Dari Kampus ke Gurun: Misi Damai Anak Bangsa

Para Prajurit Berseragam Pasukan Perdamaian Garuda VIII Sedang Berpose Di Markas Batalyon Pasukan Perdamaian PBB/UNEF Mesir Timur Tengah. Mereka Adalah Hasil Rekrutmen Resimen Mahasiswa  Dari Berbagai Universitas. Dokumentasi Sudadi
Para Prajurit Berseragam Pasukan Perdamaian Garuda VIII Sedang Berpose Di Markas Batalyon Pasukan Perdamaian PBB/UNEF Mesir Timur Tengah. Mereka Adalah Hasil Rekrutmen Resimen Mahasiswa Dari Berbagai Universitas. Dokumentasi Sudadi

Tulisan ini dimuat sebagai rangkaian tulisan dari naskah lengkap, yang kelak akan diterbitkan menjadi buku.

Sinai, 1978 - Di bawah terik matahari Timur Tengah, tiga puluh mahasiswa Indonesia berdiri sejajar dengan para prajurit perdamaian dunia. Mereka bukan sedang studi banding. Mereka adalah bagian dari Kontingen Garuda VIII - pasukan penjaga perdamaian yang dikirim Indonesia ke Mesir dalam misi United Nations Emergency Force (UNEF).

Dipimpin oleh Kolonel Inf. R. Atmanto, kontingen ini mencetak sejarah. Untuk pertama kalinya, para mahasiswa - eks-anggota Resimen Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi tanah air - dilibatkan dalam misi internasional resmi. Di gurun yang masih menyimpan ranjau sisa konflik, mereka menjalankan patroli, menjaga pos pengamatan, dan hidup berdampingan dengan pasukan dari Finlandia, Kanada, Swedia, India, Ghana, Irlandia, Yugoslavia, hingga Polandia.

Panglima UNEF II saat itu, Mayjen TNI Rais Abin, menyebut langkah ini sebagai keputusan strategis. Menurutnya, pelibatan Resimen Mahasiswa bukan sekadar bagian dari operasi militer, tetapi juga pernyataan bahwa generasi muda Indonesia mampu tampil di panggung dunia sebagai penjaga perdamaian. "Dunia menghargainya, dan itu menjadi pesan kuat bahwa Indonesia tidak hanya bicara, tapi bertindak dalam misi kemanusiaan," tegasnya.

Sebelum bergabung dengan kontingen, para mahasiswa telah mengikuti pendidikan militer selama hampir tiga bulan di Rindam V/Jaya, Jakarta, sebagai calon Bintara Militer Wajib. Setelah pelantikan, mereka menyandang pangkat Sersan Dua. Pendidikan itu menjadi gerbang menuju peran baru yang jauh lebih besar daripada kehidupan kampus: menjadi bagian dari perdamaian dunia.

Mereka juga menjalani pembekalan intensif pra-tugas: mengenal budaya Arab, adat lokal, tata pergaulan internasional, hukum yang berlaku dalam misi PBB, serta medan tugas yang akan dihadapi. Semua itu mempersiapkan mereka bukan hanya sebagai prajurit, tetapi sebagai duta bangsa dalam kancah global.

Mahasiswa Ditempatkan Sesuai Keahlian, Jalankan Tugas Sejajar Prajurit

Dalam misi Garuda VIII, para mahasiswa Indonesia tidak hanya menjadi pelengkap pasukan, tetapi menjalankan peran strategis sesuai latar belakang pendidikan dan kompetensi masing-masing. Mereka ditempatkan di berbagai satuan operasional yang mendukung kelancaran misi perdamaian di Sinai.

Di bidang Penerangan, sejumlah mahasiswa bertugas mendokumentasikan kegiatan kontingen, mengelola informasi dan publikasi, serta menjalin komunikasi media internal. Di sektor Kesehatan, mahasiswa kedokteran memberikan layanan medis ringan dan pendampingan darurat bagi anggota pasukan.

Sementara itu, di bagian Keuangan, mahasiswa berlatar belakang ekonomi membantu dalam pengelolaan administrasi keuangan dan logistik dana operasional. Mereka yang memiliki pemahaman teknis ditugaskan di Perhubungan, memastikan kelancaran komunikasi radio dan pengiriman pesan antarpos.

Untuk menunjang kegiatan internal, sebagian mahasiswa ditugaskan di Detasemen Markas, menjalankan fungsi administrasi umum dan pelayanan logistik. Tak sedikit pula yang bergabung dalam Pleton Pasukan, melaksanakan patroli serta menjaga keamanan pos di garis depan.

Di medan yang membutuhkan keterampilan bahasa dan diplomasi, mahasiswa turut bertugas sebagai Penerjemah, memfasilitasi komunikasi antarpasukan maupun dengan warga lokal. Beberapa lainnya dipercaya sebagai Ajudan Komandan, mendampingi pimpinan kontingen dalam berbagai kegiatan strategis.

Seluruh tugas ini dijalankan secara profesional dan setara dengan prajurit aktif. Dengan semangat pengabdian, para mahasiswa membuktikan bahwa mereka bukan hanya calon intelektual, tetapi juga penjaga perdamaian yang tangguh dan tanggap.

Penugasan Garuda VIII berlangsung selama sembilan bulan di Sinai. Namun, keseluruhan proses—mulai dari pelatihan hingga pengabdian—membuat para mahasiswa ini harus meninggalkan bangku kuliah lebih dari satu tahun. Itu bukan sekadar pengorbanan, melainkan pilihan sadar untuk melayani perdamaian dunia.

Saat rekan-rekan seangkatannya menyusun skripsi dan menghadiri seminar, mereka menjaga zona damai di ujung dunia - berjalan di atas tanah berbatu yang menyimpan sisa perang, berbicara dalam bahasa asing, dan berdiri di bawah panji Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai wakil sah Republik Indonesia.

Kehadiran mahasiswa menjadikan Garuda VIII unik di antara kontingen negara lain. Mereka menjalankan tugas di pos-pos terpencil, menghadapi tekanan diplomatik dan tantangan teknis, serta membuktikan bahwa anak muda Indonesia mampu menjawab panggilan dunia.

Bagi kami, misi ini bukan hanya soal seragam dan senjata. Ini adalah misi kemanusiaan—sebuah babak dalam sejarah bangsa yang layak dikenang. Di sanalah, di tengah bisunya gurun dan kabut diplomasi, Indonesia berdiri sebagai sahabat perdamaian. Mahasiswa dan prajurit berjalan beriringan, demi dunia yang lebih tenteram.

 

*) Sudadi, Staf Khusus DPP LVRI, Veteran Perdamaian Garuda VIII 1978 PBB/UNEF Mesir.