‘’Dar, koe jarene saiki dadi bature tentara? Apa benar Dar?” (Kutipan petikan dialog Darmanto Jatman dengan Romo YB Mangunwijaya).
- Wacana (Pemimpin) Presiden Naturalisasi, Why Not?!
- Kasus Hasto Menyandera PDI Perjuangan
- Duuuh, duuuuh... IDI, IDI...
Baca Juga
Petikan itu adalah perbincangan yang terjadi sekitar 30 tahun silam antara Romo Mangunwijaya dengan penyair kribo Darmanto Jatman yang juga akademisi FISIP Undip Semarang.
Dua tokoh dengan segala pesonanya kala itu. Darmanto Jatman adalah ikon kecil Undip, dia juga menjadi semacam etalase pada zamannya. Tidak banyak tokoh yang posmo, sebutan untuk gaul kala itu. Darmanto adalah salah satunya. Sedangkan Romo Mangun, adalah rohaniwan, budayawan, dan novelis begitu bereputasi. Salah satu karyanya Burung Burung Manyar menjadi karya yang melegenda. Dua tokoh itu punya relasi khusus, mungkin seperti bapak dan anak, atau setidaknya kakak-adik.
Mendengar rumor Darmanto banyak bergaul dengan Kodam IV Diponegoro, Romo Mangun rada sensitif. Ketika itu, era orde baru militer menjadi antitesa dari Kampus.
Kebetulan Darmanto dengan gayanya yang borju, flamboyan juga populis jadi perhatian tentara. Lewat puisi dan orasinya sang penyair tak luput mengkritik tentara.
Rupanya Kodam (Kodam IV-red) punya misi untuk mendekatinya juga. Harapannya mungkin kalau dekat tidak lantas galak, apalagi mengusili. Jadilah Darmanto diangkat menjadi Staf Ahli Kodam IV Diponegoro.
Pertanyaan ‘’Dar, koe jarene saiki dadi bature tentara?’’ adalah bentuk konfirmasi sang Romo pada muridnya. Meski seorang rohaniwan (Romo) karena juga memiliki perhatian soal sosial dan kebudayaan, beliau mendengar juga soal sambilan Darmanto. Maka munculah pertanyaan itu.
Saya sebagai mahasiwa, jurnalis muda berkelindan juga dengan Pak Dar, begitu kalau di kampus kerap disapa. Sering kami berkunjung ke kediamannya di bilangan Menoreh, Sampangan, Semarang.
Bukan sendirian ke kediaman Darmanto. Persisnya saya ngintil dua senior yang lagi butuh sembur atau setidaknya tukar pikiran dengan Darmanto Yatman. Dua senior saya itu Bambang Supranoto, seorang insinyur tapi juga jurnalis, penyair. Meski di jagat kepenyairan Bambang Supranoto tak lagi bersinar, tapi dulu dia digadang-gadang Darmanto. Satu lagi S Prasetyo Utomo. Pras, panggilan untuk guru yang juga rajin menulis ini, kerap bersama-sama ketika mengunjungi Darmanto.
Prasetyo sekarang telah menjadi doktor dengan jejak karya kreatifnya telah diafirmasi publik, ketika itu sedang berproses mencari galah untuk meneguhkan eksistensi kreativitasnya. Sementara Bambang Pranoto tak banyak diketahui jejak pemikiranya. Sejak berkarier menjadi dosen di ATR Ronggolawe Cepu tak banyak-karyanya hadir di publik. Lewat medsos sering menulis puisi pusisi balada bertutur tentang dunianya saat ini.
Dialog Romo Mangun dengan Darmanto menjadi hangat di benak saya melihat fenomena batur batur Jawa di era yang lebih mengkini. Meminjam istilah maestro PDI Perjuangan Jawa Tengah, Bambang Patjul Wuryanto posisi ajudan (baca babu, lebih soft batur) adalah galah strategis untuk mengukir jatidiri.
Kita pasti mafhum dengan nama Mayor Teddy, ajudan Presiden terpilih Prabowo Subiyanto. Kalkulasi saya, Mayor Teddy kini telah memiliki track lapang untuk membangun kariernya. Jika Allah tidak berkehendak lain, ajudan kece ini hampir pasti sematan Bintang bakal diraihnya. Selain Mayor Teddy, ada sosok Budi Gunawan.
Bhayangkara dengan pangkat terakhir jendral berbintang empat polisi ini menemukan galah yang tepat untuk melambung, yakni Megawati. Ketika Mega menjadi Wakil Presiden, Budi Gunawan adalah ajudan atau baturnya. Relasi tumbuh dan melahirkan kuasa hegemoni pada perjalanan dia kemudian. Budi Gunawan pernah disebut ketika Tempo menulis laporan rekening gendut polisi. Lazimnya ketika warta disibak posisinya di ujung tanduk.
Namun, itu tidak terjadi pada Kepala BIN ini, terbukti walau pernah menjadi tersangka sangkaan itu mental karena menang di praperadilan. Pernah gagal menjadi Kapolri tetapi kariernya tetap mencorong. Hegemoni dan relasi patron klien sejak menjadi batur Mega diakui atau tidak melahirkan legacy atas kiprah seorang Budi Gunawan.
Posisi-posisi strategis di negeri alay-alay Indonesia ini diwarnai fenomena seperti di atas.
Hadi Cahyanto sekarang Menkopolhukam adalah tokoh yang beruntung mendapatkan kesempatan menjadi Danlumad Adi Soemarno Solo. Karena ketika bertugas di Sololah dia menemukan galah tukang kayu, yang kemudian menjadi Wali Kota, siapa lagi kalau bukan Joko Widodo. Jalan Hadi Cahyanto begitu lempang selepas menjadi Panglima TNI mendapat kepercayaan di Kementerian ATR dan BPN.
Tokoh yang digantikan kala itu adalah Sofian Djalil. Tak main main Sofian Djalil termasuk birokrat super. Kariernya melintasi dua presiden. Era SBY, pria kelahiran Aceh sudah dipercaya menjadi Menteri. Artinya dia bukan tokoh sembarangan. Kendati begitu Jokowi lebih memilih Hadi menggantikannya.
Ada lagi batur-batur yang luar biasa, seperti Tedy Minahasa, kemudian Sendi Ferdiansyah dan Devid Agus Yunanto. Tedy, ajudan Jusuf Kalla, sempat malang melintang, tetapi apes dia kesandung masalah skandal barang bukti ketika bertugas di Polda Sumbar. Amit-amit, Tedy terlibat skandal itu hingga dihukum dan kena pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Dua nama terakhir adalah Sendy Ferdiansyah dan Devid Agus Yunanto. Sendy saat ini sedang berikhtiar untuk maju Pilkada Kota Bogor. Sedang Devid Agus konon maju ikut berkontestasi suksesi di Kabupaten Boyolali. Kita lihat apakah hasil akhir memberi dua batur itu akan menapaki sukses juga. Bisa ya, bisa tidak, karena sang patron sebentar lagi lengser.
Kepada publik, baik Sendy, juga Devid Agus, berujar Iriana dan Jokowi sudah diminta restu atas ikhtiarnya itu. Masih menurut keduanya, Ibu Iriana dan juga Pak Jokowi bukan hanya merestui, namun memberikan dukungan. Apa bentuk dukungan yang dimaksud biarlah waktu yang akan mengujinya. Jika berhasil, tesis bahwa ajudan yang dalam terminologi Jawa disebut batur, ternyata menjadi galah untuk melentingkannya meraih sukses.
Menarik dari dialektika dalam konteks di atas ternyata relasi patron-klien diakui atau tadi menjadi media bertumbuhnya hegemoni. Kisah klasik dalam banyak ragam menghadirkan afirmasi serupa. Ken Arok sebelum naik tahta adalah prajurit binaan Tunggul Ametung. Tapi mengerikan, kisah Ken Arok meraih tahta diwarnai fragmen berdarah, yakni pembunuhan Tunggul Ametung.
Keris Empu Gandring yang menjadi sentral dalam epos Ken Arok sesungguhnya adalah galah dalam konteks sekarang. Naluri kekuasaan jika tidak dilandasi kearifan akan banyak diwarnai intrik dan tikam menikam. Saat ini kecenderungan perlu dicermati untuk menjadi sebuah simolakrum dan praktik kotor menjadi penguasa.
Keris sesungguhnya adalah simbol hegemoni yang dapat dimanifestasi dalam wujud nyata, yakni senjata, pusaka atau kuasa itu sendiri. Kekuasaan menjadi transenden ketika berselimut hegemoni. Kisah-kisah melanggengkan hegemoni terjadi sejak purba hingga sekarang melalui simolakrum yang sering kita hanyut dan larut di dalamnya.
Kembali melanjut kisah para batur-batur jawara, Mayor Tedy, Budi Gunawan, Tedy Minahasa dan deretan lain yang dapat dirangkaikan di sini adalah afirmasi atas kekuasan dengan kuasa sebagai inti. Hegemoni adalah value atas upaya untuk menjaga agar kekuasaan itu menjadi langgeng. Pilihan Jokowi kepada Gibran adalah testimoni paling mutakhir.
Relasi patron-klien, penguasa dan pendamping, pimpinan ajudan adalah perwujudan sahih mengamankan hegemoni dengan berupa rupa pola. Sayang kita sering lupa dan abai karena larut atau justru kinthir oleh keadaan. Indonesia saat ini sedang hanyut oleh derasnya perubahan yang tak disangka-sangka. Tak mengira Jokowi begitu, mengapa Jokowi tega. Pernyataan nyinyir sembari menyiratkan sesal atau kekecewaan adalah bukti mereka hanyut.
Saya justru ingin menabalkan hormat yang setinggi-tingginya pada tukang kayu asal Solo ini. Jokowi adalah personifikasi yang sempurna dua legenda zaman, yakni Kaisar Nero dan juga Napoleon Bonaparte. Nero, sang kaisar mashur, tahu kapan menghibur rakyatnya. Sembari menghibur rakyat menyaksikan perhelatan drama, dia membagi roti. Walhasil, rakyat senang, bahagia.
Napoleon adalah pemimpin tangguh yang menginspirasi. Revolusi Perancis adalah afirmasi atas eksistensi kepemimpinan Napoleon. Dari seorang tentara kemudian menapaki puncak kekuasan, Napoleon adalah Kaisar Perancis yang begitu disegani.
Jokowi adalah tokoh dan pemimpin yang mampu menggabungkan dua gaya kepemimpinan itu sekaligus. Pada saat mana dia harus melayani, dan pesan itu sampai pada rakyat; dan pada saat mana dia harus tegas. Indonesia beruntung mendapat pemimpin sekelas Jokowi. Kekurangan yang terjadi pada partai-partai politik, hanyut dalam arus cepat perubahan yang ada. Jika kemudian terjadi atau muncul kecenderungan abuse of power bukan salah Jokowi.
Pesan terakhir menutup catatan saya, jangan memandang rendah, apalagi merendahkan orang yang kita merasa ikut membesarkan. Pernyataan Mega mempermalukan Jokowi adalah sangkala yang meneguhkan nyali tukang kayu ini. Orang sering lupa di tangan seorang tukang kayu pohon yang kuat sekali pun dapat dapat ditaklukan, dipotong-potong menjadi apa saja.
Drs Jayanto Arus Adi, MM adalah wartawan senior, Ahli Pers Dewan Pers dan Ketua Bidang Pendidikan JMSI (Jaringan Media Siber Indonesia) Pusat Konstituen Dewan Pers. Aktif mengajar jurnalistik di beberapa perguruan tinggi, dan sedang menempuh program Doktoral di Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Semarang. RMOL Jateng adalah Media Online yang juga dipimpinannya sebagai Pemimpin Umum dan Redaksi sekaligus.
Tulisan dan opini bersifat pribadi tidak mewakili atau merepresentasikan institusi dan lembaga di atas.
- Wacana (Pemimpin) Presiden Naturalisasi, Why Not?!
- 4 Proyek DAK DPUPR Banjarnegara Senilai Rp27 Miliar Tertunda
- Satryo Brodjonegoro: Ini Pembenahan Dan Penyesuaian Kementerian