Wacana (Pemimpin) Presiden Naturalisasi, Why Not?!

Jayanto Arus Adi, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi RMOLJawaTengah
Jayanto Arus Adi, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi RMOLJawaTengah

Publik pecinta sepakbola Indonesia beberapa waktu lalu sempat dibuat heboh seraya terbuhul-buhul. Hati mereka bahkan empot-empotan gegara keputusan Erick Thohir sang Ketua Umum PSSI. Adalah juru racik asal negeri gingseng, Shin Tae Yong, yang menjadi pujaan publik sepakbola tiba-tiba diputus kontraknya. Meneliti klausul yang tertera di dalam kontrak bintang iklan sebuah produk kopi ini mestinya kontraknya baru akan berakhir 2027.


Tapi tanpa alasan spesifik (setidaknya menurut publik bola) mantan pemilik Inter Milan (Italia) ini memberhentikannya (baca memecat). Publik sebenarnya paham siapa Erick Thohir, artinya respek dengan kebijakan-kebijakannya bahkan diapresiasi. Porto folio yang menjadi legacy-nya adalah Erick Thohir orang yang paham bola. Kiprahnya membeli Inter Milan dari Massimo Moratti ketika itu (2013) menjadi afirmasi tersendiri.

Tapi keputusannya mendepak Shin Tae Yong bagaimana pun membuat publik bola kaget, dan berduka. Analogi, seperti ketika orang yang sedang jatuh cinta, kemudian ada pihak yang menyaru atau mengusik lantas membuatnya putus pasti akan marah, bahkan reaksi eksplosif bisa tak terduga. Di sini (kasus Shin Tae Yong) kurang lebih sama. Erick lupa pesan politis senior Bambang Wuryanto ‘Pacul’.

Ada dua hal yang sebaiknya dihindari, apa pun alasannya. Pertama adalah melawan orang baik, kedua orang cantik. Pacul mengilustrasikan implikasi yang harus ditelan jadi pil pahit demokrasi adalah ketika PDI Perjuangan berselip langkah dengan ‘The Hero of Wong Cilik’ Joko Widodo. Dengan approval rating bohay atau bagus  tak pelak berdampak pada raihan dukungan konstituen, khususnya entitas Wong Cilik.

Di sini, PDI Perjuangan perlu melakukan instropeksi khusus, apalagi terkait keikutsertaannya di Pemilihan Presiden (Pilpres). Meski sebagai partai legendaris, dan beberapa kali memenangi Pemilu, tetapi di Palagan Pilpres kerap keok. Pilpres 2024 lalu mestinya jadi momentum menyeluruh bagi Partai Banteng. Kandidat yang diusung PDI Perjuangan bukan hanya kalah, tetapi maaf kalah telak di posisi buncit.

Resiko Mahal

Kekalahan itu adalah resiko mahal yang harus dibayar berseteru jalan dengan the soul-nya Wong Cilik tadi. Pada Pilpres sebelumnya PDI Perjuangan juga keok. Bahkan saat sang Ketumnya sendiri maju hasilnya juga sama. Saat Mak Banteng Megawati berduet dengan Hasyim Muzadi kalah oleh SBY-Jusuf Kalla, dan kembali maju bersama Prabowo kembali kalah oleh SBY-Budiono.

SBY dipersepsikan publik adalah sosok yang baik. Kisah kontroversial terkait sungsang komunikasi dengan Taufik Kiemas adalah bumbu yang lain. Siapa nyana Mega bakal tumbang dalam duel Pilpres kala itu. Tapi sejarah mencatat torehan tersebut dalam lembaran khusus perjalanan bangsa ini. Satu hal yang bisa dipetik ‘wanti-wanti’ Bambang Patjul jangan melawan orang baik perlu jadi pelajaran khusus.

Kisah-kisah di atas menjadi afirmasi atas kebijakan PSSI (Erick Thohir) terhadap Shin Tae Yong. Meski Timnas Garuda kalah ketika meladeni Jepang dan China tak lantas membuat publik berpaling. Juru racik asal negeri Ginseng dianggap telah memberi kontribusi dan elan positif sepak bola Indonesia. Masa lalu sepak bola tanah air berlumuran aib, karena ulah lancung oknum-oknum perbolaan dapat perlahan dikikis.

Tampil trengginas di ajang Play Off Piala Dunia, termasuk menghajar Arab Saudi menjadi pelipur lara. Publik bungah dan sedang bereuforia. STY tak luput dielukan bagai bintang. Saat sedang asyiik masuk begini, tiba-tiba mimpi indahnya tanggal. Apa yang terjadi?

Fenomena ini adalah pelajaran dan sebuah testimoni. Menarik jadi pembelajaran lebih lanjut adalah mencari jawab, mengapa sepak bola Indonesia dapat bersinar, menorah pamor prestasinya. Saya percaya sebagai sebuah factor, STY punya peran dominan. Tetapi dia bukan satu-satunya faktor. Dalam ekosistem bola faktor-faktor berikut, seperti pelatih, PSSI, pemain, penonton, juga faktor X sangat mempengaruhi.

Filosofi Beras

Ada analogi apik untuk jadi sandingan. Padi menjadi beras putih bukan semata karena alu atau antan yang menembuknya di dalam lesung. Jika padi itu hanya sebutih, apa yang terjadi jika dihantum alu? Tak hanya remuk, tetapi hancur lebur? Jadi sukses tidak dapat diraih seorang diri. Gesek menggesek padi dengan padai ditempa lesung membuat padi beras putih.

Sebatang lidi tidak bisa untuk menyapu membersihkan halaman. Sekalipun dia seorang maestro, Shin Tae Yong tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa dukungan unsur lain. Sepakbola ada ekosistem yang menopang, termasuk di sini adalah pemain naturalisasi. Tetapi membangun tim hanya menjadi panggung bagi mereka (pemain naturalasi) sama saja membunuh sepakbola Indonesia.

Membangun prestasi olah raga, termasuk sepakbola adalah memahat peradaban. Pahatan itu akan menjadi karya indah di tangan pemahat yang andal. Sama dengan sepakbola Indonesia kita perlu pelatih andal untuk membawa mereka punya kharakter. Shin Tae Yong ibarat tangga bagi kita memanjat ketinggian. Dari sana (ketinggian) kita bisa melihat indahnya dunia.

Merajut Ke-Indonesiaan

Memijakkan pada filosofi di atas keberadaan pemain naturalisasi adalah sebentuk ikhtiar merajut nafas ke-Indonesian lebih utuh. Mereka (pemain naturalisasi) adalah bagian dari sejarah, ada benang merah yang perlu disematkan dalam bingkai keluhuran. Menukil kisah inspiratif Antareja putra Bima. Di sana (Kisah Mahabarata) diceritakan bagaimana dia (Antareja) menjadi sang ayah, yakni Bima. Nagagini, sang ibu Antareja harus terpisah karena Balai Sigala Gala dibakar dan dihancurkan. Dalam perjalanan kembaranya seorang diri, Nagagini sesungguhnya sedang mengandung Antareja. Setelah besar dan tahu siapa ayahnya dia meminta izin dan restu ibunya untuk pergi ke Amarta mencari sang ayah.

Dari kisah ini, saya menyandingkan kisah pemain-pemain naturalisasi adalah bagian dari kembara mencari jatidiri, mencari sangkan paran leluhur mereka. Artinya ini kristalisasi diaspora pada satu titik untuk mengukuhkan jatidiri yang utuh proses itu dimaknakan.

Dengan begitu naturalisasi dipahami  sebagai sebuah perjuangan, pengorbanan, sebuah pencarian atas jatidiri, bukan komiditi yang dibaca dalam konteks industrial yang membuat mereka (pemain naturalisasi) menjadi sosok yang mati. Bukan karena ada jiwa yang hidup di sana. Maka dalam menyambut, menerima semua stakeholder yang terlibat perlu mengendapkan roso, ada hati, ketulusan.

Aspek filosofis ini yang perlu dikukuhkan dan diutuhkan oleh semuanya. Jika temali batin dan hati dapat terajut bangun Timnas Garuda akan menjadi semaian empati yang menyatukan satu persatu, inilah Tim Merah Putih.

Saya berharap niat baik dalam konteks serupa perlu ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Artinya kebijakan ini bukanlah menjadi ikhtiar instan membuat prestasi, tetapi membangun prestasi.

Maaf terminologi Membuat dan Membangun prestasi menjadi sangat esensial, mendasar, sangat fundamental.

Saya khawatir jika makna Membuat dan Membangun tidak dipahami secara utuh, naturalisasi akan kehilangan makna dan supremasi. Seperti menyaksikan fenomena yang marak dan membuat sesak adalah kondisi yang ada sedang tidak baik baik saja. Lihat mereka yang menjadi pemimpin tetapi tidak dapat menjadi teladan. Mereka lancung dan membuat mudarat, jika seperti ini apakah kita akan memilih, bupati, walikota, gubernur dan presiden juga dari naturalissi. Why Not?!

 Jayanto Arus Adi adalah Wartawan Senior, Ahli Pers Dewan Pers. Aktif di Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) - Konstituen Dewan Pers dan duduk sebagai Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan. Memimpin MOJO (Mobile Jurnalis Indonesia), organisasi yang menaungi penggiat media berbasis Android. Melola RMOL Jateng, Media Online yang sangat berpengaruh di Jawa Tengah sebagai Pemimpin Umum dan Redaksi. Aktif juga di Satu Pena, Organisasi Penulis yang didirikan Deny Januar Ali. Mengajar Jurnalistik di beberapa Perguruan Tinggi. Di antara aktivitas tersebut aktif menjadi konsultan politik dan media.