Pembunuhan Karakter Pejuang Islam (1)

Kisah Babad Tanah Jawi Versi Meinsma
Mohammad Aslim Akmal. Dokumentasi Pribadi
Mohammad Aslim Akmal. Dokumentasi Pribadi

Sudah sekian ratus tahun lamanya masyarakat Jawa, khususnya kaum muslim, disuguhi cerita-cerita yang berisi kisah tentang para pendakwah Islam atau yang sering disebut dengan Walisanga pada masa Abad Ke-15-16 Masehi.

Akan tetapi kisah tersebut ternyata banyak yang bertolak belakang dengan fakta atau kenyataan yang ada, bahkan cenderung mendistorsi ketokohannya. Salah satu contoh yang akan penulis kemukakan adalah kisah Sunan Kudus dan tokoh lainnya yang cerita kisahnya ditulis dalam Babad Tanah Jawi (BTJ) versi Meinsma 1874, khususnya yang tertulis di halaman 47-64.

Sri Wintala Ahmad berpendapat, Babad Tanah Jawi dapat disebutkan sebagai karya sastra sejarah dalam bentuk tembang macapat. Karya ini memuat tentang cikal-bakal (nenek moyang) raja-raja Mataram Islam yakni bermula dari Nabi Adam, dewa-dewa, hingga raja-raja yang pernah berkuasa di tanah Jawa.

Raja-raja yang pernah menguasai tlatah Pajajaran, Majapahit, Demak, Pajang, hingga Mataram Islam (Kasunanan Surakarta). Sejalan dengan Sri Wintala, Rohmatul Izad menuturkan, banyak ahli sejarah yang berpendapat, bahwa kronik sejarah dalam naskah ini banyak bernuansa dongeng, sehingga sulit untuk membedakan mana yang benar-benar fakta sejarah, mana yang hanya dongengan saja.

Karya sastra sejarah Babad Tanah Jawi yang berunsur mitologi dan pengkultusan tersebut memiliki keragaman versi. Namun, keragaman versi tersebut disederhanakan menjadi dua kelompok.

Kelompok pertama: Babad Tanah Jawi yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Pakubuwono III. Kelompok ke dua: Babad Tanah Jawi bertarikh 1722 yang diterbitkan oleh Pangeran Adilangu II. Karena banyaknya peminat terhadap Babad Tanah Jawi, Meinsma menerbitkan karya tersebut dalam bentuk prosa. Karya gubahan Carik Braja yang dikerjakan oleh Kertapraja tersebut diterbitkan pada tahun 1874.

Menurut penulis, Babad Tanah Jawi mutlak tidak dapat sepenuhnya menjadi rujukan penulisan sejarah awal perkembangan Islam di Tanah Jawa, abad 15-16 Masehi. Sebab di samping mengandung banyak sekalli unsur yang berbentuk fiksi, mitologi, dan legenda banyak ditemukan hal-hal yang tidak berkesesuaian dengan realita di lapangan. Namun demikian, bagi sebagian orang bukan berarti tidak memiliki nilai sejarah sama sekali. Bagi mereka Babad Tanah Jawi mungkin tetap dapat memberikan informasi yang berharga tentang sejarah sosial, politik, dan budaya Jawa, khususnya pada masa kesultanan Mataram setelah era walisanga.

Kisah Sunan Kudus Dalam Babad Tanah Jawi

Dalam kisah cerita Babad Tanah Jawi versi Meinsma dengan jelas menuliskan betapa Sunan Kudus telah digambarkan sebagai seseorang yang sangat dihormati tapi memiliki karakter ambisius serta menjadi dalang di balik terjadinya permusuhan. Sunan Kudus dipersepsikan sebagai pematik terjadinya adu domba sesama saudara muslim yang berakhir dengan saling membunuh antara Arya Penangsang, Sunan Prawata, dan saudara lainnya. Cerita kisah lengkapnya tertulis sebagai berikut:

"Ing waktu punika tetiyang Jawi kathah kang sami remen anggeguru lampahing agami Rasul tuwin anggeguru kadhigdhayan serta kateguhan. Guru wau ingkang sampun misuwur kekalih, Sunan Kalijaga kalih Sunan Kudus. Sunan Kudus wau muridipun tetiga, setunggil Pangeran Arya Penangsang, kalih Sunan Prawata, tiga Sultan Pajang".

["Pada saat ini, banyak orang Jawa yang tertarik berguru ajaran agama Rasul dan berguru tentang kekuatan dan keberanian (kanuragan). Dua orang guru yang sudah terkenal adalah Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kudus memiliki tiga orang murid, yaitu satu Pangeran Arya Penangsang, dua Sunan Prawata, dan tiga Sultan Pajang."]

"Kala semanten Sunan Kudus pinuju lenggah ing dalemipun kalihan Pangeran Penangsang. Sunan Kudus ngandika dateng Arya Penangsang, 'wong ngalapdo guru iku ukume apa?’ Arya Jipang matur alon: ‘Ukumipun pinejahan. Sarehning kula dereng sumerep, sinten ingkang gadhah lampah mekaten punika’. Sunan Kudus ngendika: ‘Kakangmu ing Prawata’.”

["Ketika itu Sunan Kudus sedang duduk di rumahnya bersama Pangeran Penangsang. Sunan Kudus berkata kepada Arya Penangsang, 'Apa hukuman bagi orang yang telah membunuh sesama murid?' Arya Jipang berkata perlahan: Hukumannya mati. Karena aku tidak tahu siapa yang melakukan ini. Sunan Kudus berkata: ‘Saudaramu di Prawata’.”]

Arya Panangsang sareng mireng dhawuhipun Sunan Kudus lajeng sagah badhe amejahi ing Sunan Prawata, nunten angutus abdinipun kajineman, anama Rangkud, andikakaken nyidra ing Sunan Prawata, Rangkud inggih lajeng mangkat. Sadhatengipun ing Prawata inggih sampun kepanggih wonten ing dalem. Sunan Prawata pinuju gerah, asesendhen kang garwa, sareng aningali dhateng pun Rangkud Sunan Prawata taken."

[“Arya Penangsang setelah mendengar jawaban Sunan Kudus lalu sanggup membunuh Sunan Prawata. Kemudian menugaskan abdi kepercayaannya, bernama Rangkud dan menyuruh membunuh Sunan Prawata. Lalu Rangkud berangkat. Setibanya di Prawata dan menemukan rumahnya. Sunan Prawata sedang sakit rebahan di tubuh istrinya. Setelah melihat keberadaan Rangkud, Sunan Prawata bertanya.”]

"Kowe iku wong apa?"

[“Siapa kamu ini?”]

Rangkud matur, "Kula utusanipun Arya Panangsang, andikakaken nyidra ing sampeyan."

[Rangkud menjawab, “Aku suruhan Arya Penangsang yang diperintah membunuh Anda”.]

“Sunan Prawata ngandika, "lya ing sakarepmu, nanging ngamungna aku dhewe kang kopateni, aja angilok-ilokake marang wong liyane." Rangkud lajeng anyuduk sarosanipun. Sunan Prawata jajanipun butul ing gigir, anerus jajanipun kang garwa, Sunan Prawata sareng aningali kang garwa ketaton. Enggal narik dhuwungipun, anama Kyai Bethok, kasawataken dhateng Rangkud. Pun Rangkud kabeser ing kembang kacanging dhuwung niba ing siti lajeng pejah, Sunan Prawata lan sagarwanipun inggih sampun seda, sinengkalan sedanipun Sunan Prawata 1453.”

[“Sunan Prawata berkata, “Ya sesukamu. Tetapi hanya aku saja yang kau bunuh. Jangan mengikutkan lainnya". Rangkud lalu menusukkan pusakanya mengenai tubuh Sunan Prawata dan menembus tubuh istrinya. Sunan Prawata melihat istrinya terluka menjadi murka. Cepat-cepat menarik pusakanya bernama Kyai Bethok, dilemparkan ke Rangkud. Rangkud pun terkena pusaka dan jatuh tersungkur ke tanah dan mati. Sunan Prawata dan istrinya juga mati. Tanda kematian Sunan Prawata adalah 1453.”]

“Milanipun Arya Panangsang purun aken mejahi ing Sunan Prawata, sabab ingkang rama Arya Panangsang sampun dipun pejahi dhateng Sunan Prawata, pinuju kondur saking Jumungahan kacegat wonten ing margi dhateng utusanipun Sunan Prawata, anama Surayata, Ki Surayata wau inggih lajeng dipun pejahi dhateng rencangipun ingkang rama Arya Jipang, punika cariyos kala sedanipun ingkang rama Arya Jipang.”

[“Itulah, mengapa Arya Penangsang mau membunuh Sunan Prawata, sebab ayah Arya Penangsang juga dibunuh oleh Sunan Prawata pada saat pulang dari salat Jum’atan yang dicegat di jalan oleh utusan Sunan Prawata, bernama Surayata. Ki Surayata akhirnya juga dibunuh oleh teman ayah Arya Jipang (Arya Penangsang). Ini adalah cerita kisah terbununya ayah Arya Jipang.”]

Begitulah, narasi cerita kisah berbentuk dialog antara Sunan Kudus dengan Arya Penangsang yang dengan sangat jelas memberi pemahaman tentang bagaimana Sunan Kudus telah berhasil menghasud dan mempengaruhi Arya Penangsang.

Sunan Kudus menyatakan kepada Arya Penangsang, ayahnya dahulu tewas karena dibunuh oleh Sunan Prawata. Arya Penangsang pun memahami pernyataan Sunan Kudus tersebut, bahwa hutang nyawa dibayar dengan nyawa pula.

Walhasil, hasutan Sunan Kudus berhasil membakar emosi Arya Penangsang agar membalas kematian ayahnya dengan membunuh Sunan Prawata. Arya Penangsang lalu menugaskan abdi kepercayaannya bernama Rangkud agar membunuh Sunan Prawata. Tugas tersebut benar-benar dilaksanakan Rangkud dan berhasil membunuh Sunan Prawata. Bahkan dalam peristiwa pembunuhan tersebut istri Sunan Prawata dan Rangkud akhirnya juga ikut tewas terbunuh. (Bersambung)

*) Moh Aslim Akmal, Budayawan Dan Pemerhati Sejarah Islam