Dewan Pers Tanpa Wakil Dari PWI

Jayanto Arus Adi, Pemimpin Redaksi RMOLJateng.
Jayanto Arus Adi, Pemimpin Redaksi RMOLJateng.

Dewan Pers lahir sebagai amanat reformasi. Lebih konkret, Dewan Pers adalah melaksanakan amanat konstitusi sebagaimana termaktub di Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Pers Indonesia tidak lagi menjadi subordinasi dari yurisdiksi eksekutif. Namun, menjadi lembaga otonom. Dewan yang beranggotakan sembilan orang adalah stakeholder utama sebagai pilar dan payung pers Indonesia. Babak baru yang diraih setelah reformasi.


Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai organisasi pers, lebih tepat organisasi wartawan, memiliki obligasi besar atas lahirnya Dewan Pers. PWI juga menjadi organisasi yang memiliki anggota terbesar. Sebagai organisasi wartawan tertua wajah pers Indonesia terpahat melalui kiprah organisasi ini.

Putra-putra terbaik PWI notabene menjadi lokomotif organisasi yang bermarkas di Jalan Kebon Sirih 32-34 Jakarta Pusat. Tempat itu disebut Gedung Pers dimana pers bermarkas dengan jejak historis yang panjang.

Hari-hari ini adalah menjadi titik balik kisah panjang itu. PWI yang telah puluhan tahun berkantor di sana (Gedung Pers-red) dipaksa angkat kaki atas Surat Keputusan yang ditandatangani Ketua Dewan Pers Dr Ninik Rahayu. Melalui risalah yang menjadi dasar terbitnya surat itu antara lain karena konflik yang terjadi di tubuh organisasi wartawan tertua di negeri ini.

PWI dilahirkan di Solo, kota yang kemudian dijadikan PWI Perwakilan Khusus, menjadi legacy historis karena terlahir di sana. PWI sendiri ada di setiap provinsi dengan status sebagai PWI Cabang. Sepanjang sejarahnya, PWI cabang berkontribusi nyata dalam kiprahnya di masing masing provinsi.

Sejak berdiri 9 Februari 1946 di Kota Solo, Ketua PWI datang silih berganti. Sinergi yang elok dengan Pemerintah Daerah dan lembaga lembaga yang ada menjadikan eksistensinya diakui.

Namun, semua itu kini tutup buku. Dewan Pers telah memberi ultimatum, tidak akan mengakui keberadaan PWI atau dengan kata lain menutup pintu, jika konflik yang melahirkan dua kubu, yakni PWI di bawah kepemimpinan Henry Ch Bangun, dan PWI kubu Zulmansyah Sakedang tidak berekonsiliasi.

Artinya kiamat sudah, selamat tinggal PWI dan Dewan Pers mendatang hampir pasti tidak akan representasi dari organisasi yang dilahirkan di Solo ini.

Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Menurut saya tiga orang yang harus mempertanggungjawabkan kepada anggota dan juga sejarah.

Pertama adalah Sasongko Tedjo, Ketua Dewan Kehormatan PWI. Sasongko yang notabene adalah putra Jawa Tengah mestinya mampu mengambil langkah out of the box. Tidak semata-mata memijakkan pada hitam putih sengkarut yang menimpa organisasi ini.

Kedua adalah Henry Ch Bangun, Ketua Umum PWI Pusat. HCB begitu dia disapa, mantan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Warta Kota (Kompas Gramedia Group) berkontribusi atas terjadinya karut marut ini. Semestinya dia punya pilihan untuk berkorban, dengan cara apa pun yang bisa ditempuh agar organisasi wartawan terbesar ini tidak masuk ke liang kubur.

Dan, ketiga adalah Zulmansyah Sakedang, Ketua PWI versi Kongres Luar Biasa (KLB). Mimpi apa yang ingin engkau raih Sakedang? Berandai andai saja, jika anda bersedia berkorban dan tampil menjadi juru damai, sejarah akan berkata lain. Sekarang PWI sudah koma. Masih bernafas namun tidak bisa apa-apa, jangankan mengurus dirinya sendiri, seperti orang koma raga gagah namun tergeletak saja, menunggu mukzizat.

Memaknai realitas seperti itu, wahai Sasongko, HCB dan Sakedang apakah yang terbetik di nurani kalian. Di manakah nurani dan kepedulian anda bertiga atas jejak organisasi yang telah menjadi life time achievement dari orde ke orde hingga saat ini. Kelakuan anda bertiga atas nama apa pun telah membuat PWI hancur. Ibarat sebuah rumah kini warisan yang diamanatkan pada anda tidak dijaga justru dirusaknya. Maaf analogi ini jika berbeda aras dengan kacamata atau sudut pandang kami yang awam.

Kepada Dr Ninik Rahayu yang mengatasnamakan Dewan Pers, jujur saya berada di simpang jalan atas keputusan Dewan Pers. Di satu sisi, keputusan itu menjadi malaikat untuk mendorong terjadinya resolusi damai, entah dengan rekonsiliasi atau lewat mekanisme yang lain. Sisi yang lain Dewan Pers telah menjadi Malin Kundang karena telah durhaka dengan ibu (PWI) yang telah ikut melahirkan Dewan Pers.

Dua kutub itu berkecamuk di pikiran saya. Apakah tidak lebih bijak Dewan Pers menunggu keputusan hukum yang inkracht jadi pasti siapa pecundang, siapa yang sejati atas kemelut di tubuh organisasi wartawan tertua ini.

Kita tunggu saja, seperti menunggu Godot. Menukil kisah drama karya Samuel Beckett itu, tidak pernah ada yang pasti jika kita tidak mengambil langkah dan keputusan tegas. Akankan aktor-aktor penghancur PWI itu sedang mengalami sindroma seperti yang dialami Vladimir dan Estragon seperti drama menunggu Godot?

Kini yang sudah di depan mata Dewan Pers kepemimpinan Dr Ninik Rahayu yang menurut sebuah versi adalah produk sejarah yang gagal dan cacat hukum akan segera berakhir. Sembilan anggota Dewan Pers akan mengakhiri periode pengabdiannya 2025 mendatang. Tahapan pemilihan sudah mulai disusun, konstituen konstituen, yakni PWI (tanda tanya), AJI, IJTI, ATVLI, ATVSI, PRSSSNI, SPS, AMSI, SMSI, JMSI, dan PFI juga sudah mulai bergerak.

Namun, kali ini, kecuali jika ada kejutan, mereka sepakat duduk bersama dan berfikir yang lebih strategis, mereka menanggalkan egonya untuk kepentingan bangsa dan negara (maaf meniru politis-penulis) semua akan kembali baik baik saja. Tetapi logika seperti menunggu Godot. Impian itu sekadar mimpi, hil yang mustahal ala istilah Asmuni, pelawak Srimulat.

Dua kemungkinan terhadap kondisi aktual yang sekarang tengah menerungku bakal terjadi, dan menjadi kecenderungan obyektif. Pertama rekonsiliasi akan benar benar terjadi, artinya Sasongko, HCB dan Sakedang setelah melalui kontemplasi dan perenungan akhirnya punya jiwa besar untuk sama-sama berkorban menanggalkan ego dan kepentingan mana pun yang mempengaruhinya, hanya dengan satu keputusan damai, duduk bersama.

Itu (keputusan) hal yang terbaik, dan nama anda dicatat sejarah dengan tintas emas. Dr Ninik Rahayu dalam kapasitas Ketua Dewan Pers dapat menginisiasi membuat forum satu meja, memanggil ketiganya dan ditanting (bahasa Jawa, artinya diminta sikap terakhirnya) apa keputusannya. Apakah akan menjadi pahlawan, atau pecundang bagi organisasi yang notabene adalah Kawah Candradimuka yang telah membesarkannya.

Bagi Ninik Rahayu (Dewan Pers) momentum ini menjadi moment of truth dan membersihan nama anda sebagai Malin Kundang. Sangat naif dan menjadi pahatan kelam sejarah, Dewan Pers di bawah kepemimpinan anda (Ninik Rahayu) yang sempat diselimut konstroversi legalitasnya membuat produk yang kontroversial. Masih ada waktu untuk Sasongko Tedjo, Henry Ch Bangun, Sakedang, dan Ninik Rahayu untuk membuat sejarah.

Kedua adalah biarkan saja sengkarut terjadi dan palagan perseteruan berujung tanpa akhir. Menang jadi arang, kalah jadi abu, ibaratnya begitu. Tidak ada konflik dan perang yang membuat organisasi bertumbuh besar atau menjadi kuat. Konflik di mana mana melahirkan residu dan kehancuran. Jika masing-masing bertahan pada egonya. Biarkan saja PWI tinggal sejarah, tercerai berai dan mati.

Setelah itu dibangun PWI yang baru, tokoh organisasi ini sudah jauh dari semangat para pendiri pendirinya. Sejelek-jelek Harmoko, ia adalah tokoh PWI yang kemudian meniti karier puncak menjadi Menteri Penerangan, menorehkan pahatan manis.

Legenda berikut adalah Tarman Azam dan Margiono dengan segala kekurangannya keduanya menghantarkan PWI di era transisi. Di era Tarman Azzam, PWI mampu menjadi organisasi yang disegani, sebagai sekondan pemerintah. Margiono meninggalkan pahatan emas dengan program program brilian yang berjejak hingga sekarang, yakni pendidikan.

Sayang, sepeninggal Margiono, PWI gagal menjadi benteng idealisme. Politik uang makin menjadi jadi setiap kali kongres. Praktik yang sungguh naif, ironis, dan menjadi paradoks dari sebuah organisasi profesi yang menabalkan idealisme. Suasana kongres menjadi ruang kasak kusuk beraroma transaksional, ketimbang adu gagasan dan program. Bau kentut politik sedemikian menyengat dan tak susah untuk mengendusnya. Modus-modus karantina dan jual beli mandat menjadi praktik busuk yang terjadi di depan mata.

Kisruh dan sengkarut yang berlarut larut di tubuh organisasi yang bermarkas di Gedung Pers Kebon Sirih Jakarta bermula dari persoalan cuan juga. Buntut dari Kongres yang menandingkan duel klasik Atal Depari dan Henry Ch Bangun berlanjut dengan dengan bara yang tak padam begitu saja. Kelompok Atal Depari yang kalah satu satu suara di Kongres Bandung rupannya belum legowo.

Di Kongres sebelumnya, di Kota Solo, Hendry juga kalah satu suara dengan Atal Depari. Meski kongres berakhir, namun perang urat saraf belum tuntas. UKW-gate sesungguhnya persoalan remeh temeh, andai tak dibumbui persoalan akut buntut dua kongres terakhir.

Kini meski belum sepenuhnya pecah berkeping, namun keretakan menganga berawal dari persaingan dua tokoh yang keduanya menjadi orang-orang kepercayaan Margiono. Persoalan berkomplikasi ketika Dewan Kehormatan, yang dipimpin Sasongko Tejo tidak membuat keputusan yang dimuarakan pada rekonsiliasi. Sasongko, mantan Ketua Bidang Organisasi Era Margiono, terlalu naif dengan membuat keputusan hitam putih. Andai Sasongko berani membuat keputusan yang out of the box konflik PWI, endingnya bisa jadi tidak akan sehancur atau seberantakan ini??

Sasongko, Henry Ch Bangun, dan Atal adalah Trisula yang menjadi motor PWI era Margiono. Tetapi itulah manusia, lahir dari rahim yang sama dan mendapat warisan yang sama pula, yakni rumah besar bernama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sayang rumah itu ingin sama-sama memiliki, bukan hanya memiliki, tetapi menguasai. Mereka lupa pada sang patron, Margiono, dan juga tokoh tokoh lain yang telah berjasa membangunnya.

Palu Godam datang dari Ninik Rahayu (Dewan Pers) yang membuat keputusan intinya tidak lagi mengakui PWI, jika pihak yang berkonflik tidak berekonsiliasi. Bisa ya, bisa juga tidak, karena konflik Hendry Ch Bangun, dan Atal Depari, serta ada juga tangan Sasongko Tejo di sana bukan sebuah anomali, seperti air dan minyak.

Masih ada waktu, siapa yang dapat membangunkannya dari koma, tidak lain adalah mereka sendiri, termasuk inisiasi dari Dewan Pers (baca Ninik Rahayu). Ini bukan menunggu Godot. Semoga pelita kebijakan mengetuk hati dan nurani mereka. Atau akhirnya Dewan Pers akan terbentuk benar-benar tanpa PWI, dan wassalam Persatuan Wartawan Indonesia.

Jayanto Arus Adi adalah Wartawan Senior, Ahli Pers Dewan Pers. Pernah menjabat Sekretaris PWI Jateng dua periode. Pernah berkhikmat juga di Pokja Hukum Dewan Pers era Yosef Adiprasetyo (Stanley) dan era Prof M Nuh. Kini mengelola media online RMOL Jateng sebagai Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi.

Tulisan merupakan opini pribadi, tidak merepresentasikan atau mewakili organisasi/institusi/lembaga.