BUMN, KPK, Dan Keadilan Yang Ditinggalkan: Antara Janji Di Antartika Dan Celah Di Senayan

Presiden Prabowo Subianto Pidato Di Hadapan Para Anggota Legislatif, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dokumentasi
Presiden Prabowo Subianto Pidato Di Hadapan Para Anggota Legislatif, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dokumentasi

Tulisan ini disusun sebagai bentuk dukungan moral dan intelektual terhadap tekad Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dalam melawan korupsi hingga ke akar-akarnya. Janji Presiden untuk mengejar koruptor sampai ke Antartika bukanlah sekadar retorika kampanye, melainkan refleksi dari harapan jutaan rakyat yang telah lama menanti hadirnya negara yang benar-benar bersih dan berdaulat secara moral.

Namun, dalam upaya menunaikan janji besar ini, Presiden membutuhkan lingkungan hukum yang mendukung dan perUndang-Undangan yang memperkuat, bukan malah melemahkan.

 Di sinilah ironi besar muncul. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025, yang baru saja disahkan dan merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, justru mengandung pasal yang berpotensi menjadi ganjalan serius dalam pemberantasan korupsi. Pasal 9G dari Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara. Sekilas, ini terdengar teknokratik. Namun, dalam konteks hukum pidana korupsi, pasal ini ibarat palu yang memecah belah wewenang KPK.

Padahal, perlu digarisbawahi bahwa BUMN merupakan pengelola uang negara dalam skala sangat besar - triliunan rupiah dialokasikan ke dalam proyek-proyek strategis nasional, pembangunan infrastruktur, energi, dan pelayanan publik melalui entitas BUMN. Jika kita bicara soal potensi kerugian negara akibat korupsi, maka BUMN adalah titik rawan yang tak bisa dikecualikan dari jangkauan lembaga antirasuah. Menghapus status penyelenggara negara dari jajaran direksi dan komisarisnya adalah sebuah kemunduran serius dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum.

Namun, hukum bukan bangunan tunggal - ia adalah ekosistem. Maka mari kita lihat interkoneksinya secara struktural. Undang-Undang BUMN yang baru tak bisa berdiri sendiri. Ia harus dibaca bersama dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jika digambarkan dalam bentuk diagram Venn, ketiga Undang-Undang ini memiliki area irisan yang memperlihatkan bahwa meskipun status direksi BUMN telah dipisahkan dari penyelenggara negara, tindakan mereka tetap berada dalam wilayah yurisdiksi pidana apabila menyangkut penyalahgunaan keuangan negara.

Pasal-pasal dalam Undang-Undang Tipikor, misalnya, tidak terbatas hanya pada pejabat publik. Siapa pun yang merugikan keuangan negara, termasuk pihak swasta dan badan hukum non-negara, tetap dapat dijerat. KUHP bahkan memberikan ruang lebih luas dalam asas penyertaan dan persekongkolan, membuka peluang penindakan terhadap semua pihak yang bekerja sama dengan penyelenggara negara dalam skema KKN.

Dengan demikian, simulasi kasus berikut menjadi relevan: jika seorang direksi BUMN terlibat dalam kolusi dengan pejabat kementerian untuk mengatur tender proyek infrastruktur, melakukan markup anggaran, atau menerima suap dari rekanan swasta, maka meskipun ia bukan lagi disebut penyelenggara negara, ia tetap bisa dijerat bersama-sama pelaku lainnya oleh KPK atau Kejaksaan dalam sistem koneksitas. Namun, realitasnya pembatasan ini justru berpotensi menyulitkan proses awal penyelidikan oleh KPK - karena tak lagi bisa langsung masuk berdasarkan status jabatan pelaku.

Ini berbahaya. Korupsi adalah kejahatan yang sangat terorganisir dan licin. Memisahkan peran lembaga berdasarkan celah semantik dan status administratif hanya akan memberi waktu bagi pelaku untuk menghapus jejak atau merusak bukti. Dalam praktiknya, pemberantasan korupsi membutuhkan kecepatan, ketegasan, dan sinergi. Revisi ini justru mengacaukan collaborative justice - keadilan kolaboratif antara KPK, Kejaksaan, BPK, BPKP, hingga PPATK, yang harusnya bahu-membahu, bukan saling tunggu.

Lebih menyedihkan lagi, Revisi Undang-Undang BUMN ini disahkan di saat yang sama ketika Undang-Undang Perampasan Aset belum juga disahkan. Padahal, dalam banyak negara dengan sistem hukum progresif, non-conviction based asset forfeiture terbukti efektif dalam memulihkan kerugian negara. Seseorang yang tak mampu menjelaskan asal-usul hartanya yang mencurigakan, bisa dikenai perampasan tanpa harus menunggu putusan pengadilan pidana. Jika negara ingin serius memburu uang hasil korupsi, maka perampasan aset adalah senjatanya. Sayangnya, senjata itu belum diberikan. Justru baju besi untuk koruptor BUMN yang lebih dahulu disediakan.

Mengapa prioritasnya dibalik? Mengapa DPR memilih untuk melemahkan lembaga yang justru selama dua dekade menjadi benteng terakhir pemberantasan korupsi di Indonesia? Jawaban paling jujur, dan sekaligus paling menyakitkan, adalah: karena terlalu banyak kepentingan ekonomi-politik yang berlindung di balik struktur BUMN. Banyak elite memiliki posisi formal maupun informal di dalam jaringan perusahaan negara, baik sebagai komisaris, konsultan, maupun mitra strategis. Dalam konteks inilah, Revisi Undang-Undang BUMN menjadi manuver politik - bukan kebijakan hukum.

Kita patut bertanya: bagaimana Presiden bisa mengejar koruptor hingga ke Antartika jika di dalam negerinya sendiri celah perlindungan sedang dilegalkan? Bagaimana Presiden bisa menunaikan janji kampanye bersih-bersih BUMN jika lembaga penegak hukum seperti KPK justru dirantai?

Dalam logika keadilan ala Raja Sulaiman, hukum bukan sekadar teks. Ia adalah napas kebijaksanaan, kemampuan menembus niat dan konteks, bukan hanya jabatan dan definisi. Maka keadilan sejati akan tetap melihat pelaku BUMN yang mencuri uang negara sebagai pelaku kejahatan, apapun status hukumnya. Namun, keadilan tanpa alat adalah mimpi kosong. Presiden membutuhkan dukungan legislatif dan publik untuk memastikan bahwa alat-alat keadilan tetap tajam.

Akhir kata, tulisan ini bukan hanya seruan, tetapi juga pengingat. Bahwa perang melawan korupsi tidak akan dimenangkan hanya dengan pidato. Ia harus diperjuangkan melalui kebijakan yang konsisten, hukum yang komprehensif, dan keberanian moral yang teguh. Dan saat ini, perjuangan itu justru sedang diuji dari dalam.

Presiden telah bersumpah untuk mengejar para koruptor hingga ke Antartika. Namun kami ingin mengingatkan: sebelum melangkah sejauh itu, bersihkan dahulu pagar-pagar hukum di sekitar istana.

*) Tim Litbang, Ikatan Keluarga Besar Eks Tentara Genie Pelajar (TGP), Brigade XVII, TNI