- Saat Bali Gelap Gulita: Sinyal Bahaya Untuk Ketahanan Digital Dan Energi Nasional
- Membiasakan ASN Menggunakan Angkutan Umum
- Mengapa Erick Thohir Salah Tentang Korupsi, Dan Bagaimana Sistem AI Akan Memaksa Transparansi Dan Akuntabilitas
Baca Juga
Semakin dominannya budaya dan bahasa global di abad ke-21 berpengaruh terhadap keberadaan bahasa daerah dan bahasa nasional negara-negara di dunia termasuk Indonesia.
Menurut Ethnologue: Language of The World tahun 2021, Indonesia memiliki sekitar 742 bahasa atau 10% dari total bahasa di dunia. Jumlah tersebut menempatkan Indonesia di posisi kedua sebagai negara dengan bahasa daerah terbanyak di dunia setelah Papua Nugini.
Namun, diperkirakan di akhir abad ke-21, lebih dari setengah, yaitu sekitar 441 bahasa daerah di Indonesia akan mengalami kepunahan. Perkiraan tersebut didasarkan pada hasil penelitian Australian National University tahun 2021 bahwa di akhir abad ke-21, sekitar 1.500 bahasa di dunia akan punah termasuk beberapa bahasa daerah di Indonesia. Bahkan menurut data Ethnologue tahun 2023, terdapat 24 bahasa daerah di Indonesia yang tidak lagi memiliki penutur.
Sebagai negara yang memiliki keragaman budaya dan bahasa, Indonesia dihadapkan pada tantangan mempertahankan keberadaan dan keragaman bahasa daerah sebagai identitas dan jati diri bangsa. Tanpa identitas dan jati diri yang kuat, suatu bangsa akan kesulitan menegaskan diri dalam hubungan internasional dan persaingan global.
Potensi kepunahan bahasa daerah di abad ke-21, khususnya di Indonesia disebabkan semakin berkurangnya frekuensi penggunaan dan jumlah penuturnya. Kondisi tersebut dipengaruhi kuatnya arus modernisasi, asimilasi, migrasi, dan urbanisasi yang mengondisikan masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa nasional dan bahasa asing karena dinilai lebih adaptif, lebih diterima luas, serta lebih mampu menjawab kebutuhan zaman.
Selain itu, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, salah satunya di bidang informasi dan komunikasi semakin menuntut masyarakat menguasai bahasa nasional dan bahasa asing, akibatnya bahasa daerah semakin ditinggalkan sehingga terancam punah.
Punahnya bahasa daerah sekaligus menjadi punahnya bahasa ibu karena bahasa ibu berasal salah satunya dari bahasa daerah. Punahnya bahasa daerah juga menjadi punahnya nilai-nilai budaya yang tersimpan di dalamnya sebab bahasa merupakan aspek simbolis terpenting dari budaya. Sebagai sistem simbol berupa bunyi bermakna, bahasa menjadi sarana manusia berkomunikasi, berekspresi, menyimpan informasi, mengonsep ide, serta membentuk dan mewariskan identitas budaya. Dengan demikian, budaya dipelajari dan diwariskan melalui sarana bahasa, bukan secara biologis.
Pewarisan Sejak Dini
Guna melestarikan bahasa ibu diperlukan upaya pewarisan sejak usia dini, yaitu sejak masa prenatal (sebelum lahir) sebab masa tersebut merupakan masa penting dalam tumbuh kembang bayi. Di masa prenatal manusia untuk pertama kalinya mengenal dan belajar bahasa. Menurut hasil penelitian University of Padua, Centre National de la Recherche Scientique, dan Universite Paris Cite yang dimuat di jurnal Science Advances tahun 2023 berjudul Prenatal Experience with Language Shapes The Brain, ditemukan bahwa pengalaman bahasa telah membentuk organisasi fungsional otak sejak dalam kandungan. Di dalam kandungan, bayi telah merespons suara dari luar perut ibunya. Jika seorang ibu hamil aktif berbicara dengan bayi yang dikandungnya, ucapan ibu tersebut membuat bayi belajar bahasa.
Di samping sebagai sarana pembelajaran bahasa, penggunaan bahasa ibu juga dapat membentuk dan mengembangkan kemampuan kognitif anak. Menurut hasil penelitian di Kenya oleh Nyakwara Begi tahun 2014 yang dimuat di Journal of Education and Practice dengan judul Use of Tongue as A Language of Instruction in Early Years of School to Preserve The Kenyan Culture, dinyatakan bahwa di Kenya sebelum masa penjajahan, bahasa ibu digunakan sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan pembelajaran dan pewarisan budaya di sekolah. Penelitian tersebut juga membuktikan bahwa mengesampingkan bahasa ibu dalam kegiatan belajar mengajar dapat menimbulkan tekanan psikologis, keterlambatan belajar, dan krisis kepercayaan diri pada anak.
Mengingat pentingnya bahasa ibu bagi tumbuh kembang anak dan kelestarian budaya, serta potensi kepunahannya di abad ke-21, maka diperlukan upaya pelestarian oleh semua komponen masyarakat. Upaya tersebut dapat diwujudkan melalui kegiatan di lembaga kemasyarakatan, yaitu Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).
Posyandu dapat berperan penting dalam upaya pelestarian bahasa ibu karena sebagai lembaga kemasyarakatan desa, Posyandu secara berkala memantau dan melayani kesehatan masyarakat, khususnya ibu hamil, ibu menyusui, dan anak di bawah lima tahun (balita). Upaya tersebut dilaksanakan melalui pendidikan anak usia dini sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2024 tentang Posyandu.
Pelestarian bahasa ibu di Posyandu dapat dilaksanakan bersamaan dengan pelayanan kesehatan ibu hamil, ibu menyusui, dan balita. Dalam kegiatan tersebut, ibu hamil dan ibu menyusui oleh pengurus dan kader Posyandu diedukasi mengenai arti penting bahasa ibu bagi tumbuh kembang anak. Selain itu, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita juga dikenalkan dan dibiasakan bertutur bahasa ibu, khususnya bahasa daerah. Pengenalan dan pembelajaran bahasa daerah sejak usia dini sejalan dengan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan bila diperlukan guna menyampaikan pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.
Generasi Multilingual
Selain terbentuk keterampilan berbahasa, pengenalan dan pembelajaran bahasa ibu sejak usia dini juga dapat membentuk karakter toleran pada diri anak sehingga anak mau menghormati dan melestarikan keragaman budaya dan bahasa. Upaya tersebut sejalan dengan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan yang menyatakan bahwa pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai perkembangan zaman agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
Manfaat pewarisan bahasa ibu sejak usia dini juga sekaligus menepis anggapan yang menyatakan bahwa pembelajaran bahasa ibu, khususnya bahasa daerah, dapat menghambat pembelajaran bahasa nasional dan bahasa asing.
Penelitian Babajide Abidogun dan Oluranti Adebule tahun 2014 yang dimuat di European Scientific Journal, Special Edition berjudul Contribution of Mother Tongue Education in Early Childhood Education, menyatakan bahwa penggunaan bahasa ibu justru dapat memaksimalkan kemampuan kognitif anak dalam proses pembelajaran. Menurut penelitian tersebut, bahasa ibu memudahkan anak berkomunikasi secara efektif dan memahami dengan lebih baik bahasa di lingkungan terdekat. Dengan terbentuknya kemampuan kognitif anak melalui pembelajaran bahasa ibu, dapat menjadi dasar yang kokoh bagi anak untuk mempelajari bahasa lain sehingga berkembang kemampuan multilingual.
Melalui kemampuan multilingual, generasi muda Indonesia diharapkan dapat menguasai tiga bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan bahasa asing sebagai bahasa pergaulan internasional. Dengan lahirnya generasi muda multilingual, dapat terbangun sumber daya manusia yang unggul, berkepribadian kuat, dan berdaya saing tinggi serta mampu menjawab tantangan abad ke-21.
*) Irawan Januari Putra, Perangkat Desa, Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.
- Di Ujung Usia: Renungan Seorang Wartawan
- Puslabfor: Olah TKP Kasus Predator Seks Di Jepara
- Polemik Hukum Dalam Kasus Pagar Laut, Perspektif Pakar Dan Praktisi