Belajar Dari Kearifan Masyarakat Tajikistan

Tulisan Bagian Pertama
T Hari Prihatono. Istimewa/RMOLJawaTengah
T Hari Prihatono. Istimewa/RMOLJawaTengah

Tajikistan adalah salah satu negara bekas Uni Soviet di Asia Tengah. Tajikistan berbatasan dengan Afghanistan di selatan, Kirgiztan di utara, Uzbekistan di barat, dan Republik Rakyat Tiongkok di timur. Penduduk Tajikistan sebagian besar termasuk ke dalam etnis Tajik yang berbahasa Persia, namun dari sisi budaya lebih kental nuansa Afghanistan dan Iran.

Tajikistan memiliki pembagian administrasi dalam empat tingkatan hierarkis, yakni provinsi, distrik (nohiya), jamoat (unit pemerintahan mandiri di tingkat desa), dan desa (qyshloqs). Saat ini Tajikistan terdiri dari empat provinsi, yakni Sughd, Khatlon, satu provinsi otonom Gorno-Badakhshan (GBAO), dan Wilayah Subordinasi Republik (RRP), dengan ibu kota negara berada di Dushanbe yang banyak terdapat monumen dan patung-patung historis. Selain Dushanbe, 10 kota besar dan padat lainnya adalah Isfara, Istaravshan, Kulob, Konibodom, Khujand, Kurgan-Tyube, Qayroqqum, Vahdat, Tursunzoda, dan Buston.

Secara geografis Tajikistan merupakan negara yang berada pada dataran tinggi yang dikelilingi pegunungan. Hampir 93% wilayah negara adalah pegunungan dan tidak memiliki berbatasan dengan laut. Di bagian utara terdapat Lembah Fergana, di bagian barat laut dan tengah terdapat Pegunungan Turkestan, Zeravshan, Gissar, dan Alai, di bagian tenggara ada Pegunungan Pamiri dengan ketinggian sekitar 7.495 meter di atas permukaan laut.

Tajikistan memiliki sejarah panjang sejak 500 SM ketika sebagian besar Tajikistan adalah bagian dari Kekaisaran Akhemeniyah. Kemudian beralih di bawah Kekaisaran Aleksander Agung dan menjadi bagian dari Kerajaan Yunani-Baktria. Sementara kota-kota seperti Khujand dan Panjakent di Tajikistan utara dikuasasi oleh suku Nomanden pada 150 SM sebelum Kekaisaran Kushan menguasai daerah tersebut pada awal pertama Masehi dan memerintah sampai abad ke-4 M hingga jatuh dan dikuasai Kekaisaran Hephthalite pada awal abad ke-8 M.

Pada tahun 819 hingga 999, Kekaisaran Samaniyah memegang kendali atas wilayah tersebut dan memperluas kekuasaannya hingga ke Uzbekistan, Afghanistan, Iran, Tajikistan, Turkmenistan, Kyrgyztan, Kazakhstan, dan Pakistan. Namun pada tahun 892-907 Ismail Samani menyatukan negara Samanid di bawah satu penguasaan yang secara efektif mengakhiri sistem feodal yang digunakan oleh Samanid. Hingga pada tahun 999 Kekhanan Kara-Khanid menaklukan Transoksiana (meliputi: Uzbekistan, Tajikistan, Kirgiztan selatan, dan Kazakhstan barat daya) dan memerintah hingga tahun 1211. Namun pada abad ke-13 Kekaisaran Mongol menyapu Asia Tengah dan menjarah serta membantai penduduk di daerah-daerah tersebut.

Pada abad ke-16 Tajikistan jatuh di bawah kekuasaan Kekhanan Bukhara hingga abad ke-18 kemudian berada di bawah kekuasaan Keamiran Bukhara dan Kekhanan Kokand. Namun, pada abad ke-19 Kekaisaran Rusia mulai menaklulkan sebagian wilayah Asia Tengah, termasuk Tajikistan, sebagai upaya mendapatkan akses ke pasokan kapas.

Pada akhir abad ke-19 para Jadid di Asia Tengah mulai memantapkan diri sebagai gerakan sosial Islam. Walau mereka sesungguhnya promodernisasi dan tidak anti-Rusia, namun Kekaisaran Rusia memandang gerakan para Jadid ini sebagai ancaman. Sehingga pada tahun 1910-1913 pasukan Rusia turut dikerahkan membantu Kekhanan Kokand melakukan penumpasan gerakan para Jadid ketika mereka melakukan pemberontakan.

Kekerasan Rusia paling brutal di Tajikistan terjadi pada Juli 1916 ketika para demonstran Tajik menyerang tentara Rusia di Khujand atas ancaman wajib militer paksa selama Perang Dunia I. Meski pun pasukan Rusia dengan cepat mampu menguasai kembali Khujand, namun bentrokan terus berlanjut di berbagai lokasi di Tajikistan selama tahun 1916 itu.

Tajikistan Di Era Uni Soviet

Setelah Revolusi Rusia (atau lebih dikenal sebagai Revolusi Bolshevik) tahun 1917 para gerilyawan di seluruh Asia Tengah yang dikenal sebagai Basmachi mengobarkan perang melawan tantara Bolshevik dalam upaya mempertahankan kemerdekaan. Namun, upaya tersebut gagal setelah melalui peperangan hebat selama empat tahun. Akibat perang ini masjid dan desa-desa dibakar oleh tentara Rusia dan penduduknya ditindas. Sejak saat itu Rusia mengkampanyekan sekulerisasi dan banyak masjid serta tempat-tempat ibadah lainnya ditutup.

Pada tahun 1924 Republik Sosialis Soviet Otonom Tajik didirikan sebagai bagian dari Uzbekistan. Namun pada tahun 1929 Republik Sosialis Tajik (RSS Tajik) dijadikan republik konstituen yang terpisah, tetapi kota-kota yang didominasi etnis Tajik di Samarkand dan Bukhara tetap berada di RSS Uzbekistan. Kemudian pada tahun 1927-1934 Uni Soviet memberlakukan kebijakan terkait kolektivisasi pertanian dan perluasan produksi kapas. Akibat kebijakan ini terjadi penindasan terhadap para petani dan pemindahan paksa terjadi di seluruh Tajikistan. Pada akhirnya kebijakan ini memicu perlawanan para petani dan menghidupkan kembali gerakan Basmachi. 

Pada era kekuasaan Stalin di Uni Soviet terjadi dua kali pembersihan orang-orang Tajik, yakni pada tahun 1927-1934 dan tahun 1937-1938. Pengusiran juga dilakukan kepada hampir 10.000 orang dari semua tingkatan Partai Komunis Tajikistan. Selanjutnya etnis Rusia dipersiapkan untuk menggantikan posisi politisi Tajik yang terusir tersebut hingga posisi Sekretaris Utama Partai Komunis Tajikistan.

Sejarah Nasional Tajikistan

Gerakan kemerdekaan Tajikistan telah aktif sejak 1987 yang dimotori oleh gerakan Restokhez dan didukung oleh Partai Ranaisans Islam Tajikistan dan Partai Demokratik Tajikistan. Dalam Referendum Uni Soviet di bawah pengawasan internasional pada tahun 1991, sebagian besar penduduk Tajikistan mendukung kemerdekaan tingkat serikat di Uni Soviet.

Dalam pemilihan presiden pada bulan November 1992 Emomali Rahmon memenangkan pemilihan dengan mengalahkan mantan Perdana Menteri Abdumalik Abdullajanov dengan perolehan suara lebih dari 58%. Sayangnya pascapemilihan tersebut Tajikistan justru dilanda perang saudara di antara berbagai faksi selama hampir lima tahun sejak 1992.

Akibat perang saudara ini Tajikistan berada dalam kehancuran. Diperkirakan lebih dari 100 ribu orang tewas dan sekitar 1,2 juta orang menjadi pengungsi baik di dalam maupun di luar negeri.

Tajikistan baru benar-benar bisa membangun negaranya pasca berakhirnya perang saudara pada tahun 1997 melalui kesepakatan gencatan senjata antara Emomali Rahmon dengan Gerd D. Merrem dari partai oposisi serta perwakilan khusus Sekjen PBB. Gencatan senjata tersebut menghasilkan kesepakatan tentang pembagian kekuasaan antara partai pemerintah dan partai oposisi dengan proporsi persentase 70:30. Stabilitas politik pascaperang saudara memungkinkan bantuan asing mengalir untuk menata ulang kondisi negara kala itu.

Seiring mulai stabilnya kondisi politik, perekonomian pun berkembang dengan pesat. Perdagangan komoditas seperti kapas, alumunium, litium, uranium, serta ekploitasi tambang batubara dan emasnya telah memberikan kontribusi besar bagi upaya percepatan pembangunan Tajikistan.

Kearifan Masyarakat Tajikistan

Masyarakat Tajikistan tersusun atas etnis Tajik berkisar 84,3%, etnis Uzbek 13,8%, dan sisanya merupakan perpaduan etnis Rusia, Kyrgyz, Turkmen, Tatar, Arab, dan lainnya.

Karena kondisi geografisnya, Tajikistan terkenal sebagai destinasi wisata dataran tinggi serta pendakian gunung dan panjat tebing. Selain pegunungan, Tajikistan juga memiliki banyak danau dan sungai, tak kurang dari 1.300 danau tersebar hampir di seluruh negeri. Beberapa danau besar seperti Karakul, Sarez, dan Yashikul. Ada pun beberapa Sungai yang mengaliri Tajikistan, seperti Syr-Darya, Amu-Darya, Vaksh, Pyanj, dan Zeravshan.

Perpaduan antara pegunungan tertinggi di Eurasia, padang rumput Alpen, dan sungai-sungai nan bersih menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal maupun manca negara. Di atas semua itu, dukungan pemerintah pusat maupun daerah dalam pengembangan wisata alam tersebut cukup memadai. Selain, dan sudah barang tentu, keramahan dan kearifan masyarakat Tajikistan dalam menerima, menghargai, dan melayani tamu-tamu yang datang ke daerah mereka. Masyarakat Tajikistan begitu hangat walau dalam berbagai keterbatasan serta hambatan bahasa dalam menjalin komunikasi.

Budaya Tajikistan mengajarkan bahwa mereka akan memberikan apa pun yang terbaik yang mereka miliki kepada setiap tamu yang datang. Mereka ikhlas, demi untuk menjamu tamu-tamunya mereka mengorbankan banyak hal. Walau bahasa menjadi kendala namun tak menjadikan hambatan bagi mereka untuk menerima setiap yang datang ke daerah mereka. Pada prinsipnya mereka senang berinteraksi dengan siapa pun tanpa mempersoalkan ras, suku, agama, asal-sul serta strata sosial seseorang. Mereka berusaha melupakan perjalanan sejarah panjang yang begitu pahit dan getir. Mereka berusaha bangkit menjadi bangsa besar yang maju dan beradab.

Sejarah panjang yang begitu pahit dan getir yang dirasakan masyarakat Tajikistan tak jauh berbeda dengan yang dialami kebanyakan masyarakat Indonesia dalam perjalanan sejarahnya. Masalahnya, apakah masyarakat Indonesia, tentunya dengan dukungan pemerintahnya, baik pusat maupun daerah, juga memiliki spirit yang sama dengan Tajikistan. Apakah infrastruktur pemerintahan kita, dari pusat hingga daerah, sudah benar-benar memiliki kesamaan rasa dan kehendak dengan rakyatnya untuk bangkit bersama mengejar asa bukan sekedar gimik dan lip service tanpa kejelasan indikator pencapaiannya.

Barangkali kebijakan otonomi daerah yang pada dasarnya merupakan transfer prinsip-prinsip demokrasi dalam pengelolaan pemerintahan maupun budaya politik mampu menjadi stimulus perubahan bagi percepatan pembanguan yang merata dan berkeadilan. Melalui prinsip demokrasi, penyelenggaraan pemerintahan di daerah diharapkan akan lebih akuntabel dan profesional karena melibatkan peran serta masyarakat secara luas baik dalam menentukan pemimpin melalui pemilihan kepala daerah mau pun pelaksanaan program pemerintah di daerah.

Hari Prihatono, Peneliti Senior PARA Syndicate, Jakarta. Direktur Eksekutif PROPATRIA Institute 1999-2014