpim Umum RMOL Jateng, Pokja Hukum Dewan Pers, Konsultan Media dan Komunikasi. Dosen serta Mahasiswa program Doktor Manajemen Kependidikan Unnes. Tenaga Ahli DPR RI, dan Ketua Bidang Kerjasama JMSI. Tulisan merupakan pendapat pribadi, tidak mewakil lembaga atau institusi.