Memaknai Pertemuan Prabowo-Megawati

Catatan Jayanto
Catatan Jayanto

Prabowo dan Megawati menjadi tokoh yang begitu sentral di republik ini hari-hari ini. Jagad politik kita dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir nyaris dihadapkan pada fenomena Prabowo-Mega.


Mendakinya perhatian publik terjadi pasca kelindan Prabowo-Jokowi menorehkan monumen tersendiri di palagan Pilpres. Jokowi-Mega yang sebelumnya menjadi representasi simbolik pemangku kebijakan mengalami sandyakala, lebih ekstrem meregang, meleleh, alias lumer.

Sengkarut relasi personal Jokowi dengan Sang Patron, yakni Mak Banteng mengalami kontraksi terjal bahkan menganga pada turbulensi akut. Siapa salah, siapa lancung, atau siapa menabur angin hingga bertiup badai, masing masing bergeming dengan egonya.

Mak Banteng sendiri selaku pemegang hak prerogatif Partai Moncong Putih jadi silap dalam konteks ini. Pernyataannya yang oleh beberapa pihak dinilai kontroversial, yakni ‘’Pak Jokowi itu ya ngono loh, mentang-mentang. Lah iya padahal Pak Jokowi kalau nggak ada PDI Perjuangan juga, duh kasihan dah,’’ memercikkan situasi anomali.

Situasi itu berekskalasi dalam balutan berbagai komplikasi politik melahirkan konstraksi yang belum berujung. Kelindan Megawati dengan Jokowi seperti menjelaskan mana lebih dulu ayam atau telur.

Jika sudut pandang kita memijakkan dari sudut Megawati maka memandang Jokowi sekadar Abdi Dalem. Namun tatkala kacamata itu diposisikan pada figur Jokowi, sebagai partainya Wong Cilik simbol itu ada di Si Tukang Kayu.

PDI Perjuangan perlu membuka jendela luas luas memposisikan partai itu di era seperti sekarang. Soekarnois atau ajaran-ajaran Soekarno adalah value yang tidak dapat diwadahi pada entitas partai politik. Karena Soekarnois adalah spirit, elan yang dikandung maksud untuk seluruh bangsa dan negeri dengan segenap tanah tumpah darah di dalamnya. Jokowi adalah Soekarnois, sama dengan Megawati, Puan Maharani, atau Prananda Prabowo.

Prabowo Subiyanto, Surya Paloh dan akademisi di kampus yang concern pada nilai-nilai kerakyatan dan memijakkan cara pandang berbangsa bernegara berdasarkan UUD 45 dan Pancasila adalah Soekarnois-Soekarnois yang lain.

Soekarnois adalah sesanti seperti yang dikumandangkan oleh Putra Sang Fajar itu sendiri, yakni berdaulat secara politik, mandiri secara ekonmi dan berkepribadian secara budaya. Kalau kita Islam jangan lantas menjadi Arab, kalau kita Hindu bukan menjadi India, atau kalau kita Katolik tidak semata-mata berkiblat pada Vatikan. Kita adalah Indonesia, dengan Bhineka Tunggal Ika, dari Sabang sampai Merauke, dari Mianggas sampai Pulau Rote.

Bangsa kita hari hari ini seperti sedang mengalami euforia yang kebablasan. Kebebasan Pers membuat kita pangling dengan kepribadian kita sendiri. Demokrasi bukanlah keterbukaan yang membuat kita menjadi telanjang. Demokrasi kita adalah demokrasi Pancasila. Seperti Kanjeng Sunan Kalijaga dan Wali-Wali menyemai syiar dengan penuh toleransi. Nukilan lirik tembang Ilir-Ilir gubahan Sunan Kalijaga memberi keteladanan melampui zamannya. Sunan Muria melarang pengikutnya menyembelih sapi karena sapi adalah dewa bagi pemeluk Hindu.

Jokowi meneladankan kepemimpinan yang berpijak pada kesederhanaan, Sikap manjing, ajur, ajer dia tunaikan sejak menjadi Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga menjadi orang nomor satu di negeri ini. Kepada para pengkritiknya Jokowi tidak menaklukkan, atau mengalahkan dengan pendekatan kekuasaan. Tetapi lebih mengedepankan pendekatan kumanis.

Prinsip prinsip Jawa, sepertu lamun siro landep aja natoni misalnya, dijadikan filosofi yang menjadi sandaran. Dalam falsafah Jawa berlaku sikap tidak kalah, tetapi ngalah. Ora keli, nanging ngintir dan falsafah-falsafah yang lain. Jokowi sebagai orang Jawa, yakni Solo paham betul akan norma-norma seperti itu.

Kontroversi tentang sosok Jokowi baru muncul akhir-akhir ini saja. Selama kurun waktu menjadi presiden nyaris tidak pernah terjadi gaduh-gaduh yang terjadi karena kebijakan Jokowi. Si Tukang Kayu lebih banyak menganut falsaf anut melu miline banyu. Andai Jokowi gegabah tidak menakar dan mengukur kemampuan yang dimilikinya, dia tidak akan mencapai puncak seperti sekarang.

Mencermati fakta empirik di atas muncul pertanyaan, bagaimana dengan Prabowo ke depan? Rasanya landau. Putra Begawan Ekonomi Soemitro Djojohadikusumo ini mempunyai referensi yang komplit. Kecerdasan yang dimiliki berada di atas rata rata orang Indonesia. Lebih dari itu Prabowo telah berguru pada Raja Solo. Belajar pada orang yang mengalahkannya dua kali adalah sebuah sikap kenegarawanan yang patut ditiru.

Ada pepatah If you can’t beat them, join them. Bagi Prabowo ungkapan itu bukan semata jargon, namun dia belajar dalam artian yang utuh dan sungguh sungguh. Berbesar hati untuk menerima kekalahan, dan belajar adalah spirit yang tersemat dalam di lubuk hati Prabowo.

Kisah Joko Widodo yang berbeda sikap dengan Gubernur Jateng, Bibit Waluyo ketika itu terkait Saripetojo Solo menjadi renungan yang menarik juga di sini. Kontroversi itu menjadi sebuah jamasan bagi si Tukang Kayu untuk menapaki jenjang pengabdian lebih tinggi.

Maaf, Bibit Waluyo ada nuansa angkuh menyikapi langkah Jokowi yang tidak lain sekadar Wali Kota Solo. Publik masih tergiang ucapan Bibit Waluyo ketika diminta tangapan ikhwal pencalonan Jokowi untuk maju menjadi DKI Satu.

Agar lebih arif dan bijak silakan kita masing masing mencermati jejak digital terkait kontroversi Jokowi-Bibit Waluyo. Sikap dan persepsi kita setelah membaca dan mendalami kembali konteks selisih sikap keduanya, kembali pada kita masing masing. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa ucapan, sikap dan perilaku kita akan menjadi rahim capaian capaian di kelak kemudian hari.

Bibit Waluyo telah memetik atas ucapan dan sikapnya kala itu. Seorang gubernur yang prestasinya kinclong, mantan Pangkostrad yang disegani, entah karena selip apa, dia kalah dengan pendatang yang tak dinyana, siapa lagi kalau bukan Ganjar Pranowo? Ganjar yang didampingi Heru Soedjatmoko sama sekali tak masuk di kalkulasi dapat menjadi Gubernur.

Logika politik dan akal sehat kecil peluang Ganjar-Heru dapat mengalahkan Bibit Waluyo. Namun takdir berbicara lain Bibit kalah, dan Ganjar terpilih menjadi Gubernur bersama Heru Soedjatmoko.

Selama menjadi Gubernur Jawa Tengah prestasi Ganjar sebenarnya landau-landai saja. Era Ganjar Jawa Tengah menorehkan prestasi buruk di ajang PON, persisnya PON XX tahun 2020 di Papua. Catatan merah lain tokoh berambut perak ada beberapa, seperti gagal mengatasi kemiskinan, meritokrasi birokrasi yang tak kinclong. Itulah periode pertama Ganjar, meski periode kedua dia terpilih lagi, tapi prestasi monumental tetap saja nihil.

Silaturahmi Politik

Hari-hari ini suasana politik nasional ada yang bilang baik-baik saja, tetapi ada juga yang mengatakan sebaliknya. Ada yang mengatakan Jokowi sukses menjadi Presiden Republik Indonesia VII. Namun, pihak lain yang kecewa, atau merasa tak diakomodir syahwat politiknya menilai Jokowi gagal, dan menjadi biang remuknya konstitusi, membuat KPK menjadi lumpuh dan sebagainya.

Yang menonjol hari-hari ini adalah konstaktasi relasi Jokowi dengan Megawati. Silang sikap terkait dengan Pilpres membuat hubungan Mak Banteng dengan Si Tukang Kayu, belakangan oleh Bahlil ditahbiskan menjadi Raja Solo meregang. Kedua tokoh itu hampir nihil berkomunikasi, baik langsung mau pun lewat mediator .

Cuaca mendung justru tampak menggelayut di langit republik, keduanya seperti berseteru. Apa pasal yang membuat turbulensi mencuat, tidak lain karena Jokowi tak mendukung Ganjar Pranowo di Pilpres lalu.

Legacy dan terafirmasi Presiden RI VII itu mempersiapkan mantan seterunya di Pilpres 2019, yakni Prabowo Subiyanto. Elok nian dan menghadir nuansa demokrasi yang luar bisa dalam perjalanan ke-Indonesiaan.

Sebenarnya kalau kita semua jujur yang menjadi ujung dari dinamika terjal proses demokrasi dengan muara Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024 lalu adalah dukungan Jokowi pada Prabowo. Gibran adalah kuda hitam dan lebih tepat kambing hitam. Sosok tengil mantan Wali Kota Solo yang notabene putra sulung sang Presiden adalah buah komplikasi politik.

Orang bilang Gibran lahir atau hadir di palagan Pilpres tidak pada timing yang tepat. Ibarat buah, ini belum musimnya. Wajar melahirkan surprise dan keterkejutan, tapi percayalah itu sifatnya sementara. Sama, ketika belum musim durian tiba-tiba kita disuguhinya. Seketika kita kaget, tetapi buah itu akhirnya dicicipi, dimakan dinikmati.

Fenomena Gibran adalah anomali serupa. Semua akhirnya kembali pada sang buah. Jika durian itu enak kita akan mencarinya, meski belum musim. Wahai Gibran semoga Wapres terpilih dapat membaca Catatan Jayanto ini. Setidaknya pesan pesan simbolik dapat menjadi katarsis mengarungi pengabdian sebagai RI 02.

Waktulah yang akan menjadi hakim atas eksistensi dan keberterimaan publik terhadap sang kontroversial ini. Dunia seringkali dibangun tidak selalu selaras dengan alur dan kehendak kita-kita sebagai pemahat. Karena pemahat yang maha utuh adalah Allah Yang Maha Kuasa.

Hari-hari ini yang kita tunggu dan harap menjadi pintu kebaikan untuk negeri ini adalah pertemuan antara Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megaweati Soekarnoputri dan Presiden terpilih yang juga Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.

Ada yang menyebut pertemuan antara Megawati-Prabowo menjadi salah satu agenda yang paling banyak dinantikan masyarakat. One of the most anticipated meetings di dalam konteks politik Indonesia pasca pemilu 2024.

Saya tidak ingin berandai-andai, apalagi berspekulasi dengan pertemuan tersebut. Satu hal namanya silaturahmi akan selalu melahirkan kebijakan. Pesan kecil semoga dapat menjadi sedikit enlightening pertemuan itu adalah harapan kita semua.

Prabowo adalah representasi kita semua juga, termasuk Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang disapih oleh Megawati sehingga tidak dapat bertemu pribadi. Hal yang sama menjadi harapan Joko Widodo yang dijothakke Megawati dan belum bertemu lagi, persuaan Mega-Prabowo menjadi oase bersama.

Selamat bertemu Pak Prabowo, berkenan ditanyakan, apakah dimasakkan nasi goreng lagi, juga sedikit disinggung Perjanjian Batu Tulis yang pernah menjadi semaian kebersamaan kala itu.

Perjanjian Batu Tulis

  1. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra) sepakat mencalonkan Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden dan Prabowo Subianto sebagai calon wakil presiden dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2009.
  2. Prabowo Subianto sebagai Wakil Presiden, jika terpilih mendapatkan penugasan untuk mengendalikan program dan kebijakan kebangkitan ekonomi Indonesia yang berdiri di atas kaki sendiri, berdaulat di bidang politik dan berkepribadian nasional di bidang kebudayaan dalam kerangka sistem presidensial. Pengumuman pencalonan calon presiden dan calon wakil presiden serta akan dituangkan dalam produk hukum yang sesuai perundang-undangan yang berlaku.
  3. Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto bersama-sama membentuk kabinet berdasarkan pada penugasan butir 2 di atas. Prabowo Subianto menentukan nama-nama menteri yang terkait, menteri-menteri tersebut adalah: Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Keuangan, Menteri BUMN, Menteri ESDM, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perindustrian, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Hukum dan HAM, dan Menteri Pertahanan.
  4. Pemerintah yang terbentuk akan mendukung program kerakyatan PDI Perjuangan dan 8 program aksi Partai Gerindra untuk kemakmuran rakyat.
  5. Pendanaan pemenangan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 ditanggung secara bersama-sama dengan prosentase 50% dari pihak Megawati Soekarnoputri dan 50% dari pihak Prabowo Subianto.
  6. Tim sukses pemenangan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dibentuk bersama-sama melibatkan kader PDI Perjuangan dan Partai Gerindra serta unsur-unsur masyarakat.
  7. Megawati Soekarnoputri mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden pada Pemilu Presiden tahun 2014.

    Jakarta 16 Mei 2009

    Megawati Soekarno Putri – Prabowo Subianto

 

Demikian menutup Catatan ini. Tabik, Merdeka! Salam satu hati Indonesia Raya.

 

Jayanto Arus Adi

Wartawan Senior, Ahli Pers Dewan Pers, Pemimpin Umum dan Redaksi RMOL Jateng, sekarang banyak bermukim di Demak.