- Tantangan Pembangunan Sistem Angkutan Umum Massal Perkotaan
- Kedaulatan Kawasan Dimulai Dari Jagat Kecil Manusia Terpadu Dengan Kedigdayaan Teknologi
- Teknologi Drone Dan AI Untuk Atasi Kejahatan, Kebencanaan, Dan Perkembangan Kota
Baca Juga
Pernyataan Erick Thohir berikut ini sudah menyebar luas, “Korupsi tidak bisa dihilangkan, hanya bisa ditekan.”
Kalimat ini disampaikan saat Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut usai bertemu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seolah menyampaikan kenyataan pahit bahwa korupsi di tubuh BUMN adalah hal yang harus kita terima - seperti hujan di musim basah atau macet di Jakarta.
Tapi mari kita luruskan: itu bukan pragmatisme. Itu adalah bentuk keputusasaan yang dibungkus rapi. Dan lebih parahnya lagi, pernyataan itu adalah kekeliruan logika yang berisiko melegitimasi pembusukan moral secara sistematis.
Korupsi bukan bencana alam. Ia adalah kegagalan sistem. Dan sistem bisa didesain ulang. Jika kita berkata korupsi itu tak terhindarkan, kita bukan sedang mendiagnosa masalah. Kita sedang menyerah padanya. Padahal kini, teknologi, khususnya Kecerdasan Buatan (AI), memberikan kita alat untuk membongkar kecurangan dengan presisi dan skala yang belum pernah ada sebelumnya.
Kita seolah sedang membiarkan kebutaan institusional menjadi norma.
Narasi 'Sudah Tak Bisa Dihilangkan' Itu menjadi Masalah Besar
Bayangkan jika Menteri Kesehatan berkata, “Penyakit tidak bisa dihilangkan.” Publik pasti menuntut ia mundur. Karena meski penyakit mungkin tak bisa dihapus total, tugas kementerian adalah melawannya - tanpa lelah, dengan inovasi, dan penuh transparansi.
Lalu mengapa kita menerima standar yang lebih rendah ketika menyangkut uang negara?
Mengatakan korupsi tak bisa diberantas sama halnya dengan berkata kecelakaan karena mabuk tak bisa dicegah. Lalu menolak pasang lampu lalu lintas, alat uji alkohol, atau patroli jalan raya. Itu bukan kejujuran. Itu pembiaran.
AI Tak Pernah Lelah Dan Tak Bisa Disogok
Di sinilah teknologi mengambil peran. Saat ini kita memiliki alat untuk membongkar jejaring korupsi yang paling rapi sekalipun. AI bisa memantau transaksi secara real-time, menandai kejanggalan, dan mendeteksi keanehan dalam pengadaan proyek secara masif tanpa lelah.
Ia tidak duduk menunggu. Ia mempelajari pola. Ia menghubungkan titik-titik. Ia bisa menelusuri vendor fiktif, modus perusahaan cangkang, hingga pengadaan fiktif di lima provinsi berbeda. Ia bisa melihat saat gaya hidup komisaris tak sejalan dengan laporan kekayaannya. Ia tidak berkedip, tak pelupa, dan tidak bisa disogok.
Di Estonia, AI mendeteksi konflik kepentingan dalam keputusan birokrasi secara real-time. Di India, AI digunakan untuk membongkar penggelapan pajak. Di Indonesia? Kita punya SDM dan infrastruktur digitalnya. Yang kurang hanya kemauan.
Dan Lalu Ada Celah Hukum
Kita tidak boleh lupa konteksnya. Dalam Undang-Undang BUMN yang baru (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025), direksi dan komisaris BUMN tidak lagi dianggap sebagai penyelenggara negara. Sekilas tampak administratif, tapi efeknya luas.
Mereka tidak lagi wajib lapor harta ke KPK. Mereka tidak lagi berada dalam radar pengawasan publik. Mereka kini masuk ke zona abu-abu hukum, mengelola trilyunan rupiah aset negara dengan pengawasan yang lebih longgar daripada bendahara desa.
Itu Bukan Reformasi. Itu Kemunduran.
Dan justru di sinilah urgensi AI makin terasa. Ketika hukum mulai menoleh ke arah lain, sistem digital tak boleh ikut berpaling. Ketika regulasi longgar, sistem digital harus justru makin ketat dan awas.
Yang Kita Butuhkan Bukan Lagi Slogan, Tapi Sistem yang Melihat
Indonesia tidak kekurangan jargon antikorupsi. Yang kurang adalah sistem digital yang memaksa transparansi, dari awal tender hingga pencairan anggaran, dari laporan aset hingga konflik kepentingan.
AI bukan peluru perak. Ia juga butuh etika, audit, dan pengawasan. Tapi kapasitasnya melacak, mencocokkan data, dan mengidentifikasi penyimpangan jauh di atas kemampuan birokrasi konvensional.
Bayangkan jika setiap rupiah belanja BUMN bisa ditelusuri seperti paket belanja online. Bayangkan jika setiap kontrak proyek dinilai AI berdasarkan keadilan, risiko, dan indikasi konflik kepentingan. Bayangkan jika jurnalis daerah dan warga bisa memantau dashboard publik yang ditenagai AI, untuk melihat BUMN mana yang efektif dan mana yang bocor.
Dunia seperti itu bukan utopia. Itu soal kemauan politik dan ekosistem kebijakan.
Pernyataan Thohir Bukan Sekadar Salah, Ini Persimpangan Jalan Bangsa
Karena ini bukan tentang satu menteri, tapi tentang pilihan arah. Apakah Indonesia akan memilih membangun ekosistem akuntabilitas berbasis digital, atau terus mengelola kebocoran sebagai status quo?
Kami tidak menuntut kesempurnaan. Kami menuntut negara yang tidak pasrah sebelum berjuang. Kami meminta sistem yang terlalu cerdas untuk dibodohi, terlalu waspada untuk dibeli, dan terlalu terhubung untuk dibiarkan gelap.
Masa depan belum ditulis. Tapi yang pasti: korupsi hanya akan hidup selama kita membiarkan ruang-ruang gelap tetap ada.
Dan AI? Ia adalah saklar cahayanya. Saatnya kita menyalakannya.
*) Tommy Tamtomo - Indonesia Cyber Security Forum (ICSF)
- Inspektorat Rembang Lakukan Investigasi Tentang Carut Marut Seleksi PPPK Tahap II
- Bank Jateng Raih Peringkat Pertama Dalam Survei Layanan Prima BPD 2025
- Tersangka Korupsi Hibah Sapi TM Resmi Ditahan, Penyidikan Masih Berlanjut