ANDAI George Junus Aditjondro masih hidup, drama yang menghadirkan Anggelina Patricia Pingkan Sondakh (Anggie ) sebagai sebuah kesaksian zaman akan semakin seru. Fragmen tentang lakon yang disuguhkan, tidak sekadar menjadi kotak pandora, tetapi ibarat tragi komedi, juga karma narasi sebuah zaman. Artinya jika babak atau perjalanan negeri ini merepresentasikan era tertentu, maka inilah narasasi tentang rezim yang dipatroni Susilo Bambang Yudhoyono.
- Membunuh Orang Tua
- Matematika Pilgub Jateng 2024, Lutfi, Daryono, atau Hendy
- Memaknai Tangis Megawati
Baca Juga
Tidak ada kejahatan yang sempurna, dan waktu adalah pengadil yang sesungguhnya. Memaknai adagium itu, akankah rezim SBY yang lebih populer disebut Cikeas menghadapi jagal zaman, pertanyaan ini otomatis akan memuarakan sendiri jawabnya.
Selain Anggie, ingatan kita bisa disegarkan dengan sosok Antasari Azhar, juga Anas Urbaningrum.
Antasari Azhar, Anggelina Sondakh dan Anas Urbaningrum adalah bintang bintang sebagai anak zaman yang terpaksa atau dipaksa lepas dari orbit. Tokoh sekelas Antasari, mantan Ketua KPK akhirnya mesti menghuni hotel prodeo lantaran kisah picisan ala sinetron melodramatik. Anggie dan Anas setali tiga uang, mereka mesti melesat dari pusaran jet coaster kehidupan-suksesnya kemudian terjerembab masuk fase hidup yang tak bisa dipahami akal sehat, karena gelapnya.
Apakah itu fakta atau drama? Tuah cinta segitiga, silakan nalar waras mencernanya, dan menyisir kisi kisi absurd wajah rezim yang begitu kelam. Rani Juliani ‘hanya’ seorang caddy girl menjadi bintang, mahkota dari ‘panggung’ sandiwara ini. Benar kata Iwan Fals, Dunia ini Panggung Sandiwara.
Lalu apa relasi kasus Antasari dengan tragi komedi kasus korupsi yang menyeret mantan Putri Indonesia, Anggelina Patrica Pingkan Sondakh. Siapa pula predator zaman yang menjadi pemangsa orang orang, seperti Antasari, Anggie juga mereka yang lain. Apakah Anas Urbaningrum masuk dalam kubangan sengkarut tragi komedi korupsi masih berpusar pada episentrum serupa?
Anggie adalah Cinderella di satu sisi, etalastik apik, bagai kristal, sayang dia belum menjadi baja teruji. Miskin jam terbang, setidaknya di politik sehingga terperosok kubangan korupsi. Kasus korupsi yang menjerat dan melumuri mantan Putri Indonesia ini bukanlah korupsi biasa. Kesalahan, kecerobohan pasti, tapi Anggie bagaimana pun pion paling lemah.
Mahkota yang disandang tak mampu menjadi daya pendobrak sengkarut konspirasi luar biasa ketika itu. Di sinilah saat jurus jurus atau langkah bidak buntu, maka tidak ada cara lain, kecuali dikorbankan. Zaman terlalu kejam memang, karena bukan soal benar atau salah, namun kenyataan yang harus dihadapi ketika samurai dicabut dari sarung, maka harus ada yang dimatikan.
Antasari bukan pion, tetapi dia harus menghadapi risiko itu ketika konstelasi kekuasaan tak berpihak padanya. Kisah kisah lain ada lagi, seperti Soekarno dan Soeharto menghadapi 'ujian' serupa. Mereka menjadi korban dari sebuah konspirasi lancung. Untuk kepentingan hegemoni rezim meski telah menjadi sekutu terkadang masih saja dikorbankan. Ingat tragedi G 30 S PKI, kurang apa Soeharto tunduk atas 'skenario' Amerika akhirnya tak ditolong, sebaliknya dibiarkan menjadi martir zaman.
Sejarah adalah cermin, tengara dan sekaligus monumen, meski datangnya selalu belakangan. Di sini kita bisa belajar tentang Soekarno. Pernah menjadi anak binaan Amerika untuk ambisi ambisi mereka menghadapi perang dingin ketika itu, tokh akhirnya dibiarkan tumbang. Drama G 30 S PKI adalah skenario besutan Paman Sam tetapi sang sutradara adalah pengecut zaman paling wahid.
Tragi-komedi lain menyeret BJ Habibie dalam kasus Timor Timur. Keputusan itu tentu tak datang sendiri dari benak sang ahli pesawat. Artinya keputusan itu didasari pertimbangan dan situasi politik global yang ada. Bisa saja opsi lain dipilih, namun kebijakan itu tidak menguntungkan Indonesia.
Memaknai fragmen fragmen sejarah itulah pelajaran yang bisa dipetik dengan mendasarkan pada kristalisasi kemudian tidak lepas dari brutus brutus atau sengkuni zaman. Soeharto ‘terpaksa’ atau dipaksa naik tahta kembali tidak luput karena afirmasi politik partai Golkar. Harmoko yang menjadi Ketua Umum menyatakan ‘Anak Godean’ itu mesti maju lagi. Berandai andai saja jika Harmoko tidak menjadi penjilat sejarah perjalanan republik ini akan lain cerita.
Itulah takdir sejarah, atau mungkin bisa juga karma sejarah juga. Orang saat menggengam kekuasan seringkali lupa. Soeharto telah hidup melampaui mimpinya. Namun lukisan yang ditorehkan mengingkari alur yang telah dirumuskan dalam benaknya. Pesona semu akibat kelindan para kroni yang mengelilingi dengan bisikan bisikan sesat membawa petaka sebegitu rupa.
Nah, kembali napak tilas kasus Antasari, Nasrudin Zulkarnain dan Rani Juliani adalah wajah lain dari drama zaman. Sang dalang adalah tokoh yang menahkodai kapal bangsa. Dia tidak tunggal namun merepresentasikan rezim yang berkuasa saat itu. Atas nama kekuasan kiat kiat busuk seringkali dilakukan. Siapa mereka sesungguhnya sang waktu akan menjadi pengadil dan memberi jawaban pada saatnya.
Kasus Anggie adalah kotak pandora dan bisa jadi juga tengara. Sebagai entitas politik Partai Demokrat adalah magnitude fenomenal ketika itu. Anggelina Sondakh juga Anas Urbaningrum menjadi wajah sekaligus etalastik simbolik partai penguasa. Harus diakui partai ini sejak awal berdirinya, bahkan sampai detik ini tak lepas dari kontroversi kontroversi yang mengiringi.
Salah satu portofolio yang layak menjadi bench mark adalah suksesnya menghantarkan SBY – Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden. Keberhasilan itu adalah sukses story yang menjadi catatan emas. Bahwa kini partai yang diracik politisi politisi brilian, seperti Vincent Rumangkang membawanya terdepak sendiri dari oleh putra terbaiknya adalah tragi-komedi yang lain.
Menyitir buku George
Tentang rezim Cikelas untuk menyebut klan SBY, George J Aditjondro dalam bukunya ‘’Membongkar Gurita Cikeas, di Balik Kasus Bank Century’’ membeber praktik lancung terkait upaya melanggengkan kekuasaan dengan mobilisasi kapital lewat cara cara tak semestinya. Mafioso Cikeas, begitu mantan wartawan Tempo ini menyebut, telah menjalankan skenario besar, tersembunyi dan berbahaya. Salah satu praktik yang dilakukan antara lain aksi korupsi besar-besaran yang membuat puluhan proyek strategis nasional era SBY mangkrak.
Megaproyek dengan dana jumbo gagal dan akhirnya mangkrak tak terurus di mana mana. Hambalang yang paling terang benderang, kemudian ada kasus PLN dan proyek Jembatan Merah Putih di Ambon, juga beberapa proyek tol di Jawa.Proyek proyek itu adalah sisa sengkarut yang tak tuntas, beruntung Jokowi mampu membersihkan piring piring berserakan hajat rezim sebelumnya.
Luar biasa, inilah tragedi korupsi terbesar sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Ada yang kebablasan bahkan sang besan, yakni Aulia Pohan tak luput terenggut karut marut yang ada. Kisah SBY adalah cerita tentang profil tentara yang luar biasa. Predikat reformis TNI, juga ambisinya menjadi pemimpin besar adalah narasi yang belum tutup buku. Tragisnya ketika kejayaan mulai meredup ikhtiar menegakkan benang basah nekad dilakukan. Sang putra, AHY terpaksa, atau dipaksa mundur dan memungkasi karier militernya, dengan pangkat Mayor.
AHY ibarat 'anak kecil' yang terpaksa atau dipaksa tampil menjadi penerima estafet kepemimpinan. Demokrat adalah kawah candradimuka penempaan. Baiat menjadi "raja kecil" di partai politik tak luput dilakukan demi syahwat kekuasaan. Naiknya AHY menjadi nahkoda partai berlambang Bintang Segitiga menyulut sejumlah kontroversi, di antaranya mencuatnya kekecewaan senior yang terlibat pada awal pendiriannya.
Cap politik dinasti akhirnya tak bisa ditepis setelah AHY naik 'panggung'. Tidak itu saja, kontroversi yang sempat mencuat adalah rumor tentang kebijakan bau amis, yakni tentang upeti untuk masuk pusaran inti, seperti menjadi pengurus partai. Aroma tak sedap yang marak menjadi isu publik seperti 'kewajiban' daerah harus memikul beaya perhelatan ketika AHY safari dalam jumlah yang fantastis.
Praktik itu, meski dibantah elit Demokrat, namun imbas dan korbannya ramai ramai memberikan kesaksian. Mereka yang menjadi korban,karena janji janji yang terlewat akhirnya buka suara. Ada yang geram karena dicoret oleh DPP dan digantikan oleh kader lain. Anehnya sang pengganti adalah mereka yang sudah dikalahkannya dalam perhelatan Musda dan Muscab. Kasus inilah yang menjadi semacam konfirmasi ada praktik praktik tidak demokratis di rumah demokrasi itu sendiri.
Suaranya nyinyir jadilah lelucon demokrasi ala Cikeas. Fit and proper test untuk para calon Ketua DPD/DPC dilakukan tidak pada saat menjelang atau sebelum Musda/Muscab melainkan setelah Musda/Muscab, lalu apa artinya Musda/Muscab?
Ada tudingan lain yang cukup serem juga adalah main mata partai besutan SBY ini dengan kelompok tertentu. Siapapun yang melek politik di negeri ini tentunya tahu, bahwa Partai Demokrat telah dijadikan bunker mereka yang kecewa pada Gerindra dan PKS. Mereka yang semula menginginkan Gerindra dan PKS menjadi 'pemberontak' penguasa atau pemerintah kecewa. Puncaknya adalah ketika sang patron, yakni Prabowo justru bergabung dengan Pemerintahan Jokowi.
Kekecewaan itu menyegarkan ingatan tentang Penyeru Lebaran Kuda, dan yang pernah nyaris sukses besar membenturkan ummat Islam garis keras dengan kaum nasionalis yang mendukung Jokowi dan Ahok. Sang Penyeru Lebaran Kuda sadar akan potensi gelombang perlawanan dahsyat kaum preman berjubah itu terhadap Pemerintahan Jokowi, maka ia rawat terus menerus kekuatan politik demikian untuk suatu ketika kembali ia benturkan.
Kini muncul tiupan trompet Anggie, meski tak lantang-karena belum banyak yang menggoreng- membuat dahi mereka berkerut. Apalagi tokoh yang juga menjadi momok, Antasari Azhar, Nazarudin, Anggelina Sondakh, dan tak lama lagi Anas Urbaningrum juga keluar dari penjara, jelas membuat nyali mereka kethar ketir. Bagaimana babak kejut ketika mereka berempat membeber lembaran lembaran puzzle yang jadi misteri. Inilah pandora zaman, dengan sihir politiknya, yang bisa jadi akan melahirkan tsunami politik baru, atau bahkan menjadi bom nuklir bagi petualangan politik rezim Cikeas.
Dapatkah gelombang ombak dapat dilalui dengan selancar elok, atau sebaliknya karma zaman hadir sekaligus menjadi malaikat pencabut nyawa.
Jayanto Arus Adi, Pemimpin Umum RMOL Jateng, Tenaga Ahli Komisi II DPR RI, Dewan Pertimbangan dan Mahasiswa S3 Universitas Negeri Semarang, Ketua Bidang Kerjasama JMSI dan Aktif di Satu Pena Indonesia.
Tulisan merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili lembaga atau institusi.
- Pak Lutfi..Pak Lutfi...Tenang Saja, Saya Sudah Di Sini!
- Duuuh, duuuuh... IDI, IDI...
- Kongres PDI-P (Terancam) Diawut-Awut, Retret (Nyaris) Disabot