Real Battle Ground Pemilihan Gubernur Jawa Tengah

Real Battle Ground Pemilihan Gubernur Jawa Tengah
Real Battle Ground Pemilihan Gubernur Jawa Tengah

Pemilihan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) menunjukkan eskalasi mendaki begitu tajam dalam minggu-minggu ini.


Kepastian mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), Jendral Andika Perkasa, turun gelanggang melahirkan tsunami perubahan konstelasi politik. Ada adagium di dunia politik berlaku teori Paretto, yang tampak di permukaan bukanlah realitas yang sesungguhnya. Di balik kekuatan yang tampak masih ada kekuatan lain yang lebih dahsyat.

Pergolakan, konstraksi politik dan meritokrasi yang terjadi menjadi testemoni politik secara simbolik. Di permukaan Andika–Lutfi saling memuji, namun manuver dan gerilya masing masing tak pelak memicu keterbelahan. Lutfi sejak awal menjadi calon, yang menurut suara-suara angin, direstui Istana. Itu pesan yang dipersepsikan publk. Afirmasi paling mutakhir adalah kehadiran Wakil Presiden (Wapres) Terpilih mendampingi ketika mendaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Tengah.

Sejumlah tokoh yang masuk di pusaran kekuasan berkelindan jalinan primordial serupa. Jokowi sejak awal kepemimpinannya mengendors tokoh tokoh yang memiliki jejak pengabdian di Solo. Secara psiko-sosiologis argumentasi ini dapat diterima lantaran chemistry personal penting untuk sinergi yang lebih utuh. Artinya langkah langkah Lutfi secara tersirat dan tersurat ada restu Istana.

Sampai di sini mengapa muncul nama Andika Perkasa di Pemilihan Gubernur Jateng? Kita ingat ketika itu sempat muncul juga nama Sudaryono. Ketua Gerindra Jateng ini masuk orbit karena endorsement Prabowo Subianto. Mas Dar, panggilan akrab tokoh kelahiran Grobogan, sempat menggalang komunikasi dan masif dan membangun dukungan di mana mana. Sayang dia balik kanan lantaran ditarik ke Jakarta menjadi Wakil Menteri Pertanian.

Jika kontestasi keduanya dibiarkan rivalitas Lutfi-Mas Dar pasti akan terus terjadi. Karenanya penunjukan orang kepercayaan Hashim Djojohadikusumo, tokoh sentral Partai Gerindra, menjadi simbol Mas Dar telah diselesaikan. Istana atau Pak Lurah sudah mempunyai policy seiring terkait pencalonan Sudaryono.

Jika Pak Lurah dengan Prabowo dipersepsikan telah telah mengikat haluan yang sama, kini bagaimana dengan Andika Perkasa? Matematika politik di ranah Pemilihan Gubernur perlu kita urai secara anatomis. Kalkulasi ini tidak dapat serta merta dipijakkan pada fenomena Jawa Tengah. Namun Jawa Tengah perlu diposisikan pada bauran konstelasi yang lain, yakni Daerah Khusus Ibukota (DKI), Jawa Barat (Jabar), dan Jawa Timur (Jatim).

Menjelang ke sini, mendekati pelantikan Presiden baru tampak bandul kekuasaan mulai bergeser. Kali ini Prabowo mulai pegang kendali. Sebagai Presiden Terpilih dengan portofolio begitu rupa, apalagi meraih dukungan suara begitu spektakuler, kini Prabowo berada di pusaran inti.

Bagusnya Prabowo, dia prajurit sejati dan tahu kepada siapa membalas budi. Loyalitas putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo ini pada Jokowi tidak akan pernah tergoyahkan. Prabowo sadar, Prabowo mengerti Jokowilah orang yang mengembalikan harkat dan martabat melebihi siapa pun. Jokowi adalah orang yang memberi kepercayaan Prabowo menjadi orang nomor satu di Kementerian Pertahanan (Kemenhan).

Ingat, di Kantor Kemenhan yang sama itulah tokoh cemerlang, berprestasi, jendral bintang tiga bernama Prabowo Subianto akhirnya dilucuti menjadi orang sipil biasa. Betapa sakitnya sang Presiden Terpilih ini kala itu. Dunia runtuh. Terlebih sebelumnya dia dipaksa juga meninggalkan istri tercinta Titiek Hediati Soeharto lantaran selip paham yang kini berangsur terbuka tabirnya.

Perjalanan hidup, pengalaman, dan alam menempa Menteri Pertahanan Kabinet Joko Widodo ini.

Memijakkan hitam putih perjalanan hidup dan perjuangan panjang yang biasa Prabowo telah menjadi tokoh dengan pribadi yang kuat dan teguh. Pesan-pesan dalam pidatonya saat Kongres Partai Nasdem menjadi representasi sekaligus legacy sikap kenegarawanan dan memberi petunjuk demokrasi negeri ini akan dibawa.

Perubahan sikap sejumlah parpol, seperti PKS, PKB, dan Nasdem terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI menjadi indikator simbolik yang perlu kita cermati, dalami serta direnungkan mendalam. Politik pada intinya adalah ikhtiar menjemput kekuasaan. Melihat tren koalisi yang berkembang ke mana muara demokrasi dalam konteks Pilkada akan dilabuhkan, kini kita setidaknya sudah dapat meraba.

Tidak akan ada lagi battle ground (medan tempur) berdarah-darah, baik itu di Jawa Tengah, DKI, Jawa Barat, dan juga Jawa Timur. Banten dan DIY tidak saya sebut di sini karena komplikasi persoalan punya kadar dan kharakter yang berbeda. Namun, sekali lagi untuk Jawa Tengah, DKI, Jabar dan Jatim siapa-siapa yang bakal menjadi pemenang tidak terlalu sulit untuk meraba.

Kontestasi-kontestasi di sana dapat dibaca adalah bidak catur yang sedang kita tonton permainannya. Mari kita sama sama cermati apakah permainan tersebut sesuai dengan hati nurani kita? Menurut hemat saya Jawa Tengah menjadi palagan penting untuk Pak Lurah, juga Mak Banteng. Ini artinya Ahmad Luthfi harus berikhtiar keras untuk dapat menandingi Andika Perkasa.

Ada teori Paretto berlaku di sini, Semarang lebih tepat dibaca Pemilihan Gubernur, tidak dapat bergerak atas maunya sendiri. Yang menentukan langkah Pemilihan Gubernur (Jawa Tengah) adalah Jakarta (Pusat). Dinamika yang terjadi terkait palagan Pemilihan Gubernur Jawa Tengah menjadi afirmasi atas kondisi ini. Pasang surut dukungan elektoral pada Ahmad Luthfi tidak luput karena tarik menarik di sini.

Jika Pemilihan Gubernur Jawa Tengah dilakukan hari ini (bisa jadi) Ahmad Luthfi, mantan Kapolda Jawa Tengah yang akan keluar sebagai pemenang. Namun, (bisa jadi) hasilnya akan berubah, atau berbeda jika dilakukan 27 November mendatang.  

Peralihan tampuk pemerintahan dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto adalah perubahan secara politis, diiringi pergeseran secara afiliatif di berbagai bidang. Juga perlu menjadi telaah khusus di sini adalah tragedi yang dialami Airlangga Hartarto dan Anies Baswedan. Tragis, tokoh sekaliber dia (Anies-red) akhirnya harus memakan karmanya sendiri.

Politik pada akhirnya memiliki dialektika untuk menuntaskan apa yang terjadi ketika telah melampui batas natas logika akal sehat. Retorika Anies dan narasi yang dibangun dengan artikulasi-artikulasi imajiner menjadi lubang kubur yang tak disadari.

Simak pelajaran yang dapat dipetik dari dielektika ini. Allah turunkan Nabi ketika jahiliah begitu bersimaharajalela. People power akhirnya tumpah dan lahirkan kekuatan rakyat ketika otoritarianisme begitu memasung. Ratu Adil akan datang manakala kejahatan dan angkara murka semakin membabi buta.

Memijakkan pada kecenderungan di atas, kembali pada kontestasi Pemilihan Gubernur kristalisasi telah terjadi. Mari kita beradu kalkulasi, Jawa Tengah pada akhirnya akan kembali menjadi kandang apa? Akankah banteng banteng yang mbedal akan kembali? Siapa lebih mendapat simpati rakyat, Ahmad Luthfi ataukah Andika Perkasa? Mantan Kapolda Jawa Tengah ini perlu belajar keras dari pengalaman Ganjar Pranowo.

Bagaimana ketika popularitas Ganjar Pranowo nyaris tidak terbendung, dan saat itu pulalah yang kemudian membuatnya lupa daratan. Ganjar ketika itu lebih fokus bergerilya pada Pemilihan Presiden (Pilpres) ketimbang menuntaskan mandatnya sebagai Gubernur Jawa Tengah.

Saat berada di puncak popularitas Ganjar terkesan angkuh dan sombong bagai tidak memijak bumi. Siapa yang tersakiti dan siapa yang kemudian tidak bersimpati padanya publik punya refleksi dan membukukan pada hatinya masing masing. Tidak masuk akal sang tokoh yang begitu populer raihannya tidak lebih dari angka 16.7%.

Setali tiga uang, sikap lancung dan angkuh dipertontonkan Anies Baswedan. Anies tak ubahnya Maling Kundang yang mempermalukan sang patron (Prabowo) di arena debat calon presiden (Capres). Lebih tragis lagi, saat debat itu mereka berdua bersengkongkol dengan memberi nilai 5 dan 11 terhadap Prabowo Subianto tanpa basa basi. Ledakan amarah Prabowo terkunci meledak menjadi palu godam yang menghancurkan nasib Anies sendiri juga Ganjar. Begitulah alam. Dia akan menjadi energi absolut ketika batas-batas kemanusiaan sudah diterabas begitu rupa.

Lihat juga bagaimana gemeretak amarah Jokowi meledak menjadi bom nuklir terarah pada Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan ketika sang Ketum mengatakan, “Pak Jokowi itu yo ngono. Padahal Pak Jokowi andai tidak ada PDI Perjuangan, kasihan deh”.

Kini, memaknai realitas di atas, kita mencoba bijak, hikmat apa yang dapat dipetik untuk bangsa dan negara ke depan. Prabowo telah memberi keteladanan luar biasa dalam konteks ini. Andai Perjanjian Batu Tulis itu ada, Prabowo tak pernah sekali pun menggugatnya. Dua kali kalah di palagan Pilpres, dia telan meski pahit sekali rasanya.

Yang luar biasa, pada periode kedua Jokowi, dia mengorbankan egonya bergabung di Kabinet seterunya tersebut. Kebesaran jiwa yang tidak ada takaran untuk menilainya. Kita perlu menaruh respek dan memetik pelajaran hidup terdalam dari semua ini.

Jayanto Arus Adi, Wartawan Senior, Ahli Pers Dewan Pers dan Ketua Bidang Pendidikan Jaringan Media Siber Indonesia IJMSI) Pusat. Pemimpin Umum dan Redaksi RMOL Jawa Tengah. Aktif mengajar Jurnalistik di beberpa perguruan tinggi. Saat ini sedang menempuh program doktoral di Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Semarang.

 

Tulisan dan opini di atas merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili atau merepresentasikan lembaga atau institusi yang ada.