Demak, ya menyebut kota ini seperti membuka ensiklopedia sejarah peradaban yang belum usai. Menilik akar historisnya melekat atribut Kota Wali yang dibangun dengan mendasarkan pada dimensi spiritual yang cukup dalam. Ibarat membangun rumah Demak dibangun dengan pondasi spiritual yang eksotik, ikonik dan hegemonic.
Demak, ya menyebut kota ini seperti membuka ensiklopedia sejarah peradaban yang belum usai. Menilik akar historisnya melekat atribut Kota Wali yang dibangun dengan mendasarkan pada dimensi spiritual yang cukup dalam. Ibarat membangun rumah Demak dibangun dengan pondasi spiritual yang eksotik, ikonik dan hegemonic. Pilar pilar dan pengaruh tokoh tokoh yang ada, seperti Sunan Kalijaga, Raden Patah melahirkan dan menghadirkan ekstra polasi yang luar biasa.
Ekstra polasi dimaksud adaah kharismanya dua tokoh simbolik di atas pengaruhnya dirasakan betul sampai sekarang. Secara genitis keduanya adalah tokoh spiritual dan kultural, namun secara lebih luas mewarnai pada seluruh sendi kehidupan. Value itulah yang menjadikan Demak menjadi episentrum lain, di luar positioningnya sebagai penyangga strategis Kota Semarang.
Memang dalam konteks modern, kita menyaksikan secara adminstratif perdikan yang berada sekitar 30 KM dari ibukota Jawa Tengah ini mengalami Nagoya Sindrome. Berada sebagai antara Tokyo dan Yokohama semestinya secara alamiah merupakan jembatan strategis. Apa pun dapat diraih. Begitu pun Demak, berada antara Semarang dan Kudus peran strategis dapat diambil. Namun kita melihat disparitas secara ekonois kesenjangan tampak menyolok.
Profile Demak cenderung merepresentasikan sebagai kasta rendah. Padahal kembali merelasikan pada positioning peradaban dalam konteks di atas, kabupaten ini merupakan jendela sekaligus symbol kejayaan Islam, tidak saja pada masanya, namun hegemoni itu masih melekat digenggamanya. Karenanya ironis sekali jika stimatisasi itu tak lantas segera diputus.
Bayangkan, monument peradaban itu masih kukuh berdiri di sini. Harus diakui Sunan Kalijaga menjadi figur sentral secara kultural, politis dan dalam beragam dimensi dimensi yang lain. Sunan Kalijaga, Masjid Agung sungguh merupakan ikon yang dalam banyak wajah menjadi mercu suara peradaban sampai sekarang. Wali kharismatis dengan segala legendanya yang kini bersemayam di Kadilangu merupakan magnitude melampui rasionalitas manusia.
Statistika menunjukkan sebagai destinasi wisata ziarah, animo pengunjung tempat ini menduduki peringat kedua di bawah Candi Borobudur. Ini amazing, luar biasa., Borobudur adalah bagian dari The Seven Wonders of the World. Dia merupakan destinasi superprioritas. Hanya ada lima destinasi, masuk kategori prioritas. Selain Borobudur adalah Raja Empat (Papua) , Labuhan Bajo (NTT) , kemudian Danau Toba (Sumatera Utara), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), dan Likupang (Sulawesi Utara).
Nah, dari nama nama itu, ketika secara kuantitatif animo pengunjung, lebih tepat peziarah ke Kadilangu menduduki peringkat kedua, ini bukan hanya luar biasa, tetapi ruaaar biasa alias spektakuler. Sebagai destinasi wisata ziarah Kadilangu nyaris berdenyut tanpa henti sepanjang 24 jam. Ya 24 jam. Susah dipahami akal sehat, tetapi itulah dimensi spiritual seringkali tidak berjalan pada galibnya, namun memiliki kharakter khusus.
Nah, kini mereduksi realitas empirik saya melihat ada elan baru yang perlu kita manifestasikan sebagai momentum. Momentum dimaksud adalah era disrupsi yang siapa pun dapat mengusung atau menghadirkan panggung itu dari mana saja. Revolusi digital melalui rekayasa IT telah melahirkan tokoh tokoh dari pelosok negeri di kancah global. Secara politis, ekonomis, dan budaya kita cermati bagaiman fenomena nama nama asing menjadi ikon baru di jagad virtual.
Inilah yang saya maksudkan sebagai momentum, Demak perlu mengambil track ini dengan cerdik, smart dan piawai hadir kemudian unjuk diri dengan capaian capaian yang dapat dioptimalkan. Ikan sebagai Kota Wali perlu diengenering sedemikian melalui manuver manuver yang bernilai tambah. Ruang publik harus dikuasai, setidak memiliki self confidence untuk tampil melalui terbosan yang bernilai tambah.
Kita layak mencermati secara sungguh sungguh Arab Saudi menjadikan ibadah haji sebagai etalase, lokomotif, sekaligus ambasador atau duta untuk kapitalisasi pada sektor yang lain, seperti pariwisata atau bisnis yang corenya beriringan, sebut kuliner, produk hortikultura dan lain sebagainya.
Inilah pesan yang perlu diperas sekaligus penguatan dan dikristalisasi menjadikan Kota Wali hadir lebih utuh sebagai oase spiritual utama. Masjid Agung kita ambil magnetnya sebagai pusat kebudayaan Islam dengan segala variannya. Optimalisasi menjadi cluster wisa religi perlu focus dengan eskalasi penetrasi program yang masif serta bervisi global.
Ingat sekarang adalah era disrupsi, kita dapat hadir dan tampil di panggung global, tidak harus menjadi perantau atau kaum urban ke ibukota. Cukup dari Demak saja. Strategi komunikasi, marketing, branding dan membangun network berskala global terus digalang. Ikon ikon yang dimiliki perlu terus dieksplore, bagaimana proaktif menjemput pasar, ya pasar.
Sayang sekali Kadilangu yang telah menjadi mercu suar, dan panggung dahsyat belum dielaborasi dengan menghadirkan nilai tambah serta luxury bagi pengunjung yang datang ke sana. Destinasi luar biasa, maaf kita perlu belajar bagaimana industry pariwisata Arab Saudi berkembang dengan bundeling policy in one stop service.
Niat kita adalah bagaimana memberikan kenyamanan mereka yang datang ke Kadilangu, ke Masjid Agung mendapatkan kenyamanan, seperti saudara saudara kita melaksanakan (ibadah) umrah. Bismilah, kita niati bagaimana mereka yang datang berziarah ke Kadilangu, atau beribadah ke Masjid Agung Demak mendapatkan luxuries, kenyaman subtantif-seperti kuliner, hotel, dan oleh oleh.
Inti dari pesan kecil di atas, adalah bagaimana Demak bisa lebih hadir sebagai Kota Wali dalam perspektif yang inheren dengan budaya digital. Bagaimna positioning yang telah dimiliki dapat menjadi portofolia Demak yang lebih bervisi religious. Benar, bahwa secara simple praktek tersebut sudah ada, namun perlu optmilasi strategi make up, dan goal yang lebih bernilai tambah.
Saya bermimpi, ya bermimpi kemudian terobsesi peziarah ke Kadilangu, dan mereka yang berziarah ke Makam Sunan Kalijaga tidak keleleran di Kawasan Makam, atau mereka yang beribadah ke Masjid Agung tidak berserakan bagai pindang di serambi masjid. Haru dan iba saya melihat semua itu, sekaligus prihatin kita belum dapat melayani juga memuliakan mereka yang jauh jauh datang ke Demak.
Apalagi menyaksikan mereka berjalan mengular, bagai karnaval berarak dari Terminal Tembiring ke Masjid Agung. Jujur saya menangis, begitu pun menyaksikan peziarah ke Sunan Kalijaga mereka mesti berjubel, tanpa kita mampu menggandeng, menavigasi, memberi akses yang nyaman.
Catatan saya ini adalah sekaligus merupakan surat terbuka untuk seluruh stakeholder tidak hanya di Demak, tetapi otoritas yang lebih tinggi. Singapura berjaya karena berinovasi dengan sektor jasa, Arab Saudi, Vatikan, India dengan Taj Mahalnya melakukan inovasi serupa dengan segala ongkos, sekaligus mereka melakukan dengan hati.
Inilah ibadah, nawaitu kita adalah melayani tamu. Namun sesungguhnya itu semua adalah peluang. Pasar. Ya, pasar, bukankah ketika kita punya niat baik, dan menunaikannya dengan baik dan ketulusan maka pahala dari Allah akan kita raih juga. Ya, akhirnya inilah pekerjaan rumah, dengan penuh keberkahan di dalamnya. Salam
Jayanto Arus Adi
Pimpinan Umum RMOL Jateng, Dewan Pertimbangan Universitas Negeri Semarang, dan mahasiswa program doktorl Univeritas Negeri Semarang
- Kejaksaan Negeri dan Kantor Kemenag Demak Lakukan MoU Bersama
- Semarak Festival Megengan dan Kirab Budaya Kota Wali Demak 2025
- Tanpa Henti, Satpol PP Kabupaten Demak Terus Gelar Razia di Seluruh Wilayah