- Merawat Bahasa Ibu Di Posyandu
- Membiasakan ASN Menggunakan Angkutan Umum
- Mengapa Erick Thohir Salah Tentang Korupsi, Dan Bagaimana Sistem AI Akan Memaksa Transparansi Dan Akuntabilitas
Baca Juga
Bali – Jumat, (02/05) Bali mengalami pemadaman listrik total selama hampir lima jam, sebuah kejadian langka namun sangat signifikan. Pulau yang biasanya penuh cahaya, aktivitas wisata, dan lalu lintas digital mendadak sunyi. Lampu padam. Sinyal ponsel menghilang. Internet berhenti. Dan dalam waktu singkat, denyut modernitas seakan dicabut dari tanah para dewa.
Laporan awal menyebutkan gangguan pada kabel bawah laut yang menyalurkan listrik dari Jawa ke Bali, menyebabkan beberapa pembangkit dan penyulang listrik trip. Namun, efek domino dari kejadian ini menunjukkan bahwa ini bukan sekadar masalah kabel atau tegangan.
Sekitar 600 BTS (base transceiver station) Telkomsel serentak padam yang menyebabkan gangguan komunikasi luas di seluruh pulau. Sebagian besar warga tidak bisa mengakses informasi, layanan keuangan digital, atau bahkan melakukan panggilan darurat. Media sosial pun jadi sunyi, sesuatu yang jarang terjadi di era digital ini.
Lucunya, di balik kejadian serius ini, muncul candaan di grup WhatsApp, “Digilir sama hacker,” kata seseorang. Ungkapan ini mungkin terdengar ringan, namun mencerminkan kekhawatiran yang nyata. Karena sebelum Bali, pemadaman misterius juga terjadi di Spanyol dan Portugal. Dunia sedang menghadapi babak baru era ancaman hybrid, di mana serangan bisa datang dari alam, manusia, atau bahkan dari kode berbahaya yang menyusup ke sistem-sistem vital.
Apakah ini benar serangan siber? Belum tentu. Namun justru karena ketidakpastian inilah kita perlu kesadaran situasional (situational awareness) yang lebih tajam. Kita perlu mampu membaca pola, mengenali anomali, dan memahami bahwa infrastruktur modern seperti listrik, komunikasi, air, dan transportasi tidak berdiri sendiri—semuanya saling terhubung dan bisa runtuh bersama.
Bali adalah representasi kecil dari tantangan nasional. Permintaan listriknya naik sekitar 12% setiap tahun. Pertumbuhan pesat sektor pariwisata dan properti mendorong konsumsi energi tinggi, namun belum diimbangi oleh perluasan kapasitas pembangkit dan jaringan cadangan lokal. Ketergantungan pada pasokan listrik dari Jawa membuat pulau ini rapuh terhadap gangguan tunggal. Dan gangguan kemarin membuktikan bahwa kerentanan ini sangat nyata.
Lebih jauh lagi, insiden ini memperlihatkan lemahnya pertahanan kita dalam menghadapi krisis gabungan, fisik dan digital. Jika hanya satu kabel bisa membuat ribuan orang kehilangan akses pada listrik dan komunikasi, bagaimana jika skenario ini digandakan atau disabotase? Bagaimana jika dilakukan secara bersamaan dengan bencana alam atau gangguan sosial?
Beberapa Langkah Strategis Mutlak Diperlukan:
- Audit menyeluruh terhadap infrastruktur kritikal, baik secara teknis maupun dari sisi keamanan siber.
- Pemutakhiran sistem deteksi dini dan respons cepat untuk gangguan siber dan fisik, termasuk sistem SCADA di sektor energi.
- Penguatan jaringan lokal, Bali harus punya pembangkit cadangan berbasis energi terbarukan (seperti tenaga surya dan biomassa) yang bisa menopang daerah secara mandiri saat kabel utama bermasalah.
- Integrasi SOP lintas sektor, antara PLN, Telkom, BPBD, operator seluler, dan TNI-Polri untuk menghadapi skenario black-out massal.
- Pelatihan kesadaran publik, masyarakat perlu tahu langkah-langkah dasar saat kehilangan listrik dan sinyal. Edukasi ini penting untuk menghindari kepanikan dan memastikan respons komunitas tetap tenang.
- Transparansi dan komunikasi krisis, pemerintah dan operator wajib menyampaikan laporan secara terbuka, bukan hanya untuk menjelaskan, tapi juga untuk membangun kepercayaan.
Lima jam dalam gelap bisa tampak singkat, tapi bagi Bali yang bergantung pada wisatawan, transaksi digital, dan kecepatan komunikasi global ini adalah sebuah ujian besar. Dunia sedang melihat, dan kepercayaan internasional bisa terguncang hanya oleh satu gangguan yang tidak ditangani secara profesional.
Insiden ini juga seharusnya menjadi pelajaran untuk daerah lain. Ketika satu provinsi bisa lumpuh karena satu titik putus, kita harus mempertanyakan ulang desain ketahanan nasional kita. Jangan sampai keindahan dan kemajuan Bali menjadi ilusi yang rapuh hanya karena kita lalai menyiapkan infrastruktur yang tangguh dan adaptif.
Kita tidak boleh lagi puas dengan slogan digitalisasi dan pembangunan tanpa memperkuat fondasi ketahanan. Karena ketika cahaya padam dan sinyal hilang, pertanyaannya bukan lagi "Siapa yang salah?", tetapi "Apa yang belum kita siapkan?"
*) Tommy Tamtomo - Ketua Dewan Pengawas, Indonesia Cyber Security Forum (ICSF)
- Di Ujung Usia: Renungan Seorang Wartawan
- Puslabfor: Olah TKP Kasus Predator Seks Di Jepara
- Merawat Bahasa Ibu Di Posyandu