Dulunya Debt Collector Wanita Satu-satunya Di Indonesia

TAK ada yang menyangka, pemilik tubuh mungil berparas cantik ini dulunya adalah seorang debt collector wanita satu-satunya di Indonesia.


Bahkan, ia bertemu belahan jiwanya pun dari profesi yang sama. Kini, pemilik nama lengkap Fanny Arsianty kelahiran 13 Januari 1978 asal Kota Salatiga ini berkutat dengan kegiatan berbau sosial serta komunitas kemanusiaan.

Tak ada yang tak mengenal sosok kalemnya di Salatiga, khususnya. Berdomisili di Turusan RT 8 RW VII,  Salatiga ibu dua anak ini bersedia sedikit berbagi kisah hidupnya yang unik nan menarik, Kamis (25/6).

Ditemui disela-sela berbagi donasi bersama petani Desa Bandongan, Ngablak, Kabupaten Magelang Fanny sibuk membagikan sayur mayur huktikultura diperuntukkan bagi keluarga terdampak Covid-19 di Salatiga.

"Pagi ini donasi sayur dari petani Bandongan, Ngablak ke kampung-kampung yang kena 'loukdoun' lokal. Sore nanti berbagi ke anak-anak punk," ujar istri dari Tamzis (41) itu, lugas.

Dengan gayanya yang khas, ramah, sedikit cethil serta tak bosan memandang paras manisnya yang dibalut hijab, Fanny mengisahkan ia hampir 12 tahunan menjalani profesi debt collector.

"Saya jadi debt collector itu dari tahun 2002," tandasnya tanpa malu-malu.

Satu hal yang mendorong Fanny melakoni dunia keras milik laki-laki dengan stigma 'suram' itu, karena kebutuhan ekonomi.

Menjelajahi hampir semua wilayah Jawa Tengah bagian selatan diantaranya Kota Salatiga, Karang Gedhe,  pinggiran Boyolali, hampir semua wilayah Kabupaten Semarang, Ungaran Kota hingga Ambarawa, Fanny tak sungkan menangih uang yang memang telah 'ditarget' perusahaannya untuk bisa 'cair'.

Keras. Sudah pasti menjadi makanan sehari-hari Fanny kala itu. Tak jarang, aduk fisik pun harus ia hadapi. Ancaman menjadi makanan sehari-hari bagi Fanny yang kala itu berambut pendek dengan warna khas, blonde.

Bukannya mundur, Fanny tertantang untuk menyelesaikan tugas yang diberikan 'bosnya' kala itu. Tak hayal, bertahun-tahun Fanny diganjar predikat debt collector  terbaik karena mampu menyelesaikan tugas.

"Dengan segala resiko di depan mata, diancam, diteror waktu itu bangga, seneng juga karena jadi debt collector terbaik. Bahkan, ketemu suami yang dulu rekan kerja, ada was-was juga dengan resiko kerja saat itu," ungkapnya.

Setelah menikah diusia muda yakni 20 tahun dan memiliki anak dua, Asmara Anugerah Ramadhan (14) dan Cinta Adna Azia Fawnia (18), Fanny menyadari ia kerap kehilangan waktu melihat tumbuh kembang anak-anaknya.

Hingga akhirnya, tahun 2013 Fanny memutuskan berhenti dari profesi debt collector agar ada waktu buat anak-anaknya.

"Waktu jadi debt collector 'nggak' pernah ketemu anak, berangkat pagi pulang tengah malam. Setelah stop dan coba dengan usaha samping jualan kuliner dan kateringan saya masih ada waktu kegiatan sosial ke dapur sejiwa, banyak gabung juga di komunitas sosial," ulas pemilik sebuah kafe di Jalan Osamaliki, Salatiga itu.

Meski tak lagi menjadi debt collector, nama Fanny masih terngiang dan mudah diingatkan masyarakat Salatiga sekitarnya sebagai penggiat sosial yang ringan tangan tanpa melihat suku, ras dan latar belakang yang ia bantu.

Sejumlah komunitas ia ikuti, termasuk berkumpul dengan anak-anak punk hingga bedah rumah warga kurang mampu.

Dengan jadwal rutinnya, pasangan suami istri ini tak jarang dikangenin kumpulan anak-anak punk di Salatiga dan sekitarnya.

"Mba Fanny dan suaminya mas Azis bukan orang asing buat kami. Dia orang tua buat kami. Sering bimbing kami yang oleh sebagian orang kami anak-anak punk dianggap sampah masyarakat tapi oleh suami istri ini kami adalah keluarga mereka, sering bantu kami. Kami sangat dihargai, kami sayang sekali dengan keduanya, mereka juga ngajari kami berbagi ke sesama yang membutuhkan," ujar seorang anak punk yang enggan dipublikasikan identitasnya, saat ditemui wartawan tengah mengamen di pinggiran Salatiga.

Di ujung kisahnya, Fanny hanya ingin dibalik ceritanya bisa menularkan dan menjadi energi positif bagi masyarakat di luar sana.