Suara Gubernur adalah Suara Tuhan

Selamat Datang Penjabat Penjabat Kepala Daerah (4-habis)

Catatan ini adalah seri keempat menjadi penutup catatan-catatan sebelumnya sebelumnya. Kebijakan atau lebih tepat penunjukkan penjabat penjabat kepala daerah adalah produk dari sebuah transisi. Demokrasi bagaimana pun baiknya, tetap saja mencuatkan sisi lemah. Faktor demografis menjadi instrumen yang tidak dapat ditutup-tutupi.


Pemilihan Kepala Daerah, kemudian Pemilihan Calon Legislatif, bahkan Pemilihan Kepala Desa sekalipun menghadirkan sisi gelap, yakni politik uang. Prof Dr Azyumardi Azra dalam sebuah dialog di Undip ketika itu, menyampaikan pandangan demokrasi kita melahirkan dua kutub rahim, pertama adalah kekuatan kapital, dan kedua adalah patronase.

Kekuatan kapital jelas, di sini muncul terminologi money talk. Uang yang bicara, tidak ada uang, tidak ada demokrasi. Menyederhanakan tesis ini mereka yang duduk di singgasana di antaranya karena daulat uang. Politik transaksional, dagang sapi menjadi konsekuensi logis secara sosial, karena jabatan yang diraih adalah buah dari investasi natura, bukan trahing kusumo rembesing madu.

Suara Gubernur Suara Tuhan

Memaknai kecenderungan di atas, maka mudah diterjemahkan mekanisme penunjukan penjabat menjadi wilayah abu abu, syarat dengan berbagai pertimbangan, atau lebih tepatnya kepentingan. Gubernur yang bijak akan memilih ASN dengan reputasi tinggi, memiliki kompetensi, dan aksesabilitas yang terukur. Merit system dengan menyandarkan portofolio kandidat dan bench mark secara akuntabel menjadi formula terbaik. 

Namun,  harapan itu secara ideal seringkali sulit diwujudkan karena ikhtiar untuk ke sana masih jauh api dari panggang. Vested interest dan kepentingan kepentingan yang berkelindan menjadi benalu birokrasi. Kalau demokrasi dipahami daulat rakyat adalah daulat publik, vox populi vox dei, maka dalam konteks ini yang memiliki semacam prerogatif adalah gubernur. Jadi "Suara Gubernur adalah suara Tuhan." 

Ungkapan “Vox Populi Vox Dei” muncul pada awal berkembangnya demokrasi modern, sejak revolusi Prancis. Semboyan ini sebetulnya hendak melawan semboyan klasik:  Vox Rei, Vox Dei (Suara Raja adalah Suara Tuhan). Semboyan ini merupakan prinsip dasar teokrasi dari bentuk pemerintahan monarki dimana Raja mendapatkan legitimasi dari klaimnya bahwa dia adalah wakil Tuhan di bumi. Dia tidak dipilih rakyat, tetapi diurapi Tuhan, dan kekuasaannya diwariskan secara turun temurun kepada keturunannya berdasarkan klaim itu. Karena itu, raja tidak pernah bertanggungjawab terhadap rakyat, tetapi terhadap Tuhan. Pada praktiknya, kekuasaan Raja itu absolut dan sewenang-wenang sehingga memunculkan protes dan revolusi dari rakyat. Raja beserta keluarganya dibunuh. Pada titik ini, kedaulatan rakyat betul-betul terwujud. 

Bagaimana dengan praktik demokrasi kita? Sungguhkah kedaulatan rakyat betul-betul terjadi? Maraknya money politics dalam pemilu tampaknya untuk sebagian menegaskan kedaulatan rakyat itu. Ternyata, tidak gampang mendapatkan dukungan rakyat. Uang dipakai sebagai cara ampuh untuk mendapatkan dukungan dari rakyat. Selain itu, rakyat bisa juga tidak memilih kembali wakil rakyat yang mengabaikan mereka selama 5 tahun yang sudah berlalu.

Sampai pada derajat tertentu, kedaulatan rakyat itu tampak memiliki batasnya. Karena suaranya sudah dibeli dengan uang saat pemilu, maka biaya politik menjadi sangat tinggi. Secara logis, sang politisi terpilih akan mengembalikan biaya politiknya sambil mencari untung sebanyak mungkin selagi menjabat. Di sini, rakyat tidak lagi diperhatikan: kedaulatan rakyat kalah di hadapan kedaulatan para wakilnya.

Jadi, demokrasi yang penuh dengan politik uang menerangkan dengan sangat jelas bahwa prinsip kedaulatan rakyat tidak betul-betul beroperasi. Kedaulatan rakyat beroperasi hanya pada saat pemilu, dan tidak pada saat selesai pemilu; fase di mana kerja politik-pembangunan mulai dilakukan. Mengapa politik uang masih marak terjadi? Tidak ada faktor tunggal tentang hal ini. Setidaknya ada beberapa alasan, yaitu: 

Pertama, secara ekonomi, masyarakat kita hidup secara pas-pasan. Ada kesenjangan sosial ekonomi yang cukup besar antara yang kaya (1%) dengan kelas menengah+ kelas miskin (99%). Pemberian uang dalam jumlah yang cukup besar dari banyak kontestan pemilu sangat menolong mereka. 

Kedua, dunia politik kita dipenuhi broker/mafia politik dari kelas teri hingga kakap. Mereka inilah yang sering mengklaim dirinya punya massa, mengondisikan massa itu dengan menjualnya dengan besaran harga tertentu kepada para kontestan yang notabene tidak punya massa yang cukup untuk memenangkan pertarungan. 

Ketiga, praktik broker politik yang sudah dimulai sejak reformasi bertahan terus sampai sekarang, sehingga seolah-olah itu menjadi kebiasaan dan terwariskan. 

Keempat, masyarakat kita tidak cukup peduli dengan pentingnya memilih para wakil rakyat yang betul-betul mau berjuang untuk kepentingan mereka. Ini sedikit banyak terjadi karena masyarakat dijadikan sebagai massa mengambang selama orde baru; tidak ikut aktif berpartisipasi dalam pelbagai kebijakan publik, dan lebih berperan sebagai penerima pasif keputusan politik yang dibuat penguasa. Jadi, kesadaran politiknya tidak benar-benar mendalam. Kesadaran berpolitik hanya tampak kuat ketika memilih para wakil dan pemimpin di bilik suara. Itu pun setelah disuap dengan uang. 

Demokrasi hanya akan berjalan dengan benar bila masyarakat sungguh terlibat dalam pengambilan setiap kebijakan publik. Itu bisa dilakukan melalui para wakilnya. Namun, hal itu tetap hanya menjadi impian jika para wakil terpaksa harus menempuh jalur politik berbiaya tinggi seperti sekarang. Bagaimana politik uang bisa dihapuskan? Revolusi mental mungkin bisa memberi jawaban, sambil tetap sistem demokrasi termasuk pengawasan pemilu terus dibenahi agar semakin transparan, jujur, bebas, adil dan menyejahterakan rakyat banyak.

Namun, dalam konteks ini karena publik tidak memiliki, karena memang aturannya tidak ada sehingga akses itu tertutup. Jadilah penentu kebijakan, meski sesungguhnya tarik menarik terjadi namun secara dominan gubernur, sesuai koridor yang ada menjadi penentu kebijakan sentral. Artinya ketika publik ingin menanyakan, mengapa orang orang yang tak populer, portofolio sebagai bench mark untuk menentukan pilihan, sejalan dengan akuntabilitas dan manajemen modern menjadi berjalan tidak maksimal. 

Mereka Lebih Memiliki Jam Terbang

Sejumlah nama seperti Jarwanto Dwiatmoko, Ikhwan Sudrajad, Urip Sihabudin, Arif Sambodo,  menurut hemat saya, lebih memiliki jam terbang. Prestasi mereka tidak kalah dengan Sinoeng dkk yang mendapat kepercayaan Gubenur menjadi penjabat di putaran pertama. Inilah yang menjadi pertanyaan publik, mengapa nama nama di atas tak masuk dalam pilihan Ganjar. Apalagi figur seperti Edy Supriyanto, dan Tri Harso Widirahmanto, mencermati kiprah dan rekam jejaknya secara digital, saya tidak menemukan prestasi monumental.

Siapa Edy Supriyanto dan bagaimana kiprah juga karier pengabdiannya sebagai ASN, boleh jadi tidak banyak yang mengikuti. Ia lahir 4 Mei 1965 di Kabupaten Jepara. Edy juga menghabiskan masa mudanya hingga lulus SMA. Setelah lulus dari SMAN 1 Jepara, Edy baru keluar kota dan menjadi ASN sejak 1988. Ia mengawali karirnya menjadi Kasi Terminal Antar Kota Provinsi Jateng, Kasi Angkutan Dalam Trayek, Kabag Kepegawaian dan Ortala, dan Kasubag Penanggulangan Bencana.

Edy juga pernah menjadi Kepala UPP Wilayah Banyumas, Kepala UPP Wil Pekalongan, Kadis Komunikasi dan Informatika Dishubkominfo Jateng, dan juga Kabag Rumah Tangga Setda, dan Kepala Biro Umum hingga Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah. Sebelumnya, Edy pernah ditunjuk menjadi Pj Sekda Rembang selama sembila bulan.

Kemudian menjadi Pelaksana harian (Plh) Bupati Rembang selama tiga bulan pada 2021. 

Faktor tersebut boleh jadi yang jadi pertimbangan Gubernur, di sisi lain, kepercayaan sebagian kalangan pada Edy juga berdasarkan tanah kelahirannya. Edy dinilai bisa memimpin Jepara karena tahu karakteristik masyarakat Jepara.

Siapa Tri Harso Widirahmanto?

Kejutan mampir juga di Kepala Dispermasdes Jateng. Sang kepalanya, Tri Harso Widirahmanto ditunjuk menjadi Pj Bupati Banjarnegara. Pengangkatan Plt Banjarnegara ini seiring dengan berakhirnya masa jabatan Bupati dan Wakil Bupati Banjarnegara 22 mei 2022 agar roda pemerintahan tetap berjalan. 

Sebelumnya, roda pemerintahan Kabupaten Banjarnegara dipimpin oleh Syamsudin yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Bupati mendampingi Bupati Budhi Sarwono. Syamsudin ditunjuk menjadi Pelaksana harian (Plh) Bupati Banjarnegara sejak September 2021 setelah Budhi Sarwono ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.  

Bintang baik berpihak pada sosok Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Desa, Kependudukan dan Pencatatan Provinsi Jawa Tengah ini. Betapa tidak,  di pos tersebut dia terbilang baru, yakni persisnya 11 Februari 2022 lalu. Tri Harso Widirahmanto ditunjuk untuk menggantikan kepala daerah Kabupaten Banjarnegara periode 2017-2022 yang telah berakhir masa jabatannya pada 22 Mei 2022. 

Selain karier secara birokratis prestasi Tri Harso tak banyak yang bisa dilacak melalui jejak digitalnya. Karenanya tampilnya Kepala Dispermasdes ini membuat publik kaget juga. Gubernur sendiri sebelum melantik menyampaikan para penjabat akan terus dievaluasi. Ganjar Pranowo juga secara khusus berpesan mereka membuka akses publik agar masyarakat mudah berkomunikasi. Salah satu yang diminta adalah untuk menyebarkan nomor telepon yang dapat diakses masyarakat.

Ganjar juga bakal mengevaluasi kinerja para penjabat itu setiap tiga bulan sekali. Pesan Gubernur itu menjadi tengara, dan publik dapat menjadi stakeholder pendukung bagi berjalannya pemerintahan. Artinya ketika Penjabat Penjabat Kepala Daerah yang diberi amanah tak becus menjadi pamong dan pemimpin tiga bulan menjadi ruang untuk mengevaluasi.

Suara rakyat adalah suara adalah suara Tuhan, semoga sesanti yang dicuatkan William dari Malmesbury abad XII mencerahkan masyarakat Jawa Tengah juga.

William berteriak mengkritik kebijakan RajaCaolus IX yang memerintah Perancis ketika itu. Intinya apa yang menjadi kehendak raja harus diikuti. Simbol absolutisme memun-cak pada Louis XIV, raja Prancis yang terkenal dengan diktum; L'etat c'es moi -- negara itulah saya. Sebagai bentuk perlawaan terhadap absolutisme, Alcunius menegaskan bahwa vox populi  - vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Nah, memijakkan pada fakta empiris, setiap kesewenangan dan keangkaramurkaan ketika kritik tak tedas lagi, maka alam yang akan bergerak. 

Untuk itu, pribadi pribadi yang mendapat kesempatan, dan kepercayaan menjadi pemimpin dapat memaknai dengan utuh, dan menemukan esensi yang benar dan sejati.

Jayanto Arus Adi, Pemimpim Umum RMOL Jateng, Direktur JMSI Institue, Penggiat Satu Pena Indonesia, Mahasiswa Program Doktoral Universitas Negeri Semarang dan Tenaga Ahli DPR RI.

Tulisan dan opini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili Lembaga maupun institusi yang ada.