Fenomena PILKADA dan PILPRES

Ir Daniel Budi Setiawan, MM. Mantan Anggota DPR-RI, Pengamat Politik Tinggal Di  Semarang. Foto: Istimewa/RMOLJateng
Ir Daniel Budi Setiawan, MM. Mantan Anggota DPR-RI, Pengamat Politik Tinggal Di Semarang. Foto: Istimewa/RMOLJateng

Secara kenyataan, meskipun tidak kasat mata, namun dapat dirasakan bahwa PILPRES dan PILKADA telah di 'KUDETA' oleh 'KEKUASAAN'. Yang artinya 'KEDAULATAN RAKYAT' telah 'DIKUDETA' oleh 'KEKUASAAN'.

Bentuk NKRI adalah Republik, yang sejak 1998 memasuki Era Reformasi dan melalui Undang-Undang kita sepakat untuk berdemokrasi, dimana Pemilu yang memilih Presiden dan kepala daerah dipilih langsung oleh Rakyat.

Dimana pada periode 1999-2004, Pemerintah dan DPR RI telah sepakat melakukan Amandemen UUD 1945, yang menjadi agenda utama Reformasi terhadap pilihan langsung oleh Rakyat, dalam Pemilu Presiden dan Kepala Daerah.

Saya termasuk satu dari 138 anggota MPR RI yang kurang setuju amandemen kecuali tentang ayat pembatasan masa jabatan Presiden yang harus diamandemen.

Perubahan pendulum ini, dari otoritarian menjadi Liberal, saya membacanya secara subyektif adalah upaya untuk menjegal Megawati menjadi Presiden pada periode berikutnya dan sungguh pada pemilu pertama yang diadakan secara demokratis, Megawati kalah dan dimenangkan oleh SBY. Inilah Amandemen untuk kepentingan sesaat dan Trial & Error dalam mengelola bangsa dan negara kedepan, bukan berdasarkan kepentingan kepentingan yang dalam demi bangsa dan negara.

Pemerintahan yang semula centralized sekarang dibuat adanya Otonomi Daerah dan Kepala Daerah dipilih langsung oleh Rakyat.

Dalam hal ini Mas Wapres harus juga mendalami UU Otonomi Daerah dan UU Pemilu agar memahami bahwa di era Reformasi ini Pemerintahan Daerah tidak lagi di centralized.

Jika Kekuasaan tetap akan cawe-cawe dalam setiap Pemilu apapun, sebaiknya TIDAK PERLU LAGI, ADA PEMILU, Pemilu tak perlu diselenggarakan. Maka UU dan Amandemen UUD 1945 harus segera diubah. Biaya yang besar, waktu dan tenaga yang dicurahkan untuk Pemilu yang demokratis sudah "Kehilangan Manfaat" berbangsa dan bernegara. Maka inikah cyclus kembali ke Otoritarian lagi? Wallahualam bisawab.

Dengan masuknya TNI dan POLRI menjadi birokrat melalui Perpres yang dibuat oleh Presiden Jokowi, menunjukkan bukan lagi Dwifungsi ABRI dalam Pemerintahan bahkan Panglima TNI mengatakan Multifungsi TNI, dan POLRI tentu saja.

Pemberian-pemberian Presiden Jokowi dalam konteks inilah telah dapat dibaca sebagai Pemberian dengan Pamrih untuk mengawal cita-cita pribadi dan keluarganya dalam topeng Demokrasi melalui Pemilu.

Presiden Prabowo yang seorang jenderal

Langkah Jokowi yang menaikkan pangkat Presiden Prabowo menjadi Jenderal kehormatan bukan tanpa pamrih. Paradoks ini terjadi dan berbeda dengan kondisi Letjen Prabowo pada 1998, betapa berterima kasih dan sungkem kepada Presiden Jokowi yang paham akan kultur Jawa, bila seseorang telah ia Pangku, what next?

Telah lebih dari 20 tahun, saya pernah duduk bersebelahan dengan Letjen (Purn) Peabowo Subianto, dalam penerbangan Singapore Airlines menuju Jakarta. Dan kami berbincang bincang tentang politik Indonesia karena saat itu saya anggota DPR RI, saya menanyakan mengapa Pak Prabowo tidak mencalonkan diri jadi Presiden? Saya melihat ada leadership pada diri beliau, hal ini sudah terjawab pada Pemilu 2024 yang lalu namun pertanyaannya sekarang:

Setelah menjadi Presiden RI ke 8, what next? Apakah Presiden Prabowo tetap punya komitmen untuk berdemokrasi dalam berbangsa dan bernegara? Atau tetap ingin untuk kembali ke UUD 1945 Naskah Asli? Apakah Presiden Prabowo sepakat dengan demokrasi liberal yang tanpa harus di intervensi oleh kekuasaan? Atau sepakat dengan demokrasi terpimpin melalui perwakilan, dan adanya mayoritas tunggal? Saya sangat mengharapkan adanya pidato Presiden RI ke 8 ini di event kenegaraan diawal kepemimpinannya.

Kami sangat menyayangkan endorse presiden terhadap Pilkada, khususnya DKI Jakarta dan Jawa Tengah, yang mana keterlibatan lembaga Presiden dalam Pemilu telah beredar di masyarakat melalui medsos, berupa surat dan video himbauan.

Budaya Jawa memangku orang, kemudian ditindaklanjuti dengan viralnya surat dan Video untuk DKI Jakarta dan Jawa Tengah, telah mendegradasi kepemimpinan seorang Presiden. Dalam hal ini kami menyarankan agar hubungan emosional terhadap Presiden terdahulu Jokowi harus segera dievaluasi, terlebih Presiden RI ke 7, masih menaruh orang2 yang berafiliasi kepada dirinya, seperti Panglima TNI, Kapolri, Mendagri.

Jika Presiden Prabowo tidak pernah say no kepada permintaan Jokowi, mungkin negeri ini memang sedang diarsitekturi oleh Jokowi untuk menjadikan Indonesia seperti yang ia mau. Namun, ia seorang Jenderal yang mengeksekusi keinginan dan kepentingannya.

Demi bangsa dan negara, sebaiknya Pak Prabowo membangun track record as Presiden Prabowo not as Jokowi executor.

Bravo Presiden RI ke 8, Selamat bekerja Jenderal Prabowo Subianto demi Bangsa dan Negara.

Daniel Budi Setiawan, mantan anggota DPR RI 1999-2009