Aku mengawali jalan ini sebagai mahasiswa yang gelisah. Gelisah oleh rasa ingin tahu, oleh keinginan untuk memahami dan menyampaikan apa yang terjadi di balik panggung kehidupan. Tahun 1976, langkah pertamaku sebagai wartawan di Harian Suara Merdeka terasa berat tapi membahagiakan. Aku langsung jatuh cinta pada pekerjaan ini, terutama pada liputan investigasi. Tak sekadar melaporkan, tapi menggali, menelisik, dan menyuarakan kebenaran yang tersembunyi.
Mesin ketik manual menjadi sahabat pertamaku. Suaranya—keras, tegas, kadang menyakitkan telinga—tapi justru itulah yang menumbuhkan semangat. Setiap denting tombol logam membawa beban tanggung jawab. Tak ada ruang untuk asal-asalan, tak ada “hapus” atau “edit otomatis”. Hanya ketelitian, hati-hati, dan keberanian.
Ada rasa bangga yang tak bisa dilukiskan setiap kali aku membawa berita yang tak dimiliki wartawan lain. Bukan karena ingin lebih hebat, tapi karena aku tahu: berita itu penting. Untuk rakyat, untuk keadilan, untuk nurani publik. Tak jarang aku menembus malam, mengejar narasumber, menulis dalam kesunyian redaksi yang hanya ditemani kopi dan suara jam dinding.
Tapi waktu tak bisa ditolak. Kini, di usia senja, aku mulai lupa. Nama-nama penting, nomor telepon yang dulu kuhafal mati, bahkan sebagian wajah yang dulu kerap kutemui—semuanya mulai kabur. Namun ada yang tak pernah benar-benar hilang: semangat itu. Semangat untuk menyampaikan kebenaran, untuk menjaga integritas, untuk menulis dengan hati.
Lupa kini bukan musuh. Ia bagian dari proses. Sebuah isyarat halus bahwa waktuku kini adalah waktu merenung, bukan berlari. Tapi selama aku masih bisa mengingat siapa diriku, dan mengapa dulu aku memilih jalan ini, aku masih merasa utuh.
Menjadi wartawan bukan sekadar mencari berita. Ia adalah ibadah dalam bentuk lain—menjaga nurani, membela suara-suara yang dibungkam, dan mewariskan kebenaran meski tak semua orang mau mendengarnya.
Dan kini, di ujung usia,
aku tahu: menjadi wartawan adalah pekerjaan mulia.
Aku bersyukur pernah menjalaninya—
dengan segala suka dukanya,
dengan tinta, debu, dan keberanian.
Dan bila kelak aku hanya duduk diam dalam senyap,
biarlah suara mesin ketik dari masa lalu
menjadi gema yang tak pernah benar-benar padam. (S2)
*) Sudadi adalah Staf Khusus DPP LVRI
- Puslabfor: Olah TKP Kasus Predator Seks Di Jepara
- Merawat Bahasa Ibu Di Posyandu
- Polemik Hukum Dalam Kasus Pagar Laut, Perspektif Pakar Dan Praktisi