Jakarta - Kepolisian Republik Indonesia menerbitkan kewajiban bagi jurnalis asing untuk mendapatkan Surat Keterangan Kepolisian (SKK) melalui Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2025 Tentang Pengawasan Fungsional Kepolisian Terhadap Orang Asing pada 23 Maret 2025 lalu.
- Pemerintah Perlu Waspadai Kebijakan Tarif Impor Trump
- Apakah Ormas Berhak Menjadi Negara Di Dalam Negara?
- Membawa Agama Yang Ekologis Dan Penuh Kasih
Baca Juga
Polemik Berkecamuk Sengit Dalam Membela Hak Asasi Manusia
Di dalam Peraturan Polisi Nomor 3 Tahun 2025, hierarki peraturan yang menjadi rujukan pengaturan adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
Secara hierarki hukum, Peraturan Polisi ini tidak mengacu pada Perubahan Undang-Undang Nomor 63 Tahun 2024 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian yang diundangkan pada 17 Oktober 2024 mengenai Pemberian Izin Masuk Warga Negara Asing. Pengaturan ini termasuk juga bagi wartawan di Indonesia.
Pasal Peraturan Polisi yang menjadi puncak polemik masyarakat adalah Pasal 15 Ayat (2) yang sebut bahwa Kepolisian berwenang melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di dalam wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait.
Jelas rujukan perundang-undangan yang membingungkan di dalam Peraturan Polisi ini menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Polemik segera merebak dimana pihak pers dan kaum sipil mempertanyakan kewenangan polisi terhadap pasal pengawasan warga dengan perkara pangkalnya yakni Hak Asasi Manusia. Polemik juga menjadikan pihak Polri tergambar ingin merangsek mencekal warga sipil.
Sudut Pandang Sektor Pers
Dari sudut pandang sektor pers, isi dari peraturan kepolisian itu bertentangan dengan peraturan yang mengatur tentang pers yakni Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Peraturan Polisi ini juga tidak memperhitungkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran yang juga mengatur tentang wartawan di bidang penyiaran di Indonesia.
Peraturan Pemerintah itu juga bersambung dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 42/PER/M.KOMINFO/10/2009 Tentang Tata Cara Memperoleh Izin Bagi Lembaga Penyiaran Asing Yang Melakukan Kegiatan Peliputan Di Indonesia Perizinan Kegiatan Kerja-Kerja Pers Dan Jurnalis Asing. Peraturan ini jelas memastikan bahwa jurnalis asing berada di bawah yurisdiksi Menteri Komunikasi dan Informatika.
Sebagai regulator bidang pers, Dewan Pers memiliki kewenangan untuk mengawasi giat jurnalis asing sebagaimana fungsi yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pers. Turunan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran mengatur monitoring terhadap para pekerja pers asing yakni Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2005 Tentang Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Asing yang mengacu kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran.
Dewan Pers, dalam siaran persnya, bahkan menyebut Peraturan Polisi ini sebagai secara substantif potensial melanggar prinsip-prinsip pers yang demokratis, profesional, independen, menjunjung tinggi moralitas dan mengedepankan asas praduga tidak bersalah
Polemik yang carut marut ini membuat Dewan Pers menyesalkan mengapa dalam penyusunannya, para penyusun Perpol Nomor 3 Tahun 2025 ini dibentuk tanpa mengadakan konsultasi terlebih dahulu dengan Dewan Pers dan konstituennya.
Apa Itu Dewan Pers?
Dewan Pers sederhananya adalah regulator insan dan kemerdekaan pers di sektor pers. Konstituen Dewan Pers terdiri dari berbagai asosiasi dan institusi profesi dan serikat yang memiliki total keanggotaan puluhan hingga ratusan ribu orang. Mereka adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Serikat Perusahaan Pers (SPS), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Serikat Perusahaan Pers (SPS), Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), serta Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI).
Sebagai regulator, sudah pada tempatnya Dewan Pers untuk memperkirakan pengaturan semacam ini akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar lembaga, memperpanjang jalur birokrasi untuk beraktivitas di Indonesia dan potensi menjadi komoditas oleh oknum aparat penegak hukum.
Upaya Polisi Meredakan Polemik
Dalam upaya meluruskan polemik yang beredar di kalangan pers dan masyarakat, Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Sandi Nugroho, memberikan keterangan pers yang intinya memberikan keterangan lebih lanjut dari Peraturan Polisi ini.
Irjen Sandi menjelaskan bahwa Peraturan Polisi ini adalah tindak lanjut dari Revisi Undang-Undang Nomor 63 Tahun 2024 Tentang Keimigrasian.
“Perpol ini bertujuan untuk memberikan pelayanan dan perlindungan kepada Warga Negara Asing (WNA), termasuk para jurnalis asing yang sedang bertugas di seluruh Indonesia, misalnya di wilayah-wilayah rawan konflik,” ujar Irjen Sandi di Jakarta, Kamis (03/04).
Mengenai polemik yang menyebutkan bahwa penerbitan SKK itu wajib bagi wartawan asing, Irjen Sandi menegaskan bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan isi Peraturan Polisi.
“Perlu diluruskan bahwa dalam Pasal 8 (1) disebutkan penerbitan Surat Keterangan Kepolisian (SKK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 (1) huruf b diterbitkan berdasarkan permintaan penjamin,” jelasnya.
Dengan kata lain, SKK hanya bisa diproses apabila ada permintaan. SKK tidak akan bisa diterbitkan apabila tidak ada permintaan pihak penjamin.
“SKK tidak bersifat wajib bagi jurnalis asing. Tanpa SKK, jurnalis asing tetap bisa melaksanakan tugas di Indonesia selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Irjen Sandi.
Irjen Sandi juga merujuk pada penggunaan kata wajib dalam polemik yang beredar. Menurut Kepala Divisi Humas Polri tersebut tidak ada kewajiban karena di dalam Peraturan Polisi Nomor 3 Tahun 2025 tidak ada ketentuan yang menyatakan SKK itu bersifat wajib.
Lalu Bagaimana?
Nasi sudah menjadi bubur. Kegaduhan sudah terjadi, dan institusi kepolisian menjadi kian terpojok. Masalah monitoring wartawan asing dan pemberian izin imigrasi bagi mereka adalah suatu hal yang biasa dilakukan negara lain sesuai dengan peraturan keimigrasian mereka, baik oleh polisi mau pun institusi lain. Entah dari mana awal muasal keriuh-rendahan polemik ini.
Mungkin, seyogyanya divisi legal kepolisian memastikan Polri mengundang Dewan Pers dengan semua konstituennya saat penyusunan Peraturan Polisi ini. Apalagi pihak Polri juga terikat dengan rangkaian kerja sama dan seri berbagai Nota Kesepahaman dengan Dewan Pers, dan selama ini hubungan keduanya begitu erat.
Sekarang regulator Pers tersebut bahkan sudah mengeluarkan rekomendasi agar Peraturan Polisi ini ditinjau kembali.
Juniarti Soehardjo, Ahli Pers Dewan Pers, Ahli Hukum Teknologi, Pengamat Hukum Media Dan Perkembangan Eropa.
- NGOPI Berhasil Kuak Rahasia Kecantikan Bersama Dr. Ratih Nuryanti
- Tim Dinparta Dan Satpol PP Serbu Pujasera Demak
- Pedagang Rod As Kadilangu Serbu Jepara Dan Berkolaborasi Emas Dengan Dinparta Demak