Panas adem hubungan Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum Partai Nasdem menjadi sebuah kontroversi yang perlu menjadi pelajaran kita semua. Sudah menjadi rahasia umum dua tokoh itu tengah berkontraksi secara politis. Meminjam istilah kedokteran kontraksi adalah kondisi perut wanita hamil yang mengalami tarikan tarikan tertentu mengakibatkan kejang dan dapat berakibat keguguran.
- Wahai Bersatulah Para Celeng Perjuangan
- Pak Lutfi..Pak Lutfi...Tenang Saja, Saya Sudah Di Sini!
- Kasus Hasto Menyandera PDI Perjuangan
Baca Juga
Dua sahabat ini rupanya sedang mengalami fenomena kontraksi lazimnya wanita hamil. Karena tarikan tarikan yang terjadi bisa saja selisih ucap, atau selip sikap memicu psikologi masing masing bereskalasi naik. Mantan Walikota Solo biasanya hangat dengan memberikan panggilan abang ke Surya Paloh, belakangan rada kaku. Acara penting pertemuan pimpinan Parpol di Istana misalnya, sang Abang tak juga diundang.
Istilah jawa peristiwa tersebut seperti ‘ngowah owahi adat’. Dulu, keduanya hangat dan selalu seiring sejalan menjadi bagian penting perjalanan pemerintahan ini. Selip sikap terkait dengan dinamika politik 2024 menjadi biang keretakan.
Nasdem yang notabene merupakan partai pendukung pemerintah tiba tiba bermanuver politik kelas tinggi dengan mendeklarasikan Anies Baswedan. Tak itu saja Surya juga menginisiasi Koalisi Perubahan bersama PKS dan Partai Demokrat.
Akumulatif dan Bereskalasi
Panas adem relasi Joko Widodo dengan Surya Paloh ini bukan terjadi sekali dua kali saja. Namun berakumulasi dan mendaki. Dalam acara puncak peringatan HUT ke-58 Partai Golkar Jumat (21/10/2022) mereka (Jokowi dan Surya Paloh) ‘bertemu’ hanya tak seperti biasa.
Saat Presiden menyapa tamu undangan, Surya Paloh dengan hangat merangkulkan tangan kirinya ke punggung Jokowi, namun publik melihat bertepuk sebelah tangan. Karena kakek Jan Ethes ini tak membalasnya. Dia sekadar menepuk pundak kiri bos Media Group tapi tak balas merangkulnya.
Sinyal itu berlanjut ketika Hari Ulang Tahun (HUT) ke-11 Nasdem. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, Jokowi absen dalam acara tersebut. Nasdem beralasan, Presiden tengah berada di luar negeri. Nasdem pun sempat menyebut bahwa Jokowi bakal mengirimkan ucapan melalui video. Hanya, hingga acara ulang tahun lewat, tak ada ucapan apa pun buat Nasdem.
Lagi Minggu (2/4/2023), Surya Paloh juga tak hadir dalam silaturahmi antara Jokowi dengan lima Ketua Uum partai politik pendukung pemerintah yang diinisiasi oleh Partai Amanat Nasional (PAN). Meski partai berlogo matahari yang menginisiasi, pertemuan ini merupakan sekuel atau menjadi berangkai dengan agenda agenda sebelumnya.
Hadir di sana Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ada lagi Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dan Plt Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhammad Mardiono.
Di sini Jokowi terang-terangan menyatakan Surya Paloh tidak diundang karena Nasdem sudah punya koalisi sendiri. Pesan lebih terang dari sang abang menyadarkan bos Media Group ini jika dia telah ‘disapih’ alias ditinggalkan oleh Jokowi.
Kendati begitu Surya mengaku tetap menghormati keputusan Jokowi itu. Tokoh sentral Partai Nasdem ini berkilah Jokowi bertindak seperti itu lebih merepresentasikan sebagai pemimpin koalisi partai pemerintahan. Sinyal itu sekaligus menjadi simpulan Nasdem tidak lagi di dalamnya.
Surya merasa, tak ada yang salah dengan langkah partainya mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal capres. Menurut dia, manuver itu tak bisa serta merta diartikan sebagai keinginan Nasdem untuk hengkang dari barisan partai pendukung pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Surya pun enggan dianggap berseberangan dengan Jokowi. Dia menegaskan komitmen Nasdem untuk tetap bersama pemerintahan Jokowi-Ma’ruf hingga akhir. Dia justru membandingkan posisi Nasdem dengan partai politik yang pada Pemilu 2019 lalu bukan bagian dari koalisi pengusung Jokowi-Ma’ruf, namun kini berada di pemerintahan.
Telunjuk Paloh mengatah pada Gerinda dan PAN. Keduanya berada di koalisi seberang pada Pemilu 2019, tetapi sekarang bergabung menjadi partai pendukung pemerintah setelah Jokowi terpilih sebagai presiden. Nasdem bersama PDI Perjuangan dan PKB sejak awal selalu mendukung Jokowi.
Kini digoreng-goreng
Dinamika yang berkembang sekarang mitra koalisi pemerintah seperti memojokkan Nasdem gara gara deklarasi pencapresan Anies Baswedan. Perbedaan adalah wajar, apalagi di era demokrasi, karenanya tak elok terus dipertajam, apalagi terus digoreng goreng sehingga rawan memicu komplikasi politik. Indonesia hari hari ini menjadi negara yang beritu riuh dan gaduh terkait suksesi 2024.
Kecendrungan itu sesungguhnya baik ketika dibarengi enginering substansi yang lebih bermanfaat bagi rakyat banyak. Maaf rasanya terlalu eman ketika pemilihan presiden sekadar menghadirkan tokoh itu itu saja. Anis Baswedam, Prabowo Subiyanto dan Ganjar Pranowo tidak merepresentasikan tokoh terbaik bangsa ini. Karena nama nama itu adalah produk sistem politik kartel yang tidak memungkinkan lahirnya tokoh alternatif.
Presidential Threshold 20 persen adalah ‘brubu’ demokrasi kita. Brubu adalah jebakan ikan yang sering digunakan nelayan, mereka bisa masuk, tetapi tidak bisa keluar. Apalagi kelindan partai politik dengan oligor oligor jelas memberi ruang yang begitu sempit bagi pemimpin independen, Kisah Mahfud MD pada pilpres 2019 lalu adalah testimoni paling faktual dan otentik. Keinginan Joko Widodo untuk meminangnya akhirnya terbentur tembok yang bernama apa daya.
Distorsi Restorasi Nasdem
Anis Baswedan yang diusung Koalisis Perubahan dengan Nasdem, PKS dan Partai Demokrat bukanlah tokoh yang sepi dari kontroversi. Karena senyatanya Anis lebih pas sebagai aktivis politik. Dia tidak berpartai, namun kelindan dengan tokoh tokoh partai menjadi kepiaswainna mendapat panggung simpati. Periode Jokowi pertama dia masuk usaran elit dan menjadi juru bicaranya.
Jokowi jatuh hati sehingga mendapukya menjadi Menteri Pendidikan. Tugas itu tak sampai tuntas karena akhirnya diresafel biang menjadi sebab bertiup keras berupa rupa. Artinya ada kontroversi di sana. Selang tak begitu lama Anis muncul di palagan Pilkada DKI. Ketika itu langkah zig zagnya dengan diplomasi liris mampu menyihir Prabowo Subianto. Berpasangan dengan Sandiaga Uno, mantan Rektor Universitas Paramadina ini menjadi penantang bagi calon yang didukung dua tokoh yang kini tengah berseteru, yakni Joko Widodo dan Surya Paloh.
Apakah ada masterpiece Anis Baswedan di berbagai bidang pengabdiannya itu, mulai dari Paramadina, Menteri Pendidikan dan juga Gubernur DKI, silakan publik mengupdatenya sendiri. Yang nyaring terdengan saat ini, apalagi diberi bumbu politik begitu menghebohkan, kasus pameran buku di Jerman, kasus Formula E, dan yang legendaris Anis melekat dengan sebutan 'Bapak Politik Identitas'.
Prabowo dan Ganjar tokoh yang juga dilekati stigma masing masing. Karenanya ketika Nasdem bermanuver dengan mendeklarasikan Anis Baswedan maka banyak pihak menilai sebagai keputusan politik yang blunder. Langkah itu tidak saja melahirkan kontroversi, tetapi Nasdem telah menciderai spirit restorasi yang menjadi way of life-nya.
Gara-gara Anis kemesraan Jokowi – Surya Paloh berantakan. Bisa jadi bukan sekadar soal Anis juga, namun eksponen koalisi perubahan, yakni Partai Demokrat dan PKS adalah representasi simbolik oposisi Pemerintahan Jokowi. Sampai di sini, apakah seorang Surya Paloh tidak mampu membaca yang tersirat di sana?
Koalisi semestinya dibangun dengan mendasarkan spirit untuk kemaslahatan masyrakat banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok. Membaca manuver Nasdem dan sekondan koalisinya mereka sepertinya cenderung mengutamakan ego politik maka otomatis memercik gaduh dan memicu turbulensi yang lain, sebut konstraksi seperti yang telah ditulis di awal tadi.
Demokrasi tanpa Demokrat
Mencermati panggung politik kita akhir akhir ini, kita seperti tengah disuguhi tontonan sinetron picisan di layer kaca. Kita masih ingat perseteruan di internal Demokrat antara kubu AHY-SBY vs kbru Muldokdo. Ketika sedang kebat kebit menunggu putusan final di MA, yang konon akan dimenangkan Moeldoko, tiba tiba muncul manuver Puan Maharani, putri mahkota Megawati dengan AHY putra mahkota SBY.
Kita melihat pertemuan itu dari dua aspek, pertama sebagai ikhtiar membangun silaturahmi, yakni komunikasi politik untuk memecah kebekuan yang terjadi antara PDIP dan Partai Demokrat, atau persisnya Mega vs SBY tentu positif. Aspek kedua inilah manuver politik untuk menjajaki dagang sapi pada pilpres mendatang.
Lagi lagi pengalaman Pilkda DKI kemenangan Anis-Sandi pada putaran kedua, diraih karena migrasi pendukung AHY-Silviana Murni. Puan Maharani boleh jadi sedang melakukan langkah jump of the boks mengantisipasi putaran kedua Pilres agar pendukung Anis tidak lari ke Prabowo tetapi ke Ganjar. Kalkulasi ini menjadi sebuah renungan spiritual dan positif, namun sebaliknya udang di balik batu yang lain perlu dicermati.
Pertanyaan kemudian, benarkah Moeldoko pasti kalah, dan Demokrat melenggang? Jawaban ini menjadi sebuah puzzle politik yang dapat dibaca dua tiga langkah ke depan. Artinya, kemungkinan pertama Puan Maharani sebagai duta koalisi partai pendukung tengah mengemban misi trisula, satu gerak dengan tiga mata tombak sekaligus. Pertama mencairkan kebekuan Mega-SBY, kedua menarik Demokrat masuk ke barisan pendukung Ganjar, dan trisula pertama atau kedua gagal, maka opsi terakhir meminta di putaran kedua suaranya dialihkan ke Ganjar Pranowo.
Analisis ini memijakan pada konstraksi yang sedang mendera Koalisi Perubahan lantaran Anis masih mengulur ulur waktu menentukan siapa cawapresnya. Salah satu obligasi yang dibangun Demokrat adalah siap memberikan dukungan asal AHY menjadi RI 2. Berbulan bulan digantung pertemuan dengan Puan adalah buah simalakama yang kini harus diambil Anis.
Untuk menguji hipotesis di atas waktunya kini sedang mendekati injury time. Janji Anis usai kembali dari ibadah haji siapa Cawapresnya akan diumumkan, Apakah timing itu benar benar menjadi fix time untuk menjawab pertanyaan orang ramai, jawabnya pasti tidak. Karena besar kecenderungannya pilihan Anis tidak akan jatuh ke AHY.
Dalam konteks politik, meski bukan politisi, Anis adalah pemain catur politik yang tangguh. Bayangkan dia mampu meyakinkan Surya Paloh untuk memberikan tiket gratis, bahkan legacy khusus, RI 2 sepenuhnya diserahkan pada Anis. Ini luar biasa, belum lagi manuver itu telah mengoyak kemesraaan hubungan adik – abang, Surya Paloh – Joko Widodo.
Artinya dinamika demokrasi yang berjalan saat ini masih berkutat pada tarik menarik dukungan politik seperti di atas. Wajah demokrasi Indonesia pascareformasi yang kini memasuki panca warsa belum terformulasi pada track yang pas, namun tetap saja acak kadul mengikuti selera bandar alias cukong dan pasar.
Sampai di sini, ke mana muara dari pergerakan dan manuver manuver yang ada, apa goal yang menjadi ending proses demokrasi yang pilpres. Yang merisaukan perhelatan pesta demokrasi masih jauh api dari panggang sebagai kawah candradimuka yang melahirkan ksatria Indonesia seutuhnya. Namun tak lebih menjadi sinetron yang kurang bermutu dan berkualitas.
Demokrasi kita sepertinya terjebak, atau terjerumus sebagai instrumen kekuasaan belaka ala pengikut Nicolo Machiaveli. Kecenderungan ini menjadi penegas demokrasi sekarang miskin sikap demokratis. Apa yang terjadi di partai Demokrat bentuk SBY muncul karena kultur feodal yang diintroduksikan SBY. Untuk ambisi politik orang tua, Agus Harimurti Yudhoyoo terpaksa atau dipaksa undur dari dunia militer yang membesarkannya.
Atas nama politik, konon AHY mesti menghadapi pilihan terjal serupa. Bahwa kini dia tumbuh menjadi politisi ‘garang’ namun kematangan dan kearifannya masih perlu diasah. Pertemuan Puan-AHY adalah terobosan yang elok bagi politik kita saat ini. Publik teredakan atau semoga bisa melupakan relasi yang membeku dan berkutub antara SBY vs Mega.
Publik tentu menunggu dan berharap Pilpres 2024 dapat diminimalisasi tercabiknya kembali rasa kebersamaan dan kebangsaan. Tragis dan ironis demokrasi kita yang yang makin jauh dari nilai-nilai demokratis itu sendiri. Maju tak gentar adalah realitas nyata dalam demokrasi kita.
Drs Jayanto Arus Adi, MM, adalah Wartawan Senior, Pemimpin Umum RMOL Jateng, Ketua Umum Mobile Journalis Indonesia, Direktur JMSI Institute, Ahli Pers Dewan Pers, Konsultan Media & Komunikasi juga Pengajar FBS Unnes dan Dosen STIE Bank BPD Jateng.
Tulisan ini merupakan pendapat dan pandangan pribadi, tidak mewakili atau merepresentasikan lembaga maupun institusi yang ada.