Amien Rais, sang empu reformasi, sempat mencuatkan kontroversi karena pernyataannya tentang people power. Tapi lepas dari itu, pernyataan Amien Rais sesungguhnya adalah edukasi yang baik utk publik. Bagi saya setidaknya ada dua hal penting perlu dijadikan tonggak di sini, pertama kita sekarang ini menghadapi tata nilai yang sedang bergerak cepat. Semua bergerak, meminjam istilah Robert T Kiyosaki berpindah quadrant.
- Siapa Membunuh Siswa SMK?
- Ini Dia Liga Gila Korupsi Indonesia
- Pagar Laut, Panggung Atau Penjara Untuk Siapa (4-Habis)
Baca Juga
Pergerakan itu cepat. Seperti kereta api melintasi terowongan. Penumpang yang tidur tergagap gagap, chaos dan panik menghadapi keadaan. Tragis sebelum mampu menguasai keadaan, kereta telah berada di seberang terowongan. Ya, itu analog kecil pergerakan, dengan perubahan yang mengiringi.
Lalu di manakah singgungan dengan revolusi? Ada hal lain, dan ini menjadi esensi pergerakan atau lebih tepat perubahan yang sering tidak kita sadari, termasuk begawan sekaliber Amien Rais.
Dunia sudah berubah, paradigmanya sudah berbeda, begitu pun format, platform, bahkan nilai nilai budaya yang menaungi. Semua berubah. Tatanan di republik ini pun demikian. Demokrasi jadi panglima.
Karenanya apakah tepat ketika demokrasi lantas dihadapkan pada people power. Ya karena pemilu curang, dan lain sebagainya? Tapi tidak bisa jga karena tuduhan itu lantas rakyat dihadaphadapkan? Ada mekanisme bermartabat yang semestinya diintroduksikan kepada publik sebagai jalan keluar, yakni MK.
Biarlah MK menjadi penjaga keadilan, menjadi tangan panjan tuhan utk keadilan. Memang MK adalah manusia. Tapi peradialan di alam yang serba terang benderang begini, proses peradilan akan ditutup-tutupi dan dimanipulasi. Saya percaya akal sehat, saya percaya hakim konstitutisi tak sebobrok itu jga. Satu lagi, kalau publik sepertinya mengisyaratkan kuat menerima hasil Pileg, sebenarnya terhadap Hasil Pileg pun demikian.
Hiruk pikuk dan gaduh karena elit tak memberi pencerahan, tapi menyorongkan pembusukan untuk ambisi2 politik usang. Seperti syahwat politik tokoh tokoh gaek yang terserak ke publik mudah dibaca apa maknanya.
Maaf apakah beliau beliau dan mereka tak menyadari mekanisme dan hukum alam. Seperti kita beradu lari dengan yang lebih muda. Apa pun dan bagaimana pun secara fisik kita tak mampu menandingi.
Siapa yang bisa menahan kuasa alam. Demokrasi adalah anak zaman. Perubahan adalah keniscayaan.
Mesin ketik mampukah menandingi komputer, apalagi laptop? Bisakah kita bertahan untuk imun dari gadget? Atau menutup mata agar tak terjangkiti transaksi elektronik?
Pendekar pendekar republik ini, seperti para founding father sesungguhnya telah memiliki kearifan untuk ini. Kita hormat dan tunduk kebesaran jga sikap kenegarawanan Bung Hatta, tak luput Hamengkubuwono IX. Demi republik tercinta dua tokoh ini rela undur. Sebuah teladan, tuntunan tanpa banyak narasi.
Setiap pemimpin ada zamannya, ada masanya. Setiap zaman ada pemimpinnya. Dialektika sejarah, sederhana tapi luar biasa.
Adakah demokrasi ketika itu? Demokrasi yang manakah jga, demokrasi ala people power, revolusi ala kadar? Ya semoga menjadi renungan. Catatan ini pun sekadar uneg unek di kedai angkringan.
Menunya nasi bungkus, sembari dihangatkan jahe merah utk menambah mantap teh hangat
Tak terasa, malam larut dan kami bergegas pulang.
Late night, Bilangan Hanoman Semarang - 12 Juni 2019
Jayanto Arus Adi
Pemimpin Umum RMOL Jateng, yang juga anggota Pokja Hukum Dewan Pers RI
- Diplomasi Jamu Coro Ala Sunan Kalijaga
- Assalamualaikum Pak Singgih Setyono
- Memaknai Tangis Megawati