Kembalinya Alun Alun Semarang

"Memiliki Setelah Kehilangan. Ya, seperti ditinggal mati orang yang dicintai duka itu begitu menyita. Tapi perasaan memiliki setelah kehilangan bisa terjadi untuk wujud yang lain. Hilangnya alun alun Semarang tak terhitung, siapa yang terisak, duka, ratapannya terjadi hingga turun temurun. Mereka itu berteriak, tapi tanpa suara, mengadu tapi buntu. Yang terjadi hanya pasrah. Kembalinya Alun Alun Semarang dimaknai dalam konteks yang luas. Spiritual menjadi pondasi. Namun yang lebih hakiki ikhtiar ini adalah jejak abadi yang akan dikenang melintasi batas waktu dan zaman."


Kota tanpa alun alun adalah seperti manusia tanpa wajah. Alun alun dalam konteks utuh menjadi bagian dari konstruksi zaman dan wajah peradaban. Istilah Jawa inilah ‘RAI’. Jadi bayangkan ketika suatu waktu, wong Semarang itu pernah menjadi  ‘menungso tanpo rai.' Artinya sama saja ganjil, cacat, des tak seimbang, pincang, tapi hidup harus dijalani. 

Nah, dalam terminologi yang nyata, konteks di atas saya ingin merelasikan benang merah keberkahan besar, yakni ‘Kembalinya Alun Alun’ Semarang. Magnitude itu yang telah menjadi episentrum peradaban, sejarah juga jatidiri dan sekaligus tetenger filosofis sebuah ‘perdikan’ karya agung Ki Ageng Pandanaran telah kembali. 

Semarang merunut akar etimologinya dari kata ‘Asem Arang’ yang didirikan Ki Ageng Pandanaran I atas titah Raden Patah mengemban tugas dari Sunan Kalijaga merupakan sejarah panjang. Kota pada galibnya merepresentasikan empat pilar penyagga, yakni pusat pemerintahan, masjid dan alun alun. Tiga aspek itu merupakan kunci, dan sekaligus menjadi manifestasi bagaimana pemimpin berelasi dengan rakyat, dan menjaga laku spiritual.

Kehadiran Belanda yang bercokol untuk waktu yang lama menghadirkan entitas baru, yakni penjara dan pecinan sebagai pusat perdagangan.  Dalam terminologi Jawa alun-alun dimaknai sebagai ‘latar’ ombo-jembar menjadi ruang terbuka mewadahi berupa rupa interaksi. Seperti sudah disebut di atas, lazimnya Kota di Jawa, menilik akar historisnya selalu beriringan dengan tiga aspek sentral, yakni pusat pemerintah, masjid dan alun alun.

Pertama pusat pemerintan, yang menjadi ruang bagi aktivitas pemerintahan itu sendiri. Kedua adalah Masjid, menjadi kesatuan utuhnya sebuah kota, maka tidak jauh dari pusat pemerintahan dibangun atau berdiri masjid, sebagai pusat ibadah. Eksistensi alun alun, inilah ruang rakyat berkumpul, untuk dekat dengan pemimpinnya. Mereka marak sebo juga secara kultural simbolik adalah panggung kebersamaan manunggaling pemimpin dengan mereka yang dipimpin.

Penjara, kemudian pecinan subsistem yang diintroduksi Belanda. Artinya keberadaannya hadir, mengiringi termasuk bagian dari transformasi peradaban kolonial yang memiliki wajah anomali. Syahwat kekuasaan membiakkan perasaan takut dan lain sebagainya sehingga penjara menjadi penting, yakni menjadi symbol pressure terhadap perlawan, juga aktualisasi diri.

Menilik catatan sejarah ini, kita menyaksikan Kota Semarang sempat mengalami disorientasi terkait jatidiri atau identitas ketika alun alun Semarang dipotong, dipenggal, dijagal, mati. Landmark, tetengger yang juga merupakan wajah, atau ‘RAI’ sempat lenyap. Latar jembar yang menghampar di Depan Majid Besar Kauman Semarang sempat hilang, dan tragisnya diubah menjadi pasar. 

Hilangnya alun alun Semarang, dalam konteks di atas secara historis juga kultural merupakan petaka, untuk tidak menyebut sebagai tragedi. Hilangnya alun alun Semarang itu sendiri terjadi entah atas inisiatif siapa, apalagi lantas menjadikan pasar di atasnya. Ini pelajaran yang sangat berharga, bagaimana etos spiritual dapat diubah kepentingan pragmatis belaka. Kesalahan sejarah yang tidak boleh terulang lagi. 

Entah sudah berapa puluh tahun landmark, tetenger, dan sekaligus wajah yang menjadi identitas Kota Semarang itu hilang. Ingatan publik mungkin nyaris melupakan, namun generasi tua yang sempat mengetahui ikhawal keberadaan alun alun pasti merasakan nestapa, juga sesak dada yang menjadi luka sosial. Hadirnya kembali alun alun menjadi momentum yang luar biasa. 

Renaisance baru bagi Kota Semarang. Romantisme, kenangan, dan mozaik sejarah, dengan peradaban yang mengiringi, kini terangkai kembali. Respon publik lebih khusus penggiat perkotaan pasti menyambut suka cita. Euforia ‘wong Semarang’ juga tampak. Kebuntuan yang selama ini mampet, deras mengalir seperti air bah.  Saya membayangkan Idul Fitri nanti, ketika Sholad Ied dapat dihelat di alun alun itu, ribuan malaikat turun mengaminkan doa mereka yang mengumandang di sana.

Hakikat kota tidak sekadar jejak-jejak yang dibangun pendahulunya yang boleh dibiarkan berubah sekenanya apalagi sampai mematikan kehidupan yang ada. Spiritualitas, kebudayaan adalah kehidupan sendiri yang melengkapi olah ragawi sebuah peradaban.  Merawat kota tak ubahnya merawat ingatan, mereka yang tak punya ingatan masa lalu, tidak punya sejarah adalah gila.

Beruntung dan patut disyukuri serta dimanifestasikan secara nyata ikhtiar Walikota Semarang Hendrar Prihadi.

Komitmennya sebagai orang nomor satu di ibukota provinsi Jawa Tengah menjadi monumen yang sangat bermakna. Hendi,  termasuk tokoh langka di zaman seperti sekarang ini. Apalagi tidak hanya alun-alun yang direvitalisasi menjadi ruang publik. 

Sebagai catatan patut ditorehkan di sini adalah kegigihannya membangun fasilitas publik untuk warga Kota Semarang. SPBU Pandanaran misalnya, sekarang molek menjadi taman eksotik dengan ornamen khas Warak Ngendok. Taman Pandanaran adalah oase bagi mereka yang perlu suasana teduh untuk rehat di tengah bisingnya Semarang sebagai metropolitan baru.

Tidak hanya di Kawasan Pandanaran suasana teduh dapat dirasakan. Hendi juga memoles Kawasan lain, seperti Taman Piere Tendean, juga Kota Lama, kemudian Tirta Agung di daerah atas. Sekali waktu sempatkan diri untuk menikmati eksotisme Kota Lama.  Kawasan yang dulu terkenal ‘slum', dengan stigma lain yang kurang sedap, lahir kembali dan menjadi destinasi wisata unggulan.

Menyusuri Kota Lama identik menyegarkan ingatan tentang sebuah masa. Intuisi kita melambung seraya melukis mimpi baru Semarang. Nuansa juga astmosfir inilah yang dirasakan memberikan energi dengan elan kreativitas yang mengikuti. 

Kembali ke alun alun Semarang, dan kemudian berangkai dengan revitalisasi yang lain, seperti Museum Kota Lama di Kawasan Jurnatan, kita perlu menenggok Kawasan Simpang Lima. Jantung kota yang sempat kehilangan roh spiritual lantaran ‘kawah candradimuka’, yakni Masjid Besar Baiturrahman,  terlalu banyak dipasung untuk kepentingan kepentingan ‘duniawi’ kini hadir lebih utuh sebagai rumah spiritual.

Menapaki jejak demi jejak itu kita merasakan kepribadian,  juga jiwa bagaimana Kota ini dihela.

Meneguhkan jejak- jejak yang tidak sekadar menjadi tapak bisu karya Hendi adalah pahatan peradaban yang  sungguh patut diapresiasi. Tak banyak pemimpin memilih jalan sepi untuk menghidupi Kotanya.

Membangun Kota, merevitalisasi bangunan bangunan, menyemai taman, juga memberi ruang bagi seniman, atau budayawan adalah teladan yang mampu menjadi obor. Tidak saja di tengah ramai, tapi juga sampai wilayah pinggiran, merupakan unjuk pengabdian sepi ing pamrih. 

Sebagai sesanti seperti Ibrahim membangun Kabah, langkah kecil juga dilakukan seorang Hendi. Dia memang tak sedang menjadi Bandung Bondowoso, namun Jemaah Masjid Kauman yang selama ini tersisih karena alun-alunnya hilang, mereka akan bicara. Khalayak yang merasa asing dengan Masjid Besar Baiturrahman karena sekat sekat geliat bisnis yang lebih menonjol,  membuat karya agung itu mengalami degradasi. Bersyukur sekali pilar- pilar yang menjadi wajah dan jatidiri kota pelan pelan kembali hadir. 

Di Catatan ini,  saya bersaksi juga ikut memilin doa, untuk Mas Hendi, Walikota sederhana, karya Anda ibarat busur peradaban. Sejarah akan mencatat dan menjadi obor, pelita zaman. Menukil sedikit pesan anak tukang kayu yang kini menjadi presiden, Jokowi – membangun infrastruktur adalah pengungkit yang melahirkan mimpi di siang hari. Mereka tidak tidur tapi bekerja keras untuk mewujudkannya. Terima kasih Pak Hendi, Anda telah ikut andil besar  menyalakan harapan besar yang menerangi zaman. Amazing, Tabik !!!

Jayanto Arus Adi,  Pemimpin Umum RMOL Jateng, penggiat di Satu Pena Indonesia, Dosen dan Mahasiswa Program Doktoral Unnes. Ketua Jaringan Media Siber Indonesia-JMSI. Pokja Hukum Dewan Pers, Tenaga Ahli Komisi II DPR RI, Konsultan Media dan Komunikasi. 

Tulisan adalah opini pribadi, dan tidak mewakili lembaga dan institusi yang ada.