Sihir korupsi

Tragedi demi tragedi yang menimpa bangsa kita sepertinya bukan menjadi pelajaran. Artinya jika itu sebuah kesalahan, maka perlu koreksi langkah agar tidak terjadi lagi di kemudian hari. Seperti pepatah, hanya keledai dungu yang akan terperosok pada lubang sama kedua kalinya. Bukankah seperti itu? Pelbagai tragedi yang mendera kita sepertinya justru menjadi sesuatu yang diakrabi.


Dari tahun ke tahun misalnya, Jakarta dihajar banjir, namun nyaris tidak ada penanganan yang memadai. Warga ibukota bukan menggugat atau menuntut pemerintah DKI untuk melakukan antisipasi. Padahal peluang itu sebenarnya ada. Itulah yang membuat pihak pemerintah akhirnya juga cenderung abai, karena tokh ada permaafan dari masyarakat. Dan akhirnya, ikhtiar sungguh-sungguh dan kebijakan yang benar-benar focus serta tuntas mengantisipasinya praktis tak ada.

Yang terjadi kemudian adalah banjir dan banjir lagi. Tidak hanya soal banjir, terkait macet yang menggila di ibukota yang menguras sebegitu banyak beaya setali tiga uang. Dalam rentang waktu panjang, dari gubernur ke gubernur nyaris tidak ada langkah ad hoc yang mendasar bagaimana mengurai kusut masainya kemacetan ibukota.

Sikap atau perilaku semacam itu boleh jadi adalah stigma bangsa kita. Bermacam, beragam tragedi yang menampar, menghajar, bahkan membuat kita semua babak belur tidak juga menjadi pelajaran. Beberapa saat saja kita terhenyak, marah dan mungkin mengumpat.

Ahh tapi itu sekejap saja, tidak lama juga berlalu, dan yang luar biasa ada sikap permisif, selanjutnya dibiarkan alias tak dihiraukan lagi. Baik hati nian warga bangsa ini. Jangan heran para koruptor dan bajingan uang negara, perusak generasi muda seperti bandar bandar narkoba hidup nyaman, dan terhormat di negeri kita ini.

Banyak soal, banyak contoh bisa menjadi catatan kita seputar itu semua. Simak saja skandal-skandal politik di negeri ini, praktik kejahatan masa lalu rezim orde baru, atau megakorupsi, seperti skandal BLBI, praktik korupsi di senayan, kisruhnya pelayanan haji dan lain sebagainya.

Apa yang dijejer berderet-deret di atas, dan mungkin jumlahnya diluar perkiraan kita semua, tokh akhirnya juga dilupakan.

Sebenarnya apa yang menjadi ujung pangkal pemicu dari persoalan-persoalan di atas. Bisakah kita bersepakat ujung pangkal dari semua itu adalah korupsi. Ya korupsi! Sihir korupsi bisa jadi telah membawa kita seperti sedang berada di lautan atau di dalam hutan. Sedemikian kuat dan mengakarnya korupsi dalam kehidupan di negeri ini, kita sendiri mungkin tak menyadari telah berperilaku atau larut dalam budaya itu.

Seperti di lautan, yang kita lihat adalah air, air, dan air. Atau karena kita berada di dalam hutan yang kita lihat tiada lain kecuali pohon, pohon dan pohon. Luar biasa.

Kenapa banjir datang karena korupsi,  kenapa kecelakaan terjadi karena korupsi, kenapa lalu lintas macet karena korupsi, kenapa pelaksanaan ibadah haji semrawut, karena korupsi, kenapa olah raga hancur, karena korupsi, kenapa narkoba menggila karena korupsi, kenapa pendidikan tak bermutu karena korupsi. Masya allah, korupsi telah benar-benar merambah hampir di seluruh sendi.

Bayangkan mulai dari sawah pupuknya dikorupsi, pembangunan sarana kesehatan seperti Puskesmas juga dikorupsi, pembangunan masjid apalagi, gereja begitu juga. Apalagi yang yang tersisa kalau pembinaan olah raga pun juga dikorupsi. Sportivitas limbung karena uang jadi panglima. Idealisme runtuh karena jargonnya maju tak gentar membela yang bayar.

Mari kita coba telisik satu persatu. Banjir datang karena HPH diperjualbelikan, sehingga pembabatan hutan semaunya sekenanya. Kecelakaan terjadi karena pembangunan jalan asal-asalan, tanpa drainage, dan aspalnya tipis-tipis saja karena duitnya nyankut ke mana-mana. Tak pelak begitu hutan jalan berubah jadi sungai, dan ketika kering asplanya mengelupas semua.

Yang seperti itu, bisakah kita bersepakat sebagai sihir korupsi. Tak susah menambah deretan sihir-sihir korupsi yang lain. Kasus kasus laka lantas, seperti rem blong yang beberapa bulan terakhir terjadi di Semarang juga sangat mungkin karena perilaku lancung, ada kongkalikong antara pengusaha angkutan dan otoritas pemberi izin.

Karena uang, karena sogokan armada yang tak layak tetap saja lolos uji kir dan lain sebagainya.

Peraturan yang mestinya ditegakkan menjadi bengkok karena uang. Korupsi lagi. Rasanya lengkap sudah dan meski tak melihat kita bisa merasakan. Seperti bau kenthut, ujudnya kita tak tahu, tapi baunya tetap saja terasa. Kejadian-kejadian serupa telah marak di semua sendi. Seperti berderet-deret kasus di atas, mulai dari masjid, gereja, mungkin juga istana, sampai lembaga sekolah, peradilan, dan olah raga tak luput dari praktik-praktik korupsi.

Kita semua tersihir, kita semua terpana. Mungkin juga kita ikut menikmati, mesti tak menyadarinya.  Jika sudah seperti ini, apa yang harus kita lakukan?? Ya, saya teringat kata-kata A Agym suatu waktu. Mari kita mulai untuk berubah, berbenah mulai saat ini juga, mulai dari hal-hal yang kecil, dan mulai dari diri kita masing-masing.

Jayanto Arus Adi