PSSI = Pengaturan Skore Sepak Bola Indonesia

Bola itu bundar, apa pun bisa terjadi. Adagium ini belakangan melegitimasi dunia persepakbolaan kita (baca Indonesia). Olah raga paling populer di jagad ini, termasuk juga di Indonesia semakin menjadi sorotan publik. Bukan karena Timnas U-22 baru saja menjuarai Piala AFF Asia Tenggara U-22, tetapi yang mendongkrak adalah tragedi culas dalam konpetisi di tubuh Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI). Adalah tragedi pengaturan skore di kompetisis Liga Indonesia, sebuah kompetisi yang menjadi panggung ujuk prestasi klub klub setanah air.


Ampun ampun, keterlaluan! Ternyata kompetisi yang kita saksikan selama ini adalah sebuah panggung dagelan. Konyol, naib, memalukan, sekaligus menyesakkan. Betapa tidak, bayangkan ternyata kompetisi yang menghabiskan dana ratusan miliar, bahkan mungkin mencapai angka triliunan ini, ternyata kompetisi apus apus. Hasilnya bisa dibeli, karena sang juara adalah produk skenario.

Rumor rumor dan gosip yang berseliweran, ketika ikut menjadi bagian kecil dari klub kebanggaaan wong Semarang, PSIS sekitar tahun 2006 hal semacam itu sempat melintas. Wasit wasit tertentu menjadi pintu masuk praktik culas untuk mengamankan pertandingan. Bentuk pengkondisian yang dilkakukan adalah mengamankan laga kandang agar hasilnya maksimal.

Lalu apa yang dilakukan? Caranya adalah melakukan kolusi dengan wasit sebelum partai kandang berlangsung. Klub melakukan pendekatan alias kolusi dengan pengadil untuk menghukum, dengan mengganjar kartu hukuman di laga laga sebelumnya. Dengan akumulasi hukuman, pemain yang ditakuti, karena menjadi andalan klub calon lawan harus ‘diamankan’.

Ikhtiar inilah yang dilakukan klub klub untuk memaksimalkan hasil kandang. Partai kandang menjadi penting lantaran kemenangan identik dengan fulus datang. Klub perlu memuaskan penonton di laga kandang karena setiap kemenangan akan menjadi magnet masyarakat datang ke stadion. Alamak! Ternyata pertandingan itu dagelan.

Apakah penonton atau pendukung paham dengan patgulipat seperti itu. Ya, secara persis pastilah tidak, namun ketika menonton hal hal ganjil banyak disaksikan, atau paling tidak. Sebab ikhtiar seperti yang dilakukan untuk mengamankan capain dari klub yang sedang menggelar hajat partai kandang, bisa jadi juga dilakukan klub lain yang sedang mempersiapkan partai kandang beikut.

Artinya, jika klub sebut klub A misalnya, sedang berikhtiar seperti itu, bisa saja klub lain juga melakukan hal yang sama. Dengan begitu, klub klub mencoba mencari celah bersekongkol dengan pengadil. Tak cukup dengan pengadil, mereka yang punya pengaruh besar bisa saja melakukan langkah seperti itu dengan melibatkan punggawa di jajaran yang lebih tinggi.

Cerita itu dulu menjadi gosip yang kerap berseliweran. Bagi mereka yang berkecipung di Panpel (panitia pelaksana) bahkan menjadi sebuah gawe tambahan yang lazin. Tanggung jawab Panpel tak sekadar memenej laga berjalan aman, namun ‘mengurusi’ wasit adalah tugas khusus yang otomatis melekad. Makanya jamuan untuk wasit jumlahnya menjadi cukup signifikan.

Tidak sekadar menjemput, kemudian menjamu plus memberikan ‘pendampingan’ selama pengadil ini menjadi ‘tamu’nya. Untuk wasit tertentu jamuan bukan hanya menyiapkan makan minum, tetapi menyiapkan wanita di tempat mereka menginap adalah hal yang wajar. Karena itulah pernah suatu waktu insiden pecah, karena sang pengadil tidak menunaikan komitmen. Kemenangan yang mestinya dipsersembahkan meleset. Walhasil di tempat ganti tragedi penghajaran terpaksa dilakukan.

Ya bayangkan, itulah wajah sepakbola kita. Menyesakkan lagi praktik pengaturan skore dalam kurun waktu tertentu semakin masif. Kasus yang menyeret 14 punggawa PSSI adalah bukti telak. Untung ada sang peniup peluit alias whistle blower dari seorang srikandi Persibara Banjarnegara Lasmi Indaryani. Andai tidak ada nyanyian wong Banjar itu, apakah kontroversi lancung di PSSI sudah terkuak seperti sekarang?

Sekarang ini bola salju sudah bergulir kencang. Di tengah euforia orang kebat kebit menunggu Satgas Anti Mafia Bola yang dibentuk Polri bergerak tokoh yang sudah malang melintang kepengurusan PSSI, Joko Driyono ikut terseret di pusaran apek kompetisi.

Miris, Joko Driyono yang akrab dipanggil Jodri adalah tokoh kuat. Jam terbang dan jejaringnya di tubuh PSSI tak diragukan lagi. Karenanya ketika Edy Rahmyadi lengser tampuk kepemimpinan disematkan di pundaknya. Nah, jika kini Jodri sudah menyandang status tersangka, tentu dia bukan lagi menjadi pintu masuk, tetapi gerbang besar sudah terbuka.

Akan dibawa ke mana dan diusut sampai siapa saja yang terlibat di pusaran bobrok persepakbolaan kita. Yang jelas banyak pihak berlumuran noda dengan praktek ini semua. Tidak hanya pada periode sekarang. Kalau di awal kami memberi ilustri tahun 2006 gosip itu sudah menjadi fenomena umum, tentu sebaran serta guritanya menjangkau ke mana mana.

Ini menjadi tantangan penyidit dari tim Satgas Anti Mafia Sepakbola Indonesia. Kalau mau bersih bersih, sekaranglah momentumnya. Dari Jodri dan tersangka lain bisa dikembangkan. Johar Lin Eng adalah sekadar pemain lapis kesekian. Jadi sekarang bisa digali info dan fakta fakta lancung terus sampai akarnya.

Satu hal menjadi catatan penutup mengakhiri kolom ini, sepakbola adalah cabang olah raga bergelimang uang. Simak pengurus PSSI dari pusat sampai daerah, pengurus klub klub sepak bola, mereka semua bukan orang biasa biasa, tetapi pasti punya pengaruh dan juga secara ekonomi pasti kategori tajir.  

*Jayanto Arus Adi

Pemimpin Umum RMOLJateng, pernah menjadi Bidang Dana PSIS tahun 2006