Pembunuhan Karakter Pejuang Islam (2)

Kisah Babad Tanah Jawi Versi Meinsma
Mohammad Aslim Akmal. Dokumentasi Pribadi
Mohammad Aslim Akmal. Dokumentasi Pribadi

Terbunuhnya Sunan Prawata menimbulkan kemarahan luar biasa saudara perempuannya, Ratu Kalinyamat, yang menjadi penguasa Jepara. Ia tidak terima atas kematian Sunan Prawata karena dibunuh Arya Penangsang.

Ratu Kalinyamat memahami, bahwa Arya Penangsang adalah murid kesayangan Sunan Kudus, maka Ia kemudian mencoba menuntut keadilan kepadanya atas tindakan Arya Penangsang itu. Tetapi apa yang diperoleh Ratu Kalinyamat bukanlah keadilan yang diharapkan melainkan bertambah-tambahnya kesedihan dan kemarahan. Hal itu disebabkan Pangeran Hadiri, suaminya, tewas akibat serangan pasukan Arya Penangsang dalam perjalanannya pulang dari Kudus kembali ke Jepara. Cerita tersebut dikisahkan berikut ini:

“Kacariyos Sunan Prawata wau gadhah sadherek estri, anama Ratu Kalinyamat. Punika sanget anggenipun boten narimah pejahe sadherekipun jaler, lajeng mangkat dhateng ing Kudus kalihan lakinipun, sumeja nyuwun adil ing Sunan Kudus. Inggih sampun kepanggih sarta matur nyuwun adil. Wangsulanipun Sunan Kudus, kakangmu iku wis utang pati marang Arya Panangsang, samengko dadi sumurup nyaur bae, Ratu Kalinyamat mireng wangsulanipun Sunan Kudus makaten sanget sakit ing manah, lajeng mangkat mantuk. Wonten ing margi dipun begal utusanipun Arya Panangsang, lakinipun Ratu Kalinyamat dipun pejahi, Ratu Kalinyamat sakalangkung memelas. Sabab mentas kepejahan sadulur, nunten kepejahan bojo, dados sanget enggenipun prihatos. Lajeng martapa awewuda wonten ing redi Danaraja, kang minengka tapih remanipun kaore, Ratu Kalinyamat amedalaken prasetya, boten purun angangge sinjang salaminipun gesang, yen Arya Jipang dereng pejah, punapa dene apunagi sinten-sinten kang saged amejahi Arya Jipang, Ratu Kalinyamat badhe ngawula lan sabarang gegadhahanipun kasukakaken sadaya.”

[“Dikisahkan, Sunan Prawata mempunyai saudara perempuan bernama Ratu Kalinyamat. Ia tidak menerima atas tewasnya saudara laki-lakinya itu, lalu menemui Sunan Kudus bersama suaminya, untuk meminta keadilan kepada Sunan Kudus. Kakakmu itu berhutang nyawa kepada Arya Penangsang, jadi kau tahu bagaimana aku menjawabnya. Ratu Kalinyamat mendengar jawaban Sunan Kudus seperti itu hatinya sangat sakit. Lalu ia pulang. Di tengah perjalanan, tentara rahasia Arya Penangsang menyerangnya, dan suami Ratu Kalinyamat terbunuh. Ratu Kalinyamat bertambah sangat sedih. Karena setelah kehilangan saudaranya, sekarang kehilangan suaminya, ia sangat prihatin. Kemudian ia bertapa telanjang di bukit Danareja, rambutnya terurai menjadi pakaiannya, Ratu Kalinyamat bersumpah tidak akan memakai pakaian selamanya jika Arya Penangsang belum mati. Siapa saja yang berhasil membunuh Arya Jipang, Ratu Kalinyamat akan mengabdi kepadanya dan memberikan semua hartanya.”]

Dalam cerita kisah tersebut Sunan Kudus dipersepsikan sebagai orang yang tidak memiliki sikap arif bijaksana ketika menghadapi Ratu Kalinyamat yang sedang berkabung atas tewasnya kakak laki-lakinya, Sunan Prawata.

Sunan Kudus justru dikesankan tidak adil karena membela murid kesayangannya, Arya Penangsang. Hal itu dipahami dari dialog antara Sunan Kudus dengan Ratu Kalinyamat yang meminta keadilan atas tewasnya Sunan Prawata. Atas keadilan yang diminta oleh Ratu Kalinyamat, Sunan Kudus ketika itu menjawab: “Kakakmu itu berhutang nyawa kepada Arya Penangsang, jadi kau tahu bagaimana aku menjawabnya”. Jawaban Sunan Kudus tersebut menambah kesedihan dan kecewa Ratu Kalinyamat.

Lalu bagaimana sikap Sunan Kudus setelah Arya Penangsang berhasil membunuh Sunan Prawata dan Pangeran Hadiri? Meskipun Arya Penangsang telah berhasil membunuh Sunan Prawata ternyata hal itu tidak membuat hati Sunan Kudus menjadi lega. Sunan Kudus ternyata merasa masih belum puas jika Arya Penangsang belum membunuh saudara Sunan Prawata lainnya. Rupa-rupanya Sunan Kudus menyimpan ambisi besar akan menjadikan Arya Penangsang sebagai penguasa dan pemimpin di Tanah Jawa dengan cara mengorbankan saudara Sunan Prawata lainnya.

Demi terwujudnya ambisinya, Sunan Kudus kembali berusaha menghasut dan mempengaruhi kemarahan Arya Penangsang agar ia juga membunuh saudara Sunan Prawata lainnya, yaitu Sultan Pajang. Sebab Sultan Pajang dianggap sebagai penghalang. Hal itu tergambar dengan sangat jelas dalam dialog antara Sunan Kudus dengan Arya Penangsang pada kisah selanjutnya, di bawah ini:

“Kacariyos Sunan Kudus, pinuju saweg rerembagan kalihan Arya Panangsang, Sunan Kudus ngandika, "Kakangmu ing Prawata lan Kalinyamat samengko wis padha mati, nanging durung lega atiku, yen kowe durung jumeneng ratu amengku ing tanah Jawa kabeh, lan yen misih adhimu Sultan Pajang dakkira kowe ora bisa dadi ratu, sabab iku kang amakewuhi."

[“Dikisahkan, Sunan Kudus, saat berbincang dengan Arya Penangsang, Sunan Kudus berkata, “Kakakmu di Prawata dan Kalinyamat sudah meninggal, tetapi hatiku belum lega, jika engkau belum menjadi raja di seluruh Jawa, jikalau saudaramu Sultan Pajang masih ada, kurasa engkau tidak mungkin bisa menjadi raja, sebab itu yang akan menjadikan penghalang.”]

Arya Panangsang matur,

[“Arya Penangsang berkata:”]

"Menawi pareng ing karsa sampeyan, nagari Pajang badhe kula gebag ing prang, pun adhi ing Pajang kula pejahi, supados sampun amakewedi."

[“Jika itu kehendak Anda, aku akan menaklukkan kerajaan Pajang dengan peperangan dan akan kubunuh saudara-saudaraku di Pajang, sehingga mereka menjadi takut.”]

Sosok Pribadi Sunan Kudus

Profil kepribadian Ja’far Shadiq yang kita kenal dengan Kangjeng Sunan Kudus terpampang dengan sangat jelas dalam prasasti al-Masjid al-Aqsha Menara Kudus yang tertempel di atas mihrab masjid hingga sekarang masih ada dan terawat baik. Prasasti berwujud artefak inilah satu-satunya fakta sejarah tak terbantahkan sebagai rujukan utama untuk mengetahui dan memahami sosok pribadi Ja’far Shadiq sebagai pendakwah Islam sekaligus pendiri Negeri Kudus pada abad 16 Masehi. Prasasti al-Masjid al-Aqsha Menara Kudus merupakan dokumen resmi negara yang dikeluarkan otoritas Negeri Kudus. Prasasti tersebut berupa lempengan batu hitam berbentuk persegi panjang yang bidangnya memiliki ukuran panjang 41 cm dan tinggi 23,5 cm.

Prasasti al-Masjid al-Aqsha Menara Kudus memuat lima baris epigrafi beraksa-ra Arab bertipologi khat tsulus. Berikut ini adalah salinan transkrip epigrafi prasasti al-Masjid al-Aqsha Menara Kudus selengkapnya hasil penelitian dan pembacaan oleh KH. Hilal Haedar, Damaran Kudus pada tanggal 16 November 2023 bersama penulis, sebagai berikut:

  1. بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ بَنَا الْمَسْجِدَ الْاَقْصَى وَبَلَدَ الْقُدْسِ خَلِيْفَةُ هَذَا الدَّهْرِحِيْنَ مُكْمِلٍ
  2. يَسْتَجْرِى غَدًا فِى جَنَّةِ الْخُلْدِ نُزُلًا وَقُرْبًا مِنَ الرَّحْمَنِ بِبَالِهِ مُنْزِلَ أَنْشَأَ هَذَا الْمَسْجِدَ الْمُبَارَكَ الْمُسَمَّى بِالْاَقْصَى خَلِيْفَةُ اللَّهِ
  3. فِى الْاَرْضِ اَلْحَاضِرُ فِى أَجَلِهَا اَلْعَرْشُ شَيْحُ الْاِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ زَيْنُ الْعُلَمَاءِ وَالْمُجْتَهِدِيْنَ الْعَالِمُ الْعَامِلُ الْكَامِلُ الْفَاضِلُ
  4. الْمَخْصُوصُ بِعِنَايَةِ رَبِّهِ الْخَالِقِ الْقَاضِى جَعْفَرُ الصَّادِقُ ابْتِغَاءً لِوَجْهِ اللَّهِ وَعِمَادًا بِكِتَابِهِ وَاتِّبَاعًا لِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
  5. وَكَانَ التَّارِيْخُ تَاسِعَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَجَبٍ فِى سَنَةِ سِتَّةٍ وَخَمْسِيْنَ وَتِسْعِ مِائَةٍ مِنَ الْهِجْرَةِ النَّبَوِيَّةِ وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَأَصْحَابِهِ اَجْمَعِيْنَ.

Artinya :

  1. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Telah memba-ngun al-Masjid al-Aqsha dan negeri Kudus, Khalifah abad ini telah merintis
  2. pembangunan masjid yang penuh berkah dan diberi nama al-Aqsha, Khalifah Allah
  3. di muka bumi, Sesepuh Islam dan kaum muslimin, tokoh para ulama dan mujtahid, yang alim, pengamal ilmu, sempurna, utama,
  4. dan diberi kekhususan oleh pertolongan Tuhannya Yang Maha Pencipta, yaitu Qadli Ja’far Shadiq, semata-mata demi keridlaan Allah, berpegang pada kitab-Nya, dan berpijak pada Sunnah Rasulillah SAW.
  5. dan tarikhnya adalah tanggal ke sembilan belas dari bulan Rajab pada tahun sembilan ratus lima puluh enam dari Hijrah Nabi (19 Rajab 956 H). Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Junjungan kita Nabi Muhammad, kepada keluarga dan para sahabat beliau seluruhnya.”

Epigrafi prasasti khusus menjelaskan sejarah pembangunan Masjid al-Aqsha Menara Kudus dan berdirinya negeri Kudus. Selain itu, memberikan gambaran sosok pribadi Ja’far Shadiq, prasasti al-Masjid al-Aqsha Negeri Kudus juga menginformasi-kan tentang tarikh atau masa pembangunan masjid dan berdirinya negeri Kudus, yaitu 19 Rajab 956 H atau 23 Agustus 1549 TU.

Penggambaran sosok pribadi Ja’far Shadiq dalam prasasti dinyatakan dalam bentuk laqab atau gelar. Gelar tersebut disematkan kepada nama Ja’far Shadiq sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan agar diketahui dan dipahami masyarakat muslim tentang bagaimana kepribadiannya tatkala masa hidupnya serta ketika dirinya berperan sebagai pemimpin negeri Kudus.

Laqab atau gelar tersebut disematkan pada nama Ja’far Shadiq sesudah masa kewafatannya. Gelar tersebut menunjukkan betapa jati diri Ja’far Shadiq sebagai pribadi yang sangat dihormati dan diteladani. Gelar tersebut juga sebagai pengakuan atas jasa besar Ja’far Shadiq yang telah berjuang mendakwahkan Islam, untuk negeri, dan untuk masyarakatnya.

Dalam baris ketiga prasasti al-Masjid al-Aqsha Menara Kudus tertulis berbagai gelar yang diberikan Ja’far Shadiq, yaitu: شَيْخُ الْاِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ زَيْنُ الْعُلَمَاءِ وَالْمُجْتَهِدِيْنَ اَلْعَالِمُ اَلْعَامِلُ اَلْكَامِلُ اَلْفَاضِلُ yang artinya “sesepuh Islam dan kaum muslimin, pemimpin para ‘ulama dan mujtahid, yang alim (orang yang berpengetahuan luas), pengamal ilmu, yang sempurna, dan yang utama. Berbagai gelar yang disematkan kepada Ja’far Shadiq tersebut memberikan pemahaman secara terang dan jelas tentang bagaimana sosok pribadinya.

Tulisan sebelumnya dapat dibaca pada tautan berikut:

Pembunuhan Karakter Pejuang Islam (1)

Cerita Kisah Yang Mendistorsi

Kisah-kisah yang tertulis dalam cerita Babad Tanah Jawi versi Meinsma sebagaimana penulis bahas di atas memberi pemahaman secara gamblang, bahwa Sunan Kuduslah orang yang mula-mula menjadi pematik terjadinya permusuhan.

Sunan Kudus berhasil menghasut Arya Penangsang agar membunuh Sunan Prawata, walaupun berakibat pula terbunuhnya istri Sunan Prawata. Dan tidak hanya itu saja. Sunan Kudus ternyata juga menyimpan ambisi besar untuk menjadikan Arya Penangsang, murid kesayangannya sebagai raja dan penguasa di Tanah Jawa.

Demi mewujudkan ambisinya, Sunan Kudus memperalat Arya Penangsang dengan cara mempengaruhinya agar ia juga membunuh Sultan Pajang. Sebab Sultan Pajang masih menjadi ganjalan hati dan pikirannya. Jika Sultan Pajang berhasil dibunuh, maka Arya Penangsang baru dapat menduduki jabatan sebagai raja dan penguasa Tanah Jawa keseluruhan dan Sunan Kudus baru akan merasa lega. (bersambung)

*) Moh Aslim Akmal, Budayawan Dan Pemerhati Sejarah Islam