Quo Vadis Sepakbola Indonesia

Tragedi Kanjuruhan menjadi kotak pandora bagaimana publik memandang PSSI. Sepakbola Indonesia adalah serupa paradoks tentang harapan dan kenyataan. Negara dengan penduduk di atas 200 juta, namun prestasinya tak mampu beranjak dari lumpur peradaban. Maaf, saya mengistilahkan begitu, karena berbicara prestasi sepak bola Indonesia begitu penuh noda.


Tragedi Kanjuruhan menjadi kotak pandora bagaimana publik memandang PSSI. Sepakbola Indonesia adalah serupa paradoks tentang harapan dan kenyataan. Negara dengan penduduk di atas 200 juta, namun prestasinya tak mampu beranjak dari lumpur peradaban. Maaf saya mengistilahkan begitu karena berbicara prestasi sepak bola Indonesia begitu penuh noda. 

PSSI sebagai organisasi yang menaungi cabor sepak bola akut dengan persoalan persoalan yang mendera. Mereka yang menjadi nahkoda organisasi ini dari hulu hingga hilir berlumur citra yang tak sedap. 

Menilik ihwal ini, terlebih ketika mengkaitkan portofolio mereka  yang dapat menjadi legacy moral raportnya begitu memprihatinkan. Lihat dan simak sejumlah kasus yang menyeret tokoh tokoh PSSI itu membawanya hingga hotel prodeo.

Kini merelasikan goal reformasi sepak bola dengan kondisi yang ada, seperti kasus kasus yang mendera, ikhtiar apa yang mesti ditunaikan. Sepakbola nasional terlalu dalam berkubang di lumpur persoalan yang membuat kiprah atau pun debutnya selalu masuk angin. Tragedi Kanjuruhan adalag puncak gunung es megamasalah  yang menggayuti PSSI. Sepak Bola gajah, praktik lancung pengaturan skor, mafia wasit dan membawa sepak bola ke dalam sengkarut oligarkhi di Indonesia.

Momentum MLB PSSI yang kini tahapannya berproses dapatkah menjadi pintu masuk mencari solusi? Akankah spirit yang menjadi agenda mengurai benang kusut PSSI dapat terjawab. Analogi sederhana sapu kotor percuma saja ketika dipakai membersihkan lantai. Dalil serupa menjadi mendesak untuk dikritisi, apakah rambu rambu legal sebagai instrumen etik secara ideal dapat menapis residu residu yang ada. 

Terobosan Instan

Sekali lagi menyimak potensi yang ada, tidak masuk akal melihat prestasi sepak bola kita. Apalagi sekarang terobosan instan adanya naturalisasi pemain semestinya dapat mengangkat prestasi nasional. Begitu pun pelatih kampium sekelas Shin Tae Yong, sebelumnya Louis Milla atau Alfred Ridle digaet untuk dapat memoles penampilan Timnas. Namun apa yang terjadi, kita saksikan pasukan merah putih tak juga mampu menunjukkan tajinya. 

Menarik hukum sebab akibat, dengan mengedepankan aspek sosiologis pasti ada yang salah di sini. Dimensi ini yang perlu diidentifikasi, dan menjadi rekomendasi khusus bagi mereka yang berminat menjadi Ketua Umum PSSI. 

Saya prihatin mencermati kecenderungan di palagan suksesi oleh dinamika tak bermutu, apalagi melahirkan polarisasi atas agenda utama, yakni mengembalikan sepak bola pada khitahnya. Carut marut kepentingan memporak porandakan iklim pembinaan dan kompetisi pun mengalami kehancuran. Kondisi ini menjadi kontraproduktif bagi pencapaian prestasi emas. Naturalisasi pun menjadi ikhtiar sia sia karena seperti melepas koi cantik di kolam kotor bagaimapun dia akan mati.

 Kompetisi sepak bola Indonesia ibarat medan jalur pantura. Hujan sedikit saja terkoyak koyak banyak lubang menjadi ancaman bagi penggunanya. Kompetisi yang menjadi tulang punggung pembinaan, apa yang terjadi direcoki berupa rupa kendala. Apalagi merujuk analogi jalur pantura tadi, selain jalannya berlubang, juga disatru gangguan preman di mana mana. 

Kompetisi kumuh

Kompetisi yang kumuh, syarat tetek bengek persoalan tidak banyak yang bisa diharapkan. Pemain bagus, bibit unggul akan mengalami distorsi dan rapuh dengan sendirinya. Ekosistem pembinaan yang retak retak dan karut berbagai parasit adalah agenda obyektif reformasi PSSI. Nah karenanya apa yang terjadi  jika mereka yang maju adalah obyek yang menjadi biang persoalan ?

Menarik benang merah di sini, kita perlu mengidentifikasi beberapa hal. 

 Pertama kembali pada tata tertib yang menjadi pintu gerbang lahirnya nahkoda yang visioner terhadap agenda reformasi  PSSI. Diakui atau tidak organisasi ini telah mengalami transplantasi ideologis, sehingga roh yang menghidupinya tercabik cabik. Tarik menarik berupa rupa kepentingan membuat spirit sportivitas runtuh. Tidak sulit merinci dosa dosa dan aib PSSI selama ini. Pengaturan skore, sepak bola gajah, mafia wasit, dan manipulasi lain menjadi bukti kebobrokan di tubuh PSSI begitu akut.

Lazimnya organisasi olah raga hegemoni pengurus yang bertahan begitu lama adalah handycap klasik. Mendesak UU tentang keolahragaan agar proses pembinaan berjalan ideal.

Duel La Nyala vs Eric Thohir adalah representasi paling mutahir.  Kompetisi dua tokoh kawakan di jagad persepakbolaan sama sekali tidak membawa dampak positif. Sebaliknya distorsi yang terjadi akan sangat nyata. Duel itu tak ubahnya palagan politik identas dalam bentuk yang lain, yakni dunia  olah raga. 

Gesekan di lapangan akan sangat tinggi. Kubu La Nyala memiliki jejaring yang mengakar, apalagi dia pernah menjadi Ketua PSSI. Operator lapangan tim La Nyala konon dikomandani Joko Driyono, kampium di Liga Indonesia periode lalu. Jodri begitu tokoh ini akrab disapa, masih memiliki pengaruh kuat di klub klub sepak bola. 

Pernyataan Yoyok Sukawi CEO PSIS menjadi tengara duel ini bakal sengit. Apalagi identifikasi kubu lain, yakni Erick Thohir memiliki portofolio yang sama. Erick selain menteri, yang otomatis mwmiliki akses dengan Istana, dia sudah malang melintang di dunia sepak bola. Erick pernah menjadi pemilik klub liga bergengsi Italia, yakni Inter Milan. 

Erick sudah pasti bersiap khusus terjun di palagan suksesi Ketua PSSI.  Kehadiran Kaesang yang mendampingi saat mendaftar perlu dimaknai  menjadi pesan tersendiri. Artinya duel ini menjadi manifestasi pertarungan kekuasaan.  Ketika sudah masuk pada pusaran seperti ini jamaknya berkembang pertarungan gengsi atau hal lain yang tidak relevan. Dan jika sudah demikian mau tidak mau implikasi yang berpotensi muncul adalah politik uang. Dapat dibayangkan apa yang terjadi kemudian jika politik uang menjadi panglima. Kebobrokan PSSI dan juga organisasi olah raga lain adalah karena nafas sportivitas telah runtuh. 

Catatan ini menjadi renungan kita semua, semoga MLB PSSI tidak menjadi kurusetra yang saling menghancurkan. Kemungkinan itu agaknya cukup terbuka, karenanya ikhtiar meminimalisasi eksea perlu diupayakan sungguh sungguh.

Drs Jayanto Arus Adi, MM adalah Pemimpin Umum RMOL Jateng,  Direktur JMSI Institute,  penggiat Satu Pena Indonesia dan mantan Ketua Bidang Dana PSIS.