Surat Terbuka Untuk Presiden Prabowo Subianto

Jayanto Arus Adi, Pemimpin Redaksi
Jayanto Arus Adi, Pemimpin Redaksi

Seseorang akan dikenang, dicatat, dibukukan menjadi tokoh, pahlawan atau sebaliknya sang waktulah yang jadi pengujinya. Karena peradaban tidak pernah luput dari pamrih dan kelindan kepentingan-kepentingan yang menyarunya.


Prabowo Subiyanto menjadi salah satu tokoh yang mengalami metamofosa serupa dalam perjalanan hidupnya. Dia pernah menjadi martir yang nasibnya kampul-kampul (Bahasa Jawa, artinya tak menentu nasibnya) di penghujung akhir rezim Orde Baru.

Siapa pun, atau semua, tahu sosok Prabowo, tentara bertalenta dan sekaligus The Rising Star. Namun, perjalanan hidupnya tiba-tiba surut, decline oleh turbulensi politik yang menggayuti.  Menyitir narasi yang sering dilekatkan dengan situasi pelik, maju kena, mundur kena, berhenti mati, yakni Vivere Pericoloso pernah dihadapinya. Menjadi gambaran, betapa bumi dan langit menghimpit begitu rupa tatkala dia (Prabowo) dilucuti Bintangnya, terpaksa (dipaksa) meninggalkan keluarga (anak-istri) dicap sebagai pecundang, betapa perihnya.

Untuk ukuran (manusia) biasa tamat sudah, atau ibarat tutup buku. Tetapi fase itu menjadi sebuah testimoni hidup seorang Prabowo Subiyanto. Trah kusuma rembesing madu, wijining sutapa, tedhaking andana warih menjadi afirmasi atas lakon, dan sekaligus unjuk pembuktian ikhwal yang sesungguhnya. Ksatria sejati tidak akan pernah mati, meski maut menghadang. Prabowo, ksatria yang benar-benar teruji oleh waktu.

Bagai Gatotkaca, Putra Bima, palu godam yang telah mencabik, menghancurkan hidupnya memaksanya tapa brata. Dia (Gatotkaca) sebagaimana dikisahkan dalam Epos Mahabarta melakukan olah kanuragan di Kawah Candradimuka. Laku biasa sudah tak mempan lagi, seperti jalan buntu sehingga harus menjalani laku pamungkas, hanya satu pilihan, yakni masuk Kawah Candradimuka. Semua itu sudah dialami di alam nyata bukan dalam mimpi, yakni ketika semua dilucuti, dan diusir, harus meninggalkan keluarga, serta stigma buruk dilekatkan.

Bermukim di Yordania menjadi fase hijrah seperti memulai kehidupan dari nol lagi. Pelajaran yang bagi orang banyak (awam) bisa jadi tak mampu dijalani. Itulah karma baik, dalam terminologi Budha, berlaku orang baik akan bernasib baik. Ada peran dan tangan Dewa yang menyelamatkan. Saya percaya Prabowo sosok, dan pribadi yang baik. Karenanya dalam situasi terjepit, dan tiada harapan kuasa Allah menyelamatkan.

Berguru Pada Jokowi

Tiga kali ikut dalam kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) menjadi tempaan tersendiri bagi putra Begawan Ekonomi, Prof Soemitro Djoyohadikusumo ini. Apalagi bagi pria kelahiran Jakarta, 17 Oktober 1951 atau 73 tahun silam, dua kali dari laga itu menghadapi lawan (Capres) yang sama, yakni Joko Widodo. Relasi antara Prabowo dan Joko Widodo sangat unik dan bernuansa.

Saat dia (Jokowi) masih menjadi Wali Kota Solo, Prabowo adalah tokoh yang pertama kali meng-endorsnya untuk di-biding menjadi Gubernur DKI. Sejarah mencatat fakta itu sebagai jejak yang publiknya juga memberi afirmasi. Artinya, maaf ada klaim dari sementara pihak yang kemudian menarasikan secara tidak proporsional. Karena fakta otentiknya memijakkan pada bukti-bukti yang ada demikian adanya.

Dengan begitu relasi Jokowi - Prabowo bukan sesuatu yang instan, apalagi produk agenda dadakan untuk kepentingan jangka pendek, sama sekali tidak benar. Karena meski berkompetisi dalam kontestasi Pilpres, dan bahkan terjadi dua kali, yakni 2014 dan 2019. Namun, didorong sikap kedewasaan, atau kematangan, lebih tepat kenegarawanan hubungan keduanya begitu Istimewa. Secara terbuka Prabowo pernah menyampaikan, usai memenangi Pilpres 2019, Jokowi menyambangi sang lawan di kediamannya untuk mengajak masuk kabinet.

Menerima ajakan Jokowi, hebatnya Prabowo juga mau. Inilah yang dimaksud pelajaran tentang keteladanan. Dalam pidato usai dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia ke-8, Prabowo mengatakan, ikan busuk mulai dari kepalanya. Artinya pemimpin harus memberi contoh dan keteladanan. Keputusan, sikap Prabowo mau, atau menerima menjadi pembantu Jokowi bukan persoalan yang gampang.

Namun, diniati demi bangsa dan negara pilihan, keputusan itu diambil.  Secara ksatria Prabowo mengakui Jokowi mempunyai leadership yang menginspirasi untuk belajar. Jadi dia berguru pada orang yang memang hebat, karena mengalahkannya dua kali berturut-turut.

Pelajaran, dan perjuangan yang tidak dapat dilukiskan bagaimana semua itu berjalan sungguh-sungguh luar biasa. Melalui proses yang begitu mengharu-biru, pantas Jenderal (Purn) Prabowo memuncaki tahta sebagai Presiden Ri ke-8.

Apa makna dari capaian itu? Tidak lain adalah manifestasi untuk memberi sumbangsih pada bumi pertiwi. Jutaan harapan disematkan di pundaknya, ke mana Kapal Besar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bakal dihela.

Pidato perdana Presiden Prabowo usai dilantik dalam beberapa hal menjadi pernyataan yang mendamaikan. Rakyat berharap keadilan bukan utopia, bukan retorika, juga bukan ilusi. Keadilan menjadi nafas dan darah yang menghidupi bangun kebangsaan ini. Negara bukan menjadi entitas yang berjarak. Negara hadir sebagai rumah tempat warga bangsa ini berteduh.

Politik bukanlah sistem tata kelola negara dalam mengejawantahkan aturan yang memasung, tetapi politik adalah kemuliaan. Sistem demokrasi kita rasanya salah, bukan demokrasi yang menjadikan rakyat sebagai pemegang daulat. Demokrasi kita hari ini salah kaprah, kebablasan dan keblinger. Karena mendistorsi, mengebiri, dan membuat rakyat pangling dengan mereka yang mewakili. Mereka datang dan menduduki tahta karena uang, bukan sematan amanat hati nurani.

DPR menjadi rumah para badut yang duduk karena membeli atas dasar uang dan transaksi. Akhirnya korupsi merajalela. Korupsi terjadi mulai dari desa sampai Istana. Membuat yang kaya makin kaya, yang miskin bertambah sengsara. Lihat di desa-desa, anak-anak berubah menjadi malas Bertani, berladang, atau menggembala, kambing, kerbau, dan ternak lainnya. Mereka lupa dan asing dengan sawah, ladang atau huma.

Gotong royong merapuh, kebersamaan lumer, orang desa gagap memaknai pranata mangsa. Apa itu moso siji, moso karo, telu, papat dan seterusnya'. Padahal di balik itu semua ada nilai, value yang menghadirkan kearifan. Wong Ndesa sekarang sudah malih rupo, tidak madesan lagi yang menjunjung etos agraris, menjadi alam sebagai wajah, tetapi mereka memunggunginya.

Mereka silau, dan mabuk oleh mimpi-mimbi yang bertabur di layer kaca, tanpa ada kesiapan, apalagi memahami apa itu globalisasi. Desa bukan merupakan perdikan yang teduh, nyaman, damai, seperti senandung lirik Desaku Yang Kucinta (ciptaan L Manik). Desa tidak lain paradoks tempat penghisapan dan eksploitasi. Karenanya Pilkades berubah menjadi bursa taruhan, bukan lagi sebuah proses atau meritokrasi yang memijakan pada bibit, bebet dan bobot.

Kepala Desa sekadar simbol oligarki kecil menjadi tangan panjang rezim atau penguasa. Masjid, surau, langgar terpuruk; yang ada hanya mereka para tetua karena anak anak dan generasi mudanya pergi ke kota, atau kongkow-kongkow menjadi parasit di desanya sendiri.

Pak Prabowo, itu keluh kesah dan ungkapan yang datang dari lubuk hati. Kami percaya Pak Prabowo terpilih karena memang kehendak rakyat, dan takdir Allah yang Maha Kuasa. Karenanya rakyat menunggu realisasi atas janji-janji dan program yang pada banyak panggung didengungkan.

Pidato perdana usai dilantik memberi harapan dan optimisme dari warga Bangsa ini. Anda sudah merasakan tiga kali kalah betapa perihnya hati ini. Pak Prabowo, jangan biarkan rakyat, wong cilik, menderita, lapar dan haus, juga mau apa-apa susah. Kami ingin dan menunggu karya anda mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bangsa ini dalam artian yang sesungguhnya.

Zamanku (Prabowo) enak tenan, bukan seperti ungkapan yang sering menyaru, ‘’Isih luwih enak zamanku (Soeharto) to?’’. Demikian, tabik untuk semua. Selamat berkarya Pak Prabowo.

Jayanto Arus Adi, Wartawan Senior, Ahli Pers Dewan Pers, Aktif di Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Konstituen Dewan Pers, duduk sebagai Ketua Bidang Pendidikan, Pelatihan dan Litbang. Mengajar Jurnalistik di beberapa Perguruan Tinggi, dan ikut bergiat di Satupena, organisasi yang dipimpin Denny JA. Saat ini memimpin juga Mobile Jurnalis Indonesia, organisasi yang mengadvokasi dan mengedukasi praktisi dan jurnalis berbasis Android. Melola Media Online Lokal, yakni RMOL Jawa Tengah- Political Online Media yang cukup berpengaruh sebagai Pemimpin Umum juga Pemimpin Redaksi.