BBM Naik, Pengamat: Subsidi Angkutan Umum Jangan Dipangkas

Pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM bersubsidi. Harga pertalite naik dari sebelumnya Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter (naik sekitar 31 persen). Harga per liter solar subsidi naik dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800 (naik sekitar 32 persen). Adapun harga pertamax nonsubsidi naik dari Rp 12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter atau naik sekitar 16 persen.


Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, kenaikan harga BBM itu berdampak secara langsung pada kenaikan biaya transportasi, baik umum maupun pribadi. Sedangkan dampak tidak langsungnya kenaikan pada harga-harga barang yang lain. 

Djoko menyayangkan bahwa anggaran subsidi operasional angkutan umum justru akan dipangkas, sebaliknya subsidi diberikan pada ojek online (ojol).

"Komisi 5 DPR RI tidak mendukung pengembangan angkutan umum perkotaan. Buktinya, akan memangkas hingga 60 persen anggaran subsidi operasional angkutan umum perkotaan di 11 kota," ujar Djoko, yang menjabat Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat, Senin (5/9).

Menurut Djoko, jika betul ada bantuan terhadap ojek daring, sementara tidak ada bantuan untuk angkutan bus kota, angkutan perdesaan, AKDP, AKAP, mobil boks dan pengemudi truk, tentu aneh dan sikap pemerintah tersebut sangat ironis. 

"Kalau sopir truk yang membantu kelancaran arus barang mogok, distribusi barang bisa kacau. Namun, kalau pengemudi ojek daring mogok, distribusi barang dipastikan tetap akan berjalan," tukasnya.

Dosen Teknik Sipil Unika Soegijapranata Semarang ini memaparkan, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, penumpang  angkutan umum makin berkurang. 

"Angkutan pedesaan, angkutan kota dan angkutan kota dalam provinsi (AKDP) cukup banyak yang hilang. Banyak kota sudah tidak memiliki angkutan perkotaan. Tergerus dengan sepeda motor dan mudah dimiliki. Kendati risikonya angka kecelakaan makin bertambah dan konsumsi BBM juga pasti bertambah. Belum lagi kemacetan dan polusi udara meningkat sejakan dengan bertambahnya kendaraan bermotor," paparnya.

Sebaliknya, subsidi sebaiknya tidak diarahkan untuk angkutan berbasis online atau ojek daring karena pemberian subsidi dinilai hanya akan menguntungkan aplikator. Sementara pengemudi ojek online sebagai mitra tidak akan merasakan peningkatan pendapatannya karena tergerus oleh potongan-potongan fasilitas aplikasi yang sangat besar

Pendapatan ojek daring, kata dia,  rata-rata masih sebatas kurang dari Rp 3,5 juta per bulan. Hal ini tidak sesuai dengan janji para aplikator angkutan berbasis daring pada tahun 2016 yang mencapai Rp 8 juta per bulan.

Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, konsumsi BBM bersubsidi mobil 53 persen, sepeda motor 40 persen, truk 4 persen, dan angkutan umum 3 persen. 

"Pilihan terbaik adalah dengan memberi subsidi pada transportasi umum," tegasnya.

Tanpa menaikkan harga BBM bersubsidi, menurut Djoko,  penyaluran kepada operator angkutan umum amat dimungkinkan. Saat ini, pengawasan penyaluran BBM bersubsidi untuk angkutan umum bisa melalui aplikasi yang ditunjang dengan penataan operator. Bisa menjadi momentum untuk penataan angkutan umum sehingga seluruhnya berbadan hukum dan menjamin keselamatan dan keamanan pengguna.

"Pemerintah perlu memberikan subsidi untuk angkutan umum, baik angkutan penumpang maupun barang yang berbadan hukum. Subsidi angkutan barang diberikan untuk meningkatkan kesejahteraan pengemudi yang selama ini kerap dilirik sebelah mata oleh pemerintah. Padahal, pengemudi angkutan barang menjadi ujung tombak kelancaran arus barang," pungkasnya.