- Pertemuan Tanpa Orgasme (Antiklimaks) Mega-Prabowo (1)
- Sebuah Pesan Dari Kota Wali
- Batur-Batur Luar Biasa
Baca Juga
Eskalasi itu cenderung mendidih, beriringan dengan momentum Pilpres yang kini mendekati babak akhir. Kalau dihitung dalam hitungan hari, maka tanggal 14 Februari 2024 ini tinggal beberapa jengkal. Kristalisasi sikap yang dapat dimaknakan tak lagi sejalan itu membawa implikasi yang luas.
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri adalah tokoh legendaris, dia ibaratnya bahkan adalah The Queen (Sang Ratu) terkait dengan keputusan keputusan atau kebijakan politiknya di negeri ini. Siapa tak kenal Mega sebagai putri Sang Fajar? Dengan kharisma dan ketokohannya, Megawati mampu membawa Moncong Putih sebagai partai pemenang dalam pemilihan umum (2014 dan 2019) sebanyak dua kali berturut turut.
Pemilu 2024 ini mestinya merupakan momentum penting bagi PDI Perjungan untuk memahat sejarah dengan membuat hattrick. Memenangi Pemilu untuk ketiga kalinya dan berturut turut bagi PDI Perjuangan bukan mimpi di siang bolong. Artinya harapan itu sesungguhnya logis-logis saja, apalagi PDI Perjuangan menempatkan putra terbaiknya, yakni Joko Widodo menjadi orang nomor satu di negeri ini, yakni Presiden Republik Indonesia ke-7.
Dengan memijakkan perhitungan pada aspek-aspek di atas, semestinya hattrick ada di depan mata. Memang untuk itu butuh berbagai kearifan untuk menemalikan (ikat-mengikat) sikap agar ‘giling golog’ keputusan dapat diutuhkan menjadi sebuah langkah bersama. Ya, langkah bersama.
Pertama adalah dwitunggal Mega dan Jokowi mestinya bersatu pada kutub yang sama. Mega dan Jokowi adalah dua persona yang saling mengisi. Ketokohan dan khariswa Mega menjadi enigma bagi Partai Banteng Mencereng. Mega adalah The Queen, sementara Joko Widodo adalah The King.
Untuk diketahui saat ini Jokowi adalah representasi simbolik atas keberadaan wong cilik. Kehilangan Jokowi adalah identik dengan runtuhnya rumah wong cilik. Begitu juga PDI Perjuangan tanpa Megawati tak ubahnya ‘wayang kelangan gapet’ (wayang yang kehilangan fondasi dasarnya). Filosofi Jawa itu berlaku di sini. Artinya dwitunggal Jokowi dan Mega menjadi keniscayaan untuk terus kukuh dan kuatnya Partai Moncong Putih.
Turbulensi Yang Membelah
Pemilu 2024 menjadi ujian berat bagi PDI Perjuangan. Ketika keutuhan duet dwitunggal Joko Widodo dan Megawati mestinya lebih erat bergandeng tangan dan berjalan seiring, kita melihat justru muncul turbulensi yang membelah.
Dwitunggal itu kini retak, dan berada pada sikap diametral yang sulit dikompromikan. Entah apa yang memicu dikotomi sedemikian rupa sehigga keduanya berjalan pada muara masing masing.
Saya melihat dua hal yang menjadi penyulut keretakan itu, dan publik juga melihat terang.
Pertama adalah kontroversi acara sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 menjadi drama yang menyakitkan bagi Presiden Joko Widodo. PDI Perjungan yang notabene adalah Kawah Candradimuka sekaligus rumah Jokowi, sungguh telah melakukan tindakan tak elok ketika tiba-tiba mengambil sikap seperti. Ya, ini memang sudah ‘sego wadhang’ (terjadi) tetapi sedikit menjadi tapisan atas kondisi yang terjadi sekarang.
Menyiapkan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia, walau pun untuk kelas pemain muda, tentu bukan pekerjaan sehari dua hari. Ini seperti orang tua yang membiarkan anaknya pacaran, ketika sudah memasuki tahapan lamaran, tiba tiba diminta putus. Sang anak pasti meriang, stress, depressi dan mungkin saja bunuh diri.
Analogi di atas bisa jadi mewakili, mesti tak sepenuhnya persis. Jokowi seperti dipermalukan di hadapan FIFA (Federasi Sepak Bola Dunia) namun juga di depan masyarakat penggemar bola. Ketika itu mestinya bukan langkah politik yang ditempuh. Mestinya ada opsi yang lebih diplomatis dan hal tersebut akan membawa Indonesia menjadi lebih dihargai. Untuk catatan saja, semua telah menjadi bubur, tak mungkin memutar balik kembali jarum jam.
Ke dua adalah keputusan Megawati menunjuk Ganjar Pranowo dan mendeklarasikannya sebagai calon presiden di Batutulis. Keputusan itu buat Jokowi seperti petir di siang bolong. Karena ketika PDI Perjuangan sama sekali tak melirik, bahkan merundung Ganjar Pranowo sedemikian rupa, Jokowi lah yang justru tampil menjadi mentor sekaligus patronnya. Simak kembali pernyataan Trimedya Panjaitan, Puan Maharani, dan juga Ketua DPD PDI Perjuangan Bambang ‘Pacul’ Wuryanto.
Jokowi menurut hemat penilaian saya tidak mengingkari ikhwal dirinya adalah petugas partai. Pernyataan Megawati saat perhelatan HUT PDIpun tak membuat mantan Gubernur DKI ini bereaksi. Jokowi masih tetap seperti biasa, mengulum senyum, meski terlihat kegerahan tersirat di mukanya.
Namun demikian, ke permukaan tidak ada manuver politik yang dia dilakukan, apalagi mengirim sinyal pesan kepada publik. Ini berbeda ketika Surya Paloh mengumumkan Anis Baswedan menjadi calon presiden ketika itu.
Joko Widodo langsung tancap gas membangun komunikasi lintas-parpol. Koalisi besar digagas tidak lain sebagai bentuk antitesa atas apa yang dilakukan tokoh yang akrab dijuluki Pak Brewok alias Surya Paloh. Pertemuan-pertemuan dengan para pimpinan partai politik dilakukan dengan menebar pesan kepada masyarakat siapa sesungguhnya yang layak untuk dipilih. Duet Prabowo-Ganjar menjadi preferensi yang sempat menguat.
Tetapi ikhtiar adalah ikhtiar. Titah The Queen Mega memilih Ganjar menyadarkan Jokowi untuk paham atas bagaimana sikap Sang Ibu Ketua Umum. Saat ini tahapan dengan segala dinamika telah berproses dengan kristalisasi yang dapat kita baca. Mega dan Jokowi, laksana sedang bermain bidak catur. Pada babak ini saya melihat kedua belah saling mengunci dengan jurus jurus pamungkasnya.
SKAK-STER, ya, SKAK-STER!
Siapa yang kena skak-ster itu? Apakah jurus Jokowi yang menyodok Mega, ataukah sebaliknya Mega yang mengambil posisi itu? Nah, silakan publik bersabar dan menunggu, siapa ahli strategi dalam memainkan bidaknya: Jokowi atau Mega.
Yang jelas langkah itu akan membuat posisi sulit, dan keputusan berat. Mengamankan Ster Rajanya mati, mengamankan Raja kehilangan Ster. Buah simalakama.
Jayanto Arus Adi adalah Pemimpin Umum & Redaksi RMOL Jateng, Ahli Pers Dewan Pers. Ketua Bidang Litbang JMSI dan Direktur JMSI Institute, Penggiat Satu Pena Jawa Tengah, Konsultan Media & Politik, serta aktif mengajar di beberpa perguruan tinggi. Tulisan adalah opini pribadi dan tidak mewakili lembaga atau insitutsi di atas.
- Siapa Membunuh Siswa SMK?
- Matematika Spiritual Membaca Isyarat Alam Pilgub Jateng
- Memaknai Tangis Gus Miftah