Bank Indonesia mencatat kenaikan arus masuk modal asing (capital inflow). Meski begitu, Bank Sentral tetap perlu mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (Fed Fund Rate/FFR), yang bakal mengerek yield surat utang dalam negeri.
- KPU Jateng Tetapkan Luthfi-Yasin Kepala Daerah Hasil Pilkada 2024
- Desa Curug, Sukses Laksanakan Pilkada Serentak dengan Tertib
- 1.246 Anggota Satlinmas Pekalongan Siap Amankan Pilkada 2024
Baca Juga
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyebut, dalam waktu dua hari (30-31 Juli), aliran modal masuk pada akhir Juli 2018 lalu telah menÂcapai Rp 3,9 triliun, terutama yang masuk ke pasar keuangan di Indonesia melalui surat berÂharga negara (SBN) terus naik. Sehingga jika ditotal hingga 2 Agustus 2018, capital inflow mencapai Rp 844,99 triliun.
"Kepercayaan pasar dan investor terhadap Indonesia masih sangat tinggi. Ini terÂcermin dari sejumlah indikator baik di pasar saham maupun SBN. Lelang terakhir dari Kementerian Keuangan, SBN kan over supply 4 kali lipat lebih. Ini yang menyebabkan inflow ke SBN cukup kuat," ucapnya di Jakarta, akhir pekan kemarin.
Di pasar saham, investor asÂing tercatat net buy senilai Rp 1,39 triliun sepanjang 1 Juli-3 Agustus 2018. Pada periode yang sama, net buy investor asÂing di pasar SBN mencapai Rp 14,82 triliun sepanjang periode 1 Juli-2 Agustus 2018.
Untuk itu ia menegaskan, Bank Sentral bersama pemerÂintah akan terus mendorong ekspor dan mengurangi impor.
Pengamat ekonomi dari CenÂter of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal berpendapat, masuknya dana asing lewat SBN meÂmang patut diapresiasi. Namun katanya, kenaikan FFR dan pelemahan nilai tukar mata uang Garuda ke depan, masih memberi kekhawatiran bagi dunia usaha.
"Pelemahan bisa mempenÂgaruhi posisi utang Indonesia yang diprediksi bisa memÂbengkak, terutama utang luar negeri dan SBN dalam bentuk valas," tuturnya kepada Rakyat Merdeka.
Seperti diketahui, salah satu penyebab pelemahan nilai tukar rupiah karena naiknya FFR. Kenaikan FFR juga menÂdorong kenaikan yield (imbal hasil) SBN.
"Untuk SBN dalam bentuk valas, bukan hanya rupiah tetapi juga dari yield-nya sendiri itu terdorong untuk meningkat, gara-gara suku bunga acuan Amerika naik. Dan itu juga mendorong yield bond-nya Amerika juga naik. Biasanya negara-negara emerging market mengimbanginya dengan meÂnaikkan yield," ujarnya.
Chief Economist PT Bank Permata (PermataBank) Josua Pardede meyakini, The Fed masih akan menaikkan suku bunga 25- 50 bps lagi hingga akhir tahun. Bersamaan dengan itu, ruang bagi kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI) juga diprediksi masih terbuka 25 bps.
"Selain merespons kenaikan suku bunga The Fed, BI perlu menaikkan suku bunga untuk mempertahankan capital inÂflow, dan menutupi defisit tranÂsaksi berjalan yang berpotensi melebar hingga akhir tahun," katanya.
Selain itu, imbuhnya, rupiah juga akan dipengaruhi sentimen global lainnya.
"Tapi proyeksinya memang tidak akan sefluktuatif tahun ini, sebab pasar tampaknya sudah cukup priced-in denÂgan ekspektasi kenaikan suku bunga," jelas dia.
Selain itu, pasar AS tampakÂnya juga akan mulai mengalami risiko defisit kembar, yaitu defisit neraca transaksi berÂjalan dan defisit fiskal. Hal ini berpotensi memperburuk pasar keuangan Negeri Paman Sam tersebut.
- KPU Jateng Tetapkan Luthfi-Yasin Kepala Daerah Hasil Pilkada 2024
- Desa Curug, Sukses Laksanakan Pilkada Serentak dengan Tertib
- 1.246 Anggota Satlinmas Pekalongan Siap Amankan Pilkada 2024