Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Semarang tiba tiba mengalami turbulensi yang sulit dipahami dari kacamata biasa. Tragedi politik yang menimpa Srikandi Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu ibaratnya bom nuklir yang membuat peta politik seketika berubah.
- Menyaksikan Blekok Menari Saat Matahari Merekah
- Batur-Batur Luar Biasa
- Selamat Datang Persatuan Wartawan Indonesia Perjuangan!
Baca Juga
Ada apa dengan Mbak Ita, begitu istri Alwin Basri ini biasa dipanggil, ini jelas bukan peristiwa biasa. Spekulasi bertiup, ada skenario besar di baliknya. Siapa yang menjadi dalang, siapa yang bermain waktu yang akan mengujinya.
Andai Mbak Ita tidak ditekuk melalui operasi khusus, Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Semarang tidak akan seriuh seperti sekarang. Simak. Kini tiba-tiba muncul Dico Ganinduto karena dia tiba-tiba seperti mendapat durian runtuh. Juga eskalasi dukungan untuk Yoyok Sukawi mengalami lompatan kejut yang begitu drastis. Meski belum 100% final, konon Yoyok sudah mengantongi dukungan dari enam Parpol.
Nah, karenanya Pilwalkot di Bumi Pandanaran ini menjadi Duel Dico vs Yoyok atau palagan pertempuran yang seru. Bukan sekadar arena berebut tahta menjadi nahkoda Kota Lunpia, namun Pilwalkot adalah ajang untuk meneguhkan legacy bagi Dito Ganinduto yang notabene ayah biologis Dico, Ganinduto suami Chaca Frederica atau Bupati Kendal saat ini.
Tapi tunggu dulu, Dico jangan lantas optimis, apalagi merasa pasti dapat meraih kemenangan. Apa pasal untuk diketahui, Yoyok Sukawi juga bukan calon ayam sayur. Di belakang Yoyok Sukawai bos PSIS, ada Sukawi Sutarip, Wali Kota Semarang periode 2000-2010.
Mantan Suami Endang Setyaningdyah ini dikenal sebagai politis ulung yang licin. Ketika menjadi Wali Kota, kebijakan Sukawi Sutarip penuh kontroversi, seperti yang mencuat ke publik adalah kasus kebakaran Gedung M Ikhsan, dan bau anyir pembelian Gedung Pandanaran. Kendati begitu, pria kelahiran Pati 15 Januari 1951 itu tokh tetap damai, aman dan bahagia dengan sang istri mantan penyiar TV Borobudur, Sinto Adi Prasetyarini.
Untuk diketahui perkawinan Sukawi dengan Endang Setyanindyah kandas tahun 1989 meski telah dikaruniai tiga putra-putri, yakni Kartina Sukawati (Ina Sukawati), AS Sukawijaya (Yoyok Sukawi) dan Suka Adi Satya (Adi Sukawi). Dua anak Sukawi mengikuti sang bapak menjadi politisi, Ina adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah dari daerah pemilihan (Dapil) Enam Pati dan Rembang lewat Partai Demokrat. Yoyok Sukawi sendiri duduk sempat menjadi anggota DPRD Jawa Tengahjuga, kini menjadi Anggota Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Terpilih Dapil Satu Kota Semarang lewat Demokrat juga.
Catatan khusus di sini, istri Yoyok Sukawi juga anggota DPRD Kota Semarang, yakni Asti Aswagati. Tak kalah hebatnya suami Ina Sukawi juga legislator di DPRD Pati. Joni Kurnianto menantu Sukawi adalah Ketua DPC Partai Demokrat Pati. Jadi dari keluarga mantan Wali Kota Semarang ini dua anak kandung, dua menantunya adalah anggota DPRD. Hebat luar biasa. MURI perlu mencatatkan rekor atas prestasi ini.
Yang berbeda hanya sang bungsu. Adi Sukawi tidak tertarik di dunia politik, dia lebih menekuni bisnis dan aktif di kegiatan sosial keagamaan. Melihat portofolio dinasti Sukawi ini maka Dico tak bisa begitu saja percaya diri bisa meraih tahta menjadi Wali Kota Semarang. Sebab calon yang mesti dihadapi, meski belum final karena rekomendasi belum turun, Dico Ganinduto bukanlah politisi kaleng-kaleng.
Ayah Dico, yakni Dito Ganinduto, adalah Bendahara Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar. Menilik konteks relasi dan jejak politik masing masing Pilwalkot Semarang akan menjadi palagan berdarah bagi dinasti Sukawi Sutarip dengan Sukawi juniornya, yakni Yoyok Sukawi, dan dinasti Dito Ganinduto dengan Ganinduto Junior siapa lagi kalau bukan Dico Ganinduto.
Selain berdarah untuk memberi determinasi bahwa ini pertarungan berat, Pilwalkot Semarang menjadi ajang kapitalisasi berbiaya tinggi.
Politik uang dipastikan akan menjadi power yang begitu dominan. Siapa yang berduit dialah yang akan memenangi pertempuran. Tapi tunggu dulu! Endingnya akan menjadi berbeda jika poros lain, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) cerdik dan cermat menempatkan calon yang diberi mandat. Sebenarnya ketika itu kans Mbak Ita cukup besar. Kalkulasi awal bahkan bisa-bisa dia tak ada lawan.
Berkibarnya Yoyok Sukawi dan Dico Ganinduto terjadi pascatragedi Balai Kota Semarang diobok obok KPK. Karena itu operasi KPK banyak yang menyorot itu pesanan, atau tidak murni mengingat sejumlah kalkulasi di atas. Artinya jika tidak ada operasi KPK hampir pasti Mbak Ita akan mulus dapat mengamankan kursinya kembali. Seperti diketahui sebelum masa jabatan tuntas Hendy harus meninggalkan Semarang karena didapuk menjadi Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
Pasca Hendy, logikanya Mbak Ita melenggang. Namun, apa daya. Boleh jadi suratan takdir mantan Direktur SPJT, BUMD milik Provinsi Jawa Tengah, ini seperti niatan awalnya akan berfokus mengurus sang putra semata wayangnya, yakni Muhammad Farras Razin Pradana. Mbak Ita, dalam suatu kesempatan pernah membuat statement dia tidak akan maju kontestasi Wali Kota Semarang karena ingin mendampingi sang anak yang selalu ditinggalkan. Jika benar akhirnya pintu Pilwalkot tertutup untuk Mbak Ita, boleh jadi itulah yang terbaik.
Ya, manusia hanya berikhtiar. Penentunya adalah sang penguasa langit. Apa yang terjadi ke depan hanya Allah yang tahu. Hal yang sama berlaku untuk Yoyok Sukawi dan Dico Ganinduto. Keduanya mesti cemas dan berdebar debar menanti siapa kandidat yang akan diperintahkan Srikandi Utama PDI-P, tak lain dan tak bukan, yakni Sang Ketua Umum Megawati Sukarno Putri.
Mega kali ini mesti seksama untuk menentukan petugas partai, yang harus menerima mandat maju di Kurusetra Pilwalkot Semarang. Tidak banyak pilihan yang memiliki jejak dan legacy mengikuti kontestasi Pilwalkot Semarang November 2024 mendatang.
Ksatria-ksatria yang dapat menjadi pilihan Mega harus benar benar tangguh. Pertaruhan harkat dan martabat partai menjadi pertimbangan yang harus diputuskan dengan penuh kebeningan pikir juga hati. Yang perlu diingat Semarang adalah jantungnya Jawa Tengah. Pemilihan Presiden (Pilpres) lalu kandang banteng ini telah terkoyak, tragis, dan tentu harus menjadi pelajaran berharga di sini.
Bagaimana mensolidkan banteng-banteng agar tak melacur menjadi celeng? Perlu pemimpin yang berkharisma, rendah hati, dan yang tak kalah pentingnya memiliki jejak pengabdian serta perjuangan di partai moncong putih ini. Sederet nama dapat menjadi kandidat yang layak diberi mandat ibu Ketum.
Tokoh senior seperti Daniel Budi Setiawan misalnya, Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI-P Jawa Tengah, Bambang ‘Pacul’ Wuryanto, Supriyadi ‘Korea’ dari Semarang Utara, atau debutan baru, seperti Arnaz Andrasmara.
Ada juga Srikandi Banteng seperti Agustina Wilujeng, atau memilih tokoh non-kader seperti Kukrit SW, bos RS Charlie Hospital Junianto, atau juga tokoh PSMTI Dewi Susilo. Di luar sederet tokoh tersebut nama yang juga harus dipertimbangkan khusus adalah Ketua LKPP Hendrar Prihadi yang populer disapa Mas Hendi.
Kenapa Mas Hendy saya sebut di sini? Karena menilik regulasi dan aturan yang ada dia masih bisa dicalonkan lagi.
Dua periode masa jabatannya. Karena periode pertama masih melekat di Soemarmo HS, Wali Kota Semarang, mantan Sekretaris Daerah (Sekda) yang tersandung kasus gratifikasi anggota DPRD.
Sementara periode keduanya karena Mas Hendy kemudian ditunjuk menjadi Ketua LKPP RI. Kalkulasi ini sang Ketua Taruna Merah Putih RI menjadi figur alternatif untuk menjadi pertimbangan Megawati.
Matematika yang dapat menjadi narasi untuk memberi tugas kepada Hendy karena Yoyok dan Dico berhasil menjadikan momentum tragedi mbak Ita untuk panggung mereka.
Popularitas Yoyok bereskalasi pesat pascatragedi Balaikota Semarang. Begitu juga Dico, dia hadir ketika massa pendukung Mbak Ita terpukul dan mengalami disorientasi dukungan.
Jika Pilwalkot Semarang dilakukan hari ini, ya HARI INI, maka yang jadi pemenang adalah Yoyok Sukawi. Dico mesti membawa amunisi power politik dan logistik yang begitu besar masih kalah start dibanding Yoyok. Putra kedua Sukawi Sutarip ini memiliki basis masa fanatik, yakni supporter Persatuan Sepakbola Indonesia Semarang (PSIS). Juga loyalis loyalis Sukawi yang pernah menjabat dua periode. Memang selain mendapatkan obligasi di atas komunitas PSIS sekaligus juga menjadi ancaman.
Mereka yang kecewa dengan prestasi PSIS berharap Wali Kota Semarang adalah figur yang paham olah raga dan mampu memberi darah segar. Artinya mereka tidak setuju dengan Yoyok. Saat ini di tubuh PSIS persoalan dana sering menjadi ganjelan, disamping itu prestasinya juga tak begitu gemerlap. Ditambah lagi pengurus tim sepakbola yang berjuluk Mahesa Jenar ini nyaris dikuasai orang-orang Yoyok semua. Handicap lain yang juga menjadi sisi lemah Yoyok adalah kepemimpinan Sukawi Sutarip.
Dua periode menjadi Wali Kota, prestasi Sukawi Sutarip relatif minim. Semarang moncer diakui atau tidak ketika duet Hendy-Ita memimpin. Artinya legacy ini menjadi handicap buruk untuk Sukawi Sutarip dan tentu mengimbas ke Yoyok.
Kesan Negatif Dico
Hal yang sama juga dimiliki Dico, putra Bendahara Umum DPP Partai Golkar ini belum memiliki legacy apa pun di Kota Semarang. Selama memimpin Kendal pun, Dico belum ada karya monumental. Sebagai pemimpin muda dia semestinya dapat menjadi lokomitif yang lebih gesit. Namun demikian, peluang itu seperti belum dimanfaatkan maksimal oleh suami Chacha Frederica ini.
Kesan negatif yang mencuat, mengapa juga Dico memiliki berpetualang ke Semarang. Apalagi dia masih satu periode memimpin Kendal. Idealnya bukan ditinggalkan, namun dilanjutkan untuk mewujudkan janji-janji ketika kampanye dulu. Karenanya ketika dia mendeklarasikan diri untuk maju di Pilwalkot Semarang, ini menjadi pertanyaan publik juga. Apalagi sebelum tragedi Balai Kota Semarang diobok-obok KPK, Dico all out untuk ikut berkontestasi di Pemilihan Gubernur (Pilgub).
Poster dan baliho Dico Ganinduto bertebaran di seantero Jawa Tengah. Ambisinya yang begitu ambisius publik merasakan. Namun, kini tiba-tiba ibarat mobil, dia oper persneling tidak jadi Nyagub, tapi melabuhkan hajadnya untuk bertarung di Kota Semarang. Ambisi itu sudah terang-terangan, seperti nampak baliho besar, dan poster-poster wajah Dico yang masih imut banyak dijumpai di mana-mana.
Fenomena dua gajah bertarung perlu disikapi dan menjadi permenungan tersendiri bagi kubu PDI-P. Sosok Hendy dapat menjadi alternatif. Berbeda dengan di kancah pemilihan Gubernur, kans Hendy lebih besar dan terbuka. Untuk Pilgub, kalkulasi politik menurut hemat saya sulit membendung laju Ahmad Luthfi. Mantan Candi Satu, sebutan untuk Kapolda Jawa Tengah, sudah bukan menjadi rahasia umum direstui Pak Lurah.
Perlu dipahami juga Komjen Ahmad Luthfi telah membangun akses komunikasi dengan sejumlah stakeholders di Jawa Tengah. Habib Lutfi bin Yahya, ulama kharismatik asal Pekalongan juga menyokongnya menjadi lurahnya Jawa Tengah. Di Jepara, Habib Muhsin Alaydurs murid Habib Umar bin Hafiz ulama kharismatik asal Yaman, juga memberi dukungan yang sama.
Mestinya yang berpotensi dengan kans besar adalah Sudaryono, dan Gus Yusuf. Namun, Sudaryono kini lebih fokus sebagai Wakil Menteri Pertanian, yang kemungkinan besar akan diraihnya kembali di Kabinet Prabowo-Gibran mendatang. Tokoh lain, seperti KH Yusuf Chudlori meski punya pengaruh dan basis masa kuat masih berada di bawah Achmad Lutfi.
Dari narasi ini, jika Hendy dipaksakan untuk maju di palagan Pilgub efeknya merugi ganda. Kecil kemungkinan dia akan menang, artinya PDI-P makin remuk pamornya. Kedua, secara sosiopolitis hal itu tidak menguntungkan untuk Hendy juga. Berbeda halnya jika Ketua LKPP ini ditugaskan untuk maju Pilwalkot Semarang lagi. Dico dan Yoyok bagaimana pun juga akan keder. Bisa jadi partai-partai yang sekarang ini belum bersikap akan berubah arah dukungan.
Catatan lagi untuk kepentingan geopolitik ke depan juga menjadi strategi elok Hendy atau PDI-P perlu membangun koalisi dengan mengambil Wakil Wali Kota dari Gerindra. Jika perkawinan itu dapat dilakukan, Semarang dapat menjadi barometer sekaligus rekonsiliasi secara lebih luas. Inilah sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampui. Wacana koalisi Kota Semarang perlu benar-benar menjadi pertimbangan DPP PDI-P.
Hendy sendiri tidak perlu merasa gengsi melaksanakan tugas partai ini. Apalagi jika benar untuk Pilgub DPP PDI-P akan menurunkan Andika Perkasa. Artinya sekelas mantan Panglima TNI dan anak (mantu) sesepuh intelijen (BIN atau Badan Inteligen Negara) juga ditugaskan untuk maju di Pilgub Jawa Tengah.
Anies Baswedan dan juga Kofifah berada di agregasi yang sama. Dua tokoh ini sedang on process menanti rekomendasi final maju di Pilkada DKI Jakarta dan Pilgub Jawa Timur.
Kini semua kembali pada titah sang Ketum PDI Perjuangan, Megawati dan Hendrar Prihadi Hendy sendiri. Jawa Tengah adalah kandang banteng. Hanya dengan pertimbangan jernih dan keputusan yang memijakkan pada hati nurani, banteng-banteng akan kembali. Namun, ingat keputusan yang salah atas Pilwalkot Semarang dan Pilgub Jateng, maka kisah tentang kendang-banteng akan tinggal kenangan menjadi kandang celeng. Tabik.
Drs Jayanto Arus Adi, MM adalah Wartawan Senior, Ahli Pers Dewan Pers dan Ketua Bidang Pendidikan JMSI Pusat. Dia juga Pemimpin Umum dan Redaksi RMOL Jateng-Political Online Media paling berpengaruh di Jawa Tengah. Dosen Jurnalistik di Unnes Semarang, Udinus dan STIE Bank BPD Jateng. Saat ini sedang menempuh Program Doktoral di Manajemen Kependidikan (MK) Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Semarang.
- PON XXI: Jateng Sumbang Dua Medali Perunggu Dari Drumband
- Jelang Pilkada 2024, Polres Wonosobo Gelar Patroli Skala Besar
- PHK Massal Ribuan Buruh Di Jawa Tengah