Bati Mulyono: Soeharto Menikmati Pembunuhan Itu…

Asia Justice and Rights: Harus Ada Pengakuan Negara, Petrus sebagai Pelanggaran HAM Berat
Bati Mulyono, penyintas Petrus 1982-1985 di era Pemerintahan Orde Baru. / RMOL Jateng
Bati Mulyono, penyintas Petrus 1982-1985 di era Pemerintahan Orde Baru. / RMOL Jateng

Presiden Soeharto sangat menikmati pembunuhan mereka yang disebut preman dalam peristiwa Penembakan Misterius (Petrus) di era 1982-1985.


 ‘’Saya berani katakan, Soeharto sangat menikmati pembunuhan itu. Tiap pagi, saat dia minum kopi sambil baca koran membaca korban yang terbunuh setiap hari dan dimuat di koran,’’ ungkap Bati Mulyono, penyintas Petrus, dalam diskusi publik ‘’Orba dan Praktik Extra-Judicial Killing: Suara Penyintas Penembakan Misterius 1982-1985’’ yang digelar Klinik Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia Universitas Negeri Semarang (Unnes), Kamis (23/9).

Menurut pria yang disapa BM ini, Petrus sudah diskenario sedemikian rupa diawali oleh Operasi Clurit yang dipimpin Pangkopkamtib Jenderal Sudomo.

‘’Tiga tahun itu seribu hari. Bayangkan, kalau satu hari satu korban dibunuh, berapa orang yang jadi korban Petrus di seluruh Indonesia?’’ tegasnya.

BM menyatakan, sebelum peristiwa Petrus, dia sempat dipanggil institusi militer di Semarang. Namanya berada dalam urutan nomor satu se-Indonesia daftar penjahat yang harus dihabisi.

‘’Saya melarikan diri ke Jakarta, ke mana pun sampai bersembunyi ke Gunung Lawu. Saya melarikan diri sampai 10 tahun, baru berani muncul saat Soeharto dan Orde Baru tumbang tahun 1998,’’ ungkap Ketua Fajar Menyingsing, organisasi para korban Petrus yang anggotanya mencapai 6.000 orang.

‘’Selama 3 tahun Soeharto sangat menikmati pembunuhan itu, karena mayat para korban setiap hari dipajang di koran-koran. Mereka dijemput di rumah, di jalan, dan mayatnya dibuang di jalan, sawah, kali, dimasukan karung,’’ ungkapnya.

BM menyatakan, tak semuanya korban Petrus adalah para preman dan gali (penjahat). Korban pembunuhan pertama bernama Ripto, kata BM, bukan gali atau residivis, tapi mantan tapol.

‘’Slamet bungkuk, itu juga bukan gali. Dia calo di Pengapon, agen koran, tapi diculik dan dibunuh.  Ada pula Alex, dia aktif di gereja,  bapaknya pendeta Gereja Masehi di Poncol, juga ikut dibunuh,’’ tandasnya.

Petrus bahkan diakui sendiri oleh Soeharto dalam bukunya ‘’Soeharto Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya’’. Bahkan, Wapres Adam Malik menyatakan, bahwa para korban itu jangan diberi hak untuk banding, kasasi, atau PK. ‘’Adili saja, yang penting dihukum, tapi jangan diberi hak membela diri,’’ ungkapnya, menirukan pernyataan Adam Malik.

Mengapa saya melarikan diri sampai 10 tahun, padahal Petrus hanya 3 tahun? ‘’Itu demi keselamatan saya dan keluarga. Banyak anak-anak korban Petrus yang mati ngenes gara-gara terus disatroni dan diperas oleh oknum-oknum aparat. 

‘’Sebenarnya, saya sudah tak peduli, kasus ini mau dibuka atau tidak, pelakunya diadili atau tidak? Saya sudah capek. Saat saya diberi tahu pemerintah bahwa kasus ini mau dibuka, saya sempat senang. Tapi ternyata hanya untuk korban, bukan untuk para pelakunya. Saya jadi tak tertarik lagi,’’ tegasnya, yang mengaku selama masa pelariannya hidup banting tulang membiayai hidup  keluarganya.

Kasus ini, kata BM, terbongkar berkat peran aktivis hukum dan HAM, HJC Princen, yang membuat Menlu Belanda menegur Soeharto dan minta agar menhentikan Petrus.

Deputi Manajer Asia Justice and Rights Kania Mamonto mengatakan, negara harus mengakui dan menyatakan ada pelanggaran HAM berat dalam kasus Petrus di era 1982-1985.

‘’Namun, tampaknya negara sulit mengakui demikian, karena pada 2019, Menkum HAM Machfud MD menyatakan bahwa kasus ini tak bisa ditindaklanjuti karena korban dan pelakunya sudah tak ada lagi,’’ ujar Kania Mamonto.

Menurut Kania, kasus Petrus tidak bisa dibiarkan tanpa adanya hukuman atau pengadilan bagi para pelakunya. Karena kejahatan itu ada komandonya, ada pihak yang memberi perintah/komando untuk membunuh para preman, penjahat

Dosen Hukum Pidana FH Unnes M Azil Maskur menyatakan, kasus Petrus harus dibawa ke persidangan melalui Peradilan HAM Ad Hoc.

‘’Ini PR kita bersama, agar peristiwa serupa tidak terulang, dan pelakunya diadili,’’ tegas Azil Maskur.

BM mengaku, kasus Petrus menjadi pelajaran sangat berharga dan minta agar para mahasiswa hukum menjadikan kasus ini sebagai lembaran hitam negara ini agar jangan terulang di masa depan.

‘’Ini murni kasus politik. Saya tak percaya ini kasus hukum atau pelanggaran HAM berat, itu pepesan kosong. Sampai kiamat tak akan pernah akan diungkap,’’ tegas BM, yang mengaku bersyukur anak-anak dan cucu-cucunya hidup bahagia dan punya masa depan.

Anak sulungnya jadi doktor dan dua periode jadi anggota KPU. Tiga cucunya berhasil masuk PTN ternama, Teknik sipil Undip, Hubungan Internasional UI, dan Teknik Kimia ITB.

‘’Apa jadinya, kalau dulu saya mati dibunuh oleh negara karena dianggap manusia sampah?’’ pungkasnya.