Publik baru saja dibuat kaget oleh dua kejadian kontroversial yang begitu mengusik nurani kita. Andi Arief tokoh yang sempat melejit di awal era reformasi tiba tiba menjadi perhatian publik. Beredar berita kontroversial yang seketika menjadi vital ketika Wakil Sekjen Partai besutan SBY ini ‘ditangkap’ polisi terkait penggunaan narkoba. Tak tanggung tanggung 10 polisi terlibat dalam penggerebegan ini.
- Pertemuan Tanpa Orgasme (Antiklimaks) Mega-Prabowo (1)
- Kongres PDI-P (Terancam) Diawut-Awut, Retret (Nyaris) Disabot
- Republik Judi (Jujur Dilarang) Indonesia
Baca Juga
Kasus Andi, meski belakangan polisi tidak menindaklanjutinya, namun publik telah memberikan notifikasi khusus. Di balik kecemerlangan karier politik mantan aktivits 90 an ini narkoba ikut mewarnai jalan hidupnya. Beragam pertanyaan muncul, tak luput penasaran publik, dan sekaligus gemas, mengapa sosok seperti Andi Arief sampai tersandung kasus narkoba.
Menilik latar belakangnya, sebagai mantan aktivis semestinya orang deket SBY ini cukup tangguh menghadapi gempuran dan bombardemen lawan lawan politiknya. Karena apa, ya perjalanan atau pergulatannya sebagai mantan demonstran telah menempa dan menjadi bekal menjadi tokoh penting saat ini. Artinya aneh saja ketika publik kemudian mengetahui di balik kecermelangan pernyataan, dan keberaniannya mencuatkan hal hal.
Pernyataan dan pemikiran itu lahir dari pengaruh mengkonsumsi narkoba. My God. Ini yang membuat kita semua terbelalak, terhenyak, kaget, dan kemudian ada istilah dalam Bahasa Jawa yang pas, yakni ‘ngelus dada’. Oooh begitu, ternyata begitu, dan lain sebagainya, yang intinya adalah anomali dari beragam kebuntuan dari akal sehat kita untuk memaknai kejadian seperti itu.
Andi Arieh, ooooh Andi Arief……
Ya, ibarat luka kasus Andi Arief menimbulkan keperihan sosial yang begitu dalam. Dan, perlahan mulai hilang rasa perih itu, tiba tiba muncul petir di siang bolong. Adalah OTT KPK di Surabaya yang melibatkan politisi generasi muda, Romahurmurzy. Gus Rommy begitu panggilan beken politik partai berlambang Kabah ini diciduk KPK di sebuah hotel di Surabaya.
Apa yang mesti harus diucapkan tatkala mengetahui, mendengar atau mendapati kabar seperti ini. Dada kita sesak, bingung, kecewa, marah, dan tak berdaya. Kepada siapa lagi amanat aspirasi mesti disematkan. Entah sudah berapa banyak politisi yang kini telah diterungku KPK. Beberapa nama itu antara lain ada Luffi Hasan Ishaq, Anas Urbaningrum, Surya Dharma Ali, Setyo Novanto, Idrus Markam dan M Romahurmurzy.
Di luar tokoh tokoh di atas, puluhan politisi mengalami nasib serupa, yakni kesandung persoalan korupsi. Tokoh lokal seperti Emi Saragih, kemudian Tasdi, keduanya terjaring OTT KPK karena berurusan dengan proyek. Pengaruhnya dimanfaatkan untuk memberikan akses atau dukungan agar proyek proyek tertentu berjalan mulus. Alih alih memberikan dukungan semacam itu fulus mengalir.
Lalu, mengapa yang demikian lazim terjadi? Salah satu jawaban yang bisa menjadi penjelas adalah politik biaya tinggi. Sistem demokrasi yang kita anut, diakui atau tidak telah mendorong perilaku korup, manipulatif, dan berbiaya tinggi.
Mekanisme seorang caleg bisa mendapatkan tiket legislatif dengan suara terbanyak adalah jebakan demokrasi yang merisaukan. Bagaimana tidak, ketika sistem, dan kultur belum memberikan ruang bagi mereka yang berprestasi adalah yang dipilih, maka politik uang menjadi jalan pintas. Apalagi kompetisi antara caleg, dan juga kompetisi dalam pemilihan kepala daerah terbuka sekali praktik praktik culas yang penting mendapatkan suara.
Meski perlu dikaji lebih mendalam, dan ada penelitian khusus, saat ini 95 persen caleg yang duduk menjadi anggota Dewan adalah produk money politik. Yang memprihatinkan adalah konstituen, dalam hal ini pemilih pun nyaris telah terkikis idealismenya. Artinya mereka memilih, dan coblos karena faktor finansial. Maju tak gentar membela yang bayar.
Tragis memang, tapi itulah wajah demokrasi kita. Sekali lagi bagi seorang caleg, ibaratnya imposible bisa jadi, atau duduk di kursi legislatif tanpa uang. Jadinya inilah demokrasi kapitalis. Bukan hanya jadi legislatif yang harus ‘membeli’ suara, karena untuk jadi kepala daerah pun juga sama. Dengan begitu bayangkan, jika mereka yang menjadi wakil rakyat, atau pemimpin kita adalah produk dari sebuah sistem seperti itu.
Ketika sudah seperti itu, dari mana investasi yang telah ditanam harus segera kembali. Return of investment itu akan kembali dengan formula apa, kecuali praktik koruptif, manipulatif, dan nepotisme. Masih ada mereka yang bersih, jujur, berintegritas, serta mempunyai idealisme. Mereka itu adalah lima persen di luar yang telah disebut di atas. Hanya saja sayang, mereka dari kelompok ini, bukan tanpa kelemahan. Bisa saja mereka terpilih tanpa pengaruh politik uang, sebut karena memang punya pengaruh, terkenal, atau berasal dari komunitas yang massanya banyak. Tetapi mereka yang dari kelompok ini secara kompetensi cenderung rendah.
Itulah yang terjadi dan sekarang ini menjadi wajah demokrasi kita. Lantas apa yang bisa diharapkan dari sistem demokrasi seperti ini? Kita memang sesak, dan belum bisa menaruh harapan banyak. Tetapi dialektika pasti akan terjadi. Sebab keseimbangan adalah sesuatu yang alamiah. Otoritarianime yang akut akan melahirkan people power, ada angkara murka, ada ratu adil.
Kini kembali kepada kita masing masing, kembalikan pada nurani, sebab hidup bukanlah untuk hari ini saja.
*Jayanto Arus Adi
Pemimpin Umum RMOL Jateng, yang juga anggota Pokja Hukum Dewan Pers
- Mengapa Anda Jahat Pada Rakyat?
- Dua Blunder PDI-P (Mega) di Jateng
- Memaknai Tangis Gus Miftah