Jokowi, Sang Pemahat Zaman

Joko Widodo, Walikota Solo, Gubernur DKI dan saat ini Presiden RI ketujuh adalah pribadi luar biasa. Profil dan pribadinya merepresentasikan kesahajaan, santun, dan rendah hati. Satu lagi, Jokowi sangat cerdas, futuristik, tidak bisa dipersonifikasikan dalam satu potret. Dia adalah satrio tan kiniro, putra sang zaman dan tokoh besar pasca Soekarno. Pemikiran dan langkahnya jauh melampui orang kebanyakan.


Maaf, meski dipersonifikasikan orang deso, plonga plongo, bloon dan serupanya, tapi Jokowilah presiden terbaik republik ini, setelah putra sang fajar, Bung Karno. Artinya,  kalau Jokowi adalah putra sang zaman, duo putra itulah yang menjadi pemahat utama bangsa ini. Tentu,  presiden sebelumnya, Habibie, Gus Dur, Mega dan SBY menabalkan legacy masing masing untuk bangsa ini.

Saya mencoba menyelami visi dan jalan pikiran Jokowi. Narasi-narasi negatif yang dibangun elite partai di luar pendukung Prabowo - Gibran adalah sikap alay yang diselimuti character assassination. Megawati Soekarnoputri termasuk pihak yang keliru menafsir putra sang zaman ini. Kata-kata putri sang Proklamator yang menyebut ‘Pak Jokowi kasian deh, kalau tidak ada PDI Perjuangan’ akhirnya menjadi sebuah enigma dan membawa tsunami dahsyat.

Sedikit menyitir ucapan tokoh PDI Perjuangan sendiri, Bambang Wuryanto ‘Pacul’,  approval rating Jokowi begitu tinggi. Dengan capaian angka yang begitu fantastis maka bahaya melawannya. Apalagi PDI Perjuangan merepresentasikan sebagai partainya wong cilik. Kini simbol wong cilik itu adalah Jokowi, karena tidak menguntungkan bagi partai banteng mencereng jika tak memberi ruang ‘sang petugas partai’ yang tak lain Joko Widodo,

Di Simpang Jalan 

Demokrasi kita saat ini,  seperti sedang berada di simpang jalan. Jokowi bukan tak paham hakikat demokrasi, namun dia menyadari distorsi yang muncul, jika mengikuti begitu saja konstitusi kita. Untuk diketahui,  Indonesia nyaris terjebak pada demokrasi kanibalis. Demokrasi kanibal adalah demokrasi yang memakan sesama dengan dalih untuk kepentingan bersama. 

Amandemen UU 1945 adalah kontroversi atau ada yang mengatakan euforia demokrasi yang kebablasan. Reformasi yang berhasil menggulingkan Soeharto, melahirkan perubahan multidimensi, tetapi sayang diliputi dekadensi etik dan norma ke-Indonesia-an yang memprihatinkan. Degradasi yang menyolok adalah rapuhnya semangat gotong royong, dan merosotnya prinsip-prinsip clean government. 

Prinsip merit system dalam birokrasi hancur akibat merasuknya kepentingan politik, dan cara cara politik diintroduksikan di sini. Terminologi politic is dirty and cruel, seperti diungkap Benyamin Magalong boleh jadi benar adanya. Machiaveli menjadi tuhan penganut mazab ini. Tetapi ada pendapat lain, politik adalah kemulian. Dia jalan pedang, tinggal siapa yang menghela sang pedang itu. Yang jelas,  politik adalah ruang yang sarat dengan kelindan setan, lengah dengan suara hati, maka larutlah politik menjadi palagan kurusetra.

Penyakit lain yang menggerogoti bangsa ini adalah korupsi. Era orde baru korupsi dilakukan para elit dan pemegang tampuk kekuasaan. Sementara korupsi di era reformasi, merata hampir di setiap lini, dan bidang kehidupan berbangsa. Di sektor olahraga ada korupsi, ingat kasus Hambalang, yang menyeret Andi Malarangeng, Nazarudin di era SBY. Kemudian ada Imam Nahrowi di era Jokowi. Kasus serupa di departemen sosial menyeret Juliari Batubara. Dia diterungku akibat memanipulasi bantuan Covid-19. Masih ada lagi, departemen agama tak luput jadi jarahan sang menterinya sendiri, yakni Surya Darma Ali. 

Sampai saat ini belasan menteri. kepala lembaga tinggi, puluhan gubernur dan ratusan bupati telah disikat KPK karena jadi pejabat lancung. Politisi baik di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota sudah tak terbilang jumlahnya. Melihat jumlahnya yang begitu jumbo, baik pelaku maupun kerugian yang ditimbulkan korupsi ibarat kanker stadium empat yang sangat berbahaya. Aneh tapi nyata bahkan seorang ketua lembaga antirasuah, kini didera persoalan hukum, sudah menjadi tersangka, dan dicopot dari tahtanya.

Ada yang Salah 

Kecenderungan ini pasti ada yang salah dengan tata kelola negara ini. Uang telah jagal dan penggoda idealisme. Politik transaksional menjadi keranda kematian bagi hati nurani dan akal sehat. Pelik memang, tetapi ongkos untuk menjadi politisi (legislator) tidak juga murah. Anggota DPRD II memerlukan modal tidak kurang Rp 1 M, DPRD I Rp 2,5 M, dan DPR RI paling tidak Rp 5 M.  

Angka-angka yang begitu fantastis, belum lagi untuk maju menjadi kepala daerah (bupati/gubernur dan presiden angka atau budget pasti lebih tidak masuk akal. Jabatan, kedudukan dan pangkat bukanlah wilayah yang steril bau anyir kongkalikong. Hukum ekonomi berlaku kalau mendapatkannya beli, maka istilah jawa nggolek balen,  bukan sesuatu yang aneh. Ketika aparatur negara telah berkubang dalam interaksi seperti itu, maka yang terjadi kerja keras, kerja tuntas, apalagi ikhlas sulit terwujud. Kecenderungan bekerja mengharap imbalan bukan sepi ing pamrih rame ing gawe menjadi sebuah keniscayaan.

Kembali ke sosok Jokowi.  Fase Indonesia sekarang adalah babak gara gara dalam lakon wayang. Siapa dalang dari sebuah repertoir besar bangsa. Kemarin kemarin kita seperti larut dalam orkestra semu yang menabalkan atau telunjuk mengarah pada patron patron tertentu penguasa partai politik, sebut Megawati, Surya Paloh, Airlangga Hartarto atau Cak Imin. Jokowi sama sekali tak masuk hitungan atau dipandang sebelah mata.

Pandangan nyinyir yang diungkap tokoh Yabortan di Jawa Tengah meledek Indonesia terlalu sayang diserahkan pada sang tukang kayu, menyebut dengan gimik under estimate pada Presiden Joko Widodo. Ahh,  tetapi pandangan Budi Darmawan tokoh itu keliru habis. Jokowi bukan seperti kesan awam orang mengira, karena dia sesungguh sang pemahat zaman.

Putra zaman ini sedang berikhtiar membangun dan membedah sejarah. Anjing mengonggong kafilah tetap berlalu, meski direndahkan, diremehkan, juga caci maki, dialah dalang, dialah pemegang tampuk konstitusi, pemegang mandat amanat rakyat. Jokowi adalah presiden dengan kepercayaan diri luar biasa, pekerja keras, tak banyak mengumbar kata kata. 

Banyak pihak terkaget-kaget, seperti bangun dari mimpi menatap Jokowi sekarang ini. Untuk diketahui, ketika orang lain tidur, Jokowi mewujudkan mimpi dan bekerja keras setiap waktu. Keliru anggapan yang menyebut,  mantan gubernur DKI ini melangkah karena bisikan sang istri Iriana. Iriana adalah ibu negara profil perempuan Jawa utuh sebagai pendamping suami. Bayangkan,  seorang Megawati pun tak mampu menekan, apalagi menyetirnya. Sikap Jokowi adalah orisinil, otentik lahir dari pemikirannya sendiri. Dia adalah presiden yang melaksanakan utuh falsafah manjing, ajur, ajer dalam terminologi Jawa. Bagaimana hak prerogatif belakangan publik melihatnya lebih utuh adalah karena Jokowi memberi afirmasi yang lebih nyata. 

Sorotan beberapa pihak soal cawe- cawe sang presiden misalnya, Jawaban dia telak. Ya, untuk sebuah tanggung jawab sikap itu harus dia pilih. ‘’Selama ini diolok-olok, diejek, dihina, direndahkan saya diam. Tetapi sekarang saya harus melawan,’’ begitu afirmasinya. Ketika pernyataan itu disampaikan, sesungguhnya Jokowi telah jauh melangkah. Secara simbolik tanda-tanda itu telah diungkapkan, namun publik kurang menyadarinya.

Kini, perjalanan bangsa telah memasuki pada babak yang begitu menentukan. Bagaimana pun putra sang zaman ‘presiden plonga plongo, wong ndeso, sang tukang kayu’ telah memberi pelajaran berharga untuk kita semua. Selanjutnya, biarlah rakyat yang kemudian menjadi hakim untuk menentukan laju dan arah bangsa ini.

Gunakan kejernihan hati, juga nurani yang bening untuk menentukan siapa nahkoda bangsa ini. Demokrasi terlahir dari demos dan kratos. Demos adalah rakyat dan kratos adalah suara. Saatnya suara rakyat bicara. Selamat datang demokrasi, terima kasih Jokowi. Merdeka!

Jayanto Arus Adi

Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi RMOL Jateng, Wartawan Senior, Ahli Pers Dewan Pers, Dosen, Pengamat dan Konsultan Politik.