Damai Versus Kebenaran

Catatan Jayanto - Damai Versus Kebenaran
Catatan Jayanto - Damai Versus Kebenaran

Banyak jalan menuju Roma, kalimat pendek ini begitu hegemonik dalam rentang waktu panjang, bahkan relevan hingga saat ini. Apakah makna Roma di sini?


Banyak jalan menuju Roma, kalimat pendek ini begitu hegemonik dalam rentang waktu panjang, bahkan relevan hingga saat ini. Apakah makna Roma di sini? Sulit menafsirkan secara tunggal. Karena sebagai sebuah goal Roma dapat dimaknai apa saja? Bisa menjadi sebuah cita cita, spirit atau bisa juga merupakan asa, dalam terminologi lain dia dapat menjadi das sollen.  

Dalam konteks spirituals pemaknaannya pun juga bisa berupa rupa. Artinya jamak, seperti pemeluk Katolik Roma adalah tempat suci di mana Vatikan berada. Atau bisa juga Lourdes. Nah Vatikan juga Lourdes adalah Roma, Kompas untuk menjumbuhkan bathin meraih damai. Manunggaling kawulo Gusti, begitu kata Syech Siti Jenar. Semua itu adalah Roma, sama ketika kami yang Muslim sublim, menyatu, lebur, jumbuh tatkala berada di Mekah atau Kabah.

Intinya Roma adalah sebuah golden goal, yang berelasi pada atmosfir spiritual. Episentrun yang menjadi puncak iman. Mereka menemukan Tuhannya di sana. Karena itu meski dekil, juga berpeluh, kadang berjibaku seperti meniti jalan maut tokh selalu ada asa. Barangkali seperti cinta, menjemput kekasih hati tidak pernah berpantang meski maut menghadang.

Kini membumikan dimensi spiritual itu dan kemudian menyandarkan pada laku hidup yang lebih nyata, kita perlu lebih bijak merumuskan sikap. Hidup sesungguhnya adalah menjalani sesuatu yang absurd, untuk menjangkau yang nyata, dan meraih segala sesuatunya lewat penuaian secara baik. Sesuatu yang diniati baik harus ditunaikan dengan baik juga. Hidup bukanlah mitos ala Pahlawan Zoro.

Kontroversi yang kadang memicu gesekan ketika Jalan Roma lantas didogmakan. Pandangan ekstrem lahir pada ekstase ini, yakni ketika pemujaan dogma melampui batas rasionalitas, dan sepi dari ruang toleransi. Dialektika tentang keseimbangan menjadi tidak berlaku di sini. Mestinya kegelapan menjadi terang dengan turunnya sang pencerah. Jahiliah menjadi pupus ketika Nabi Muhamad SAW datang. 

Inilah yang menjadi pengejawantahan masyarakat madani, dan dalam perspektif yang lebih snobis menjadi civil society.  Potret kemajemukan, pluralisme adalah Taman Sari wajah Indonesia. Toleransi tersemai elok  di sini. Seperti pesan Bung Karno, berupa rupa tetapi tetap Indonesia. Bagaimana menjadi Islam, tetapi bukan Arab, bagaimana menjadi Hindu, tetapi bukan India, juga bagaimana menjadi Kristen tetapi tetap Indonesia.

Pancasila menjadi ideologi yang membingkai semua itu. Jahiliah menjadi madani, otoriter menjadi demokratis, dus kehidupan penuh harmoni, selaras, dan warna warn.  Adalah aneh kadang kita menyaksikan seruan seruan kebaikan dengan jalan pedang. Kebenaran adalah jalan damai, kebaikan adalah kata hati, biarkan nurani mengalir mengikuti alurnya. 

Seperti hati, seperti cinta biarlah temali dan menyatunya mengalir seperti migrasi ikan Salmon. Mereka berenang jutaan mil dari hulu Amazon ke Samudera Atlantik. Agama, iman, dan religiositas adalah laku yang menjahit akal, hati dan tindak. Biarlah itu matang menuju muara sesuai dengan kata hati tidak melalui mobilisasi yang profan. 

Banyak Jalan menuju Roma. Banyak jalan damai. Seribu jalan meraih Bahagia. Sesuatu yang diniati baik, harus ditunaikan dengan baik. Biarlah dogma dan doktrin berada pada domainnya masing masing. Dogma dan doktrin bukanlah entita yang dapat dibawa melampui dimensi yang cair, tetapi subyektif, beku dan tipis.

Konteks yang dapat menjadi narasi sandingan adalah seperti demokrasi di dunia militer. Di sini demokrasi jelas tak berlaku karena perintah komandan adalah perintah tuhan. Artinya terhadap perintah di sini yang berlaku adalah siap laksanakan. Tidak ada dialog, tidak ada tawar menawar, atau negosiasi. Doktrin militer adalah entitas yang menjadi jiwa karsa dari les prit de corps. Ini memang berbeda dengan dogma. Tetapi secara cognitif memilki dimensi yang senafas. Hanya berbeda pada aras substansi yang menjadi inti dari obyek relasi secara transenden.

Dua aspek tersebut ketika kemudian diurai menjadi spektrum yang memijakkan akarnya pada nilai nilai universal tentang hitam putih maka substansinya secara esensial menjadi lain. Doktrin militer hanya berlaku di sana (baca -militer). Di sini paradigma banyak jalan menuju Roma menjadi tak berlaku. Karenanya menyemai kedamaian terkadang menjadi tidak pas melalui jalan dogma. 

Inilah yang bagi penganut aliran posttruth mukai meninggalkan agama sebagai jalan menuju Roma. Mereka tak mempedulikan lagi agama, karena puncak dari kesolehan bergama akan memandang orang yang bergama lain mendadi murtad. Maaf  menjabarkan kristalisasi dogma, yang terjadi kemudian kesolehan akan melahirkan kekafiran. 

Dalam kontes ini saya merasakan suasana kebatinan temen temen penghayat kepercayaan. Hidup adalah berbuat baik, damai adalah manunggalnya pikiran, hati, ucapan dan laku. Tuhan ada di hati kita. Manifestasi keilahian adalah mengikuti kata hati. Maka kata Al Halaj kemudian terucap Ana Al Haq. 

Semestinya puncak spiritual adalah mendaki kedamaian Kesolehan beragaman bukan menjadi orang lain menjadi kafir, dan jauh dari Tuhan. Agama bukan menjadi topeng melihat saudara saudara kita. Ketika agama masih menjadi baju, bukan menjadi jalan menuju Roma, maka kita harus mensuci hati, mengheningkan cipta agar laku itu sampa pada jalan Tuhan. 

Jayanto Arus Adi
Pemimpin Umum RMOL Jateng, Anggota Dewan Pertimbangan dan Mahasiswa Program Doktoral Manajemen Kependidikan Unnes Semarang. Pokja Hukum Dewan Pers dan Ketua Bidang Kerjasama antarlembaga Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI). Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili institusi atau sikap Lembaga.